03. Jongin

64 8 21
                                    

Suara bola basket yang memantul-mantul di lantai kala itu menggema di lapangan indoor sekolah. Hanya ada seseorang yang berada di sana, bermain-main dengan bola basketnya. Ia asyik me-drible bola, lay up, dan gerakan-gerakan lain. Hingga ketika bola jatuh dari ring dan memantul-mantul lagi untuk yang ketiga kalinya, pintu pun terbuka. Menampilkan seorang laki-laki yang tersenyum cerah ketika tahu bahwa bukan dirinya saja yang berada di sini.

"Hai, Jongin." sapa Luhan. Ia menangkap bola yang memantul di depannya dan me-drible-nya lagi. "Kau bolos matematika lagi, ya?"

Laki-laki yang baru saja datang itu, Jongin, meringis. "Ya... Begitulah." katanya seraya mengangkat bahunya kecil. "Lalu kau sendiri?"

"Jam kosong." jawab Luhan pendek. Ia tersenyum saat mengoper bola basket tersebut pada Jongin. "Karena kau ada di sini, bagaimana kalau kita main satu lawan satu?" tantang Luhan.

Jongin tertawa kecil. "Oke." putusnya dengan seringaian miliknya. "Yang kalah traktir makan di kantin."

"Oke!" Luhan menerimanya dengan percaya diri.

Mereka bermain di sana. Barmain satu lawan satu. Saling memasukkan bola ke ring untuk mencetak point. Kadang Jongin lebih unggul dari Luhan karena ia lebih tinggi dari perempuan itu. Kadang pula Luhan bisa mengungguli Jongin dengan kegesitannya. Pada permainan terakhir saat bel tanda istirahat berbunyi, skor mereka imbang. Namun Jongin berhasil dikalahkan Luhan dengan tembakan three point nya lagi.

Luhan bersorak senang. "Traktir aku makan!" serunya seraya menghampiri Jongin yang kini terbaring di lantai. Luhan mendudukkan diri di sebelah Jongin, lalu tersenyum geli. Rupanya Jongin kewalahan menghadapi kegesitannya.

"Sebentar, aku capek."

Luhan mendesis. "Kau ini kapten basket sama sepertiku, dan kau—aduh!" Luhan cemberut sambil mengusap lengannya yang baru saja dicubit Jongin. "Ayo cepat bangun..."

"Iya, iya." Jongin mendengus sambil bangkit dari rebahannya. "Tapi apa Sehun tidak akan marah padamu?" tanyanya kemudian.

Luhan mengangkat kedua alis tidak mengerti. "Marah padaku?" beonya. Setelah menyadari sesuatu, ia pun tertawa geli. "Tidak akan. Percaya saja padaku." ujarnya lalu mencetak two point setelah bangkit dan berjalan menjauhi Jongin.

Melihat punggung sempit milik perempuan yang tumben saja rambutnya diurai itu, membuat senyum Jongin tersungging lebar. Ternyata Luhan cantik juga dengan rambut panjang sepinggang yang tergerai seperti sekarang.

.
.
03. Jongin
.
.

"Astaga, Jongin-ku!"

"Ya ampun, Jongin... Kenapa kau bersama Luhan, sih?"

"Jongin..."

Luhan mengunyah pelan makanannya sebelum memperhatikan keadaan sekitar. Banyak mata para siswi yang memandang ke arah mejanya dengan pandangan tidak suka. Kemudian pandangan Luhan beralih. Pada Jongin yang kelihatan cuek dengan bisikan-bisikan tidak menyenangkan itu.

Entahlah. Luhan tidak tahu sekarang ini perasaannya bagaimana. Banyak siswi yang tidak suka kalau melihatnya sedang berduaan dengan Jongin, dan seharusnya Luhan ingat hal itu sebelum menyetujui hukuman siapa yang kalah tadi.

Luhan menghembuskan napas dengan pelan. Sepertinya mood nya untuk makan lenyap karena pemikiran barusan.

"Luhan," tegur Jongin pelan. Luhan menatapnya dan laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan sorot mata heran. "Apa kau sudah kenyang?" tanyanya.

Luhan melirik makanannya sendiri, lalu mengangguk pelan. Kemudian Luhan meletakkan dagunya pada lipatan lengan di atas meja. "Aku paling tidak tahan dengan obrolan-obrolan tidak menyenangkan seperti ini." katanya jujur.

a letter for little fairyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang