06. Hujan

50 8 15
                                    

"Hai, Tink."

Luhan membeku. Jantungnya berhenti berdetak rasanya.

"Bagaimana kabarmu? Aku selalu melihatmu murung akhir-akhir ini."

Luhan kenal suara ini. Begitu ia berbalik untuk memastikan tebakannya, Luhan merasa waktu di dunianya berhenti.

Mengapa dia bisa berada di sini?

"Jongin?" panggil Luhan refleks, tak mengerti dengan situasi ini. Suaranya bahkan bergetar dan serak. Luhan benar-benar tak menyangka bahwa laki-laki yang berada di belakangnya adalah Jongin. "Apa yang kau lakukan disini? Bukankah seharusnya kau sedang ada kompetisi di luar kota?" tanyanya kemudian.

Jongin tersenyum. Ia menunjuk kertas-kertas biru laut yang berada di tangan Luhan dengan dagunya. "Membaca surat secret admirer mu." jawabnya masih dengan senyuman. Kali ini senyumannya terlihat menggelikan di mata Luhan. "Untuk kompetisi itu, aku baru saja pulang." sambungnya. "Eh, tapi memangnya kau sering murung, ya, akhir-akhir ini?"

"Eh?" Luhan memundurkan kepalanya tak mengerti. Kemudian setelah menyadari sesuatu, ia menyembunyikan kertas-kertas itu di balik tubuhnya. "Tidak juga." jawab Luhan seraya menggeleng. "Mungkin si pengirim ini sering melihatku waktu aku sendirian."

"Oh..." Jongin manggut-manggut. Baru saja Jongin ingin membuka suara, bel tanda masuk tiba-tiba saja berbunyi.

Waktu itu tentu saja bisa dimanfaatkan Luhan untuk segera pergi dari sini. Serius, rasanya Luhan ingin sekali tenggelam di laut ketika tahu bahwa Jongin mengetahui isi dari surat si Peterpan ini. Bukannya apa-apa. Tapi Luhan merasa malu jika yang tahu itu Jongin.

Cepat-cepat Luhan menutup lokernya, lalu memasang senyum paling manis darinya untuk Jongin ketika dirinya berbalik. "Aku ke kelas dulu, ya." kata Luhan serak. Segera Luhan pergi tanpa menunggu jawaban dari Jongin.

Baru saja beberapa langkah meninggalkan Jongin, panggilan laki-laki itu membuat Luhan berhenti melangkah. Debaran jantungnya mulai tak menentu lagi. Luhan merasa perutnya mulas ketika mendengar suara derap langkah Jongin yang mendekatinya. Hampir saja Luhan terkejut saat tiba-tiba saja Jongin menepuk bahunya pelan.

"Kelas kita satu arah, kan?" Jongin tersenyum lagi. Luhan yang melihatnya merasa sulit menelan ludah saat itu. "Ke kelas bersama, bagaimana?"

Luhan mengerjap. Tiba-tiba wajahnya merona entah karena apa. Luhan membuang wajah ke arah lain kemudian. Tak ingin Jongin melihat rona itu.

"Jadi?"

Luhan mengangguk setelah berpikir sebentar. Membiarkan Jongin merangkul bahunya akrab, sibuk menetralkan debaran jantungnya yang kini kembali setelah sekian lama hilang entah kemana.

.
.
06. Hujan
.
.

Hujan deras sore itu hanya Luhan pandangi lewat jendela kelasnya. Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi belasan menit yang lalu. Kelasnya sudah sepi, hanya ada dirinya seorang di sana. Sedangkan Kyungsoo yang biasanya menemani Luhan, mengatakan bahwa ia harus segera ke kedai pamannya kalau tak ingin basah kuyup. Belasan menit yang lalu, hujan belum sederas ini.

Derap langkah seseorang yang terdengar dari luar membuat Luhan mengalihkan perhatian. Seorang laki-laki yang membuatnya menunggu, terlihat di depan pintu kelas. Luhan tersenyum seraya bangkit dari bangkunya. Kemudian Luhan menghampiri Sehun yang menunggunya di sana.

"Bawa payung, tidak?"

"Kau lama." Luhan menyahut lain. Ia membuka tasnya lalu mengeluarkan payung lipat berwarna biru laut untuk diserahkan pada Sehun. "Kau dimarahi seosangnim karena ijin latihan dance, ya?"

a letter for little fairyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang