[4] Hujan Dan Samaran

226 39 5
                                    

Tiga hari masa skors telah ia lewati. Hari ini dia masuk seperti biasa, tetapi kali ini sepertinya dia telat lima menit untuk masuk karena gerbang sudah tertutup saat dia turun dari bus. Pasrah rasanya. Dirinya masuk pun sama saja dia mencari mati. Dia akan di D.O langsung karena masuk pelanggaran lagi.

Mau tidak mau dia harus membalikkan badan untuk pulang. Percuma jika dia meminta atau memohon-mohon sampai bersujud pun satpam sekolahnya itu tidak akan berbelas kasih kepadanya.

Piuuitt!

Cakra mendengar sesuatu yang mengganjal. Dia membalikkan badannya, mencari sumber suara itu. Suara itu berasal dari seorang remaja yang menggunakan Hoodie hitam, topi yang dilapisi oleh tudung Hoodie. Celana abu-abu komprang yang sudah lecek dan kusut. Style yang tidak lain lagi adalah anak STM.

Kepanjangan STM bukanlah sekolah teknik menengah melainkan sekolah terserah murid. Kenapa bisa dikatakan seperti itu?

Lihat saja penampilan mereka sekarang, mereka sekolah seperti mau main saja. Memakai topi yang bukan identitas sekolah mereka, jaket tidak akan terlepas di badan mereka sebelum ada guru yang melempar mereka pake sepatu pantofel.

Mereka anti sama yang namanya buku. Jadi tas-tas yang ada di punggung mereka hanyalah sebuah formalitas saja.
Biar keliatan anak baik-baik gitu.

Toh, pelajaran mereka juga bukan seperti pelajaran SMA. Jadi, buku satu pun cukup untuk menampung semua mata pelajaran. Makannya gak heran deh, STM menduduki peringkat pertama sebagai pelajar gak modal nomer satu Se-Indonesia raya.

Cakra berusaha mengabaikannya. Bukannya dia sombong tapi dia tidak mau saja berurusan dengan anak berandal seperti mereka. Mencegah terjadinya hal yang tidak-tidak. Dia mau ngapain coba nyiulin dia yang jelas-jelas berjenis kelamin laki-laki?

Cakra sangat faham kalo anak STM itu mayoritas laki-laki dan kekurangan cewek. Tapi gak harus belok juga seperti ini kan?

Ia yang merasa risih itu mempercepat jalannya meninggalkan warung yang diisi oleh gerombolan orang gak jelas tersebut.

"Weh. Lo punya utang sama gue, menurut surat Al-Isra Ayat 32, seseorang wajib bayar utang!" teriak salah seorang pelajar itu yang membuat Cakra menghentikan langkahnya.

Plak!

Leo menggeplak kepala Gavi yang ada di sampingnya. Entahlah laki-laki itu benar-benar bingung mengapa dia bisa berteman dengan orang bego seperti Gavi.

"Ayat 32 tentang zina goblok!"

"Oh iya kah? Direvisi kapan tuh?" tanya Gavi.

"Dari dulu juga gitu bunyinya."

Karena melihat targetnya yang berhenti, Gavi pun berlari kecil menghampiri Cakra yang berhenti berjalan.

"Masih inget gue kan?" tanya Gavi sambil menarik tangan Cakra untuk berjabatan dengannya.

Cakra hanya diam saja dengan perlakuan sokab dari laki-laki aneh itu. "Yang kemarin malam ke angkringan kan ya? Yang uangnya kembalian?"

Prok! prok! prok!

Bukannya menjawab, laki-laki bernama Gavi itu malah bertepuk tangan yang membuat Cakra benar-benar dibuat terpukau oleh tingkah ajaib nya.

"Pinter sekali. Pasti lo rangking satu di kelas. "

"Gak juga, " balas Cakra.

"Tapi sorry saya gak bawa uang kembalianmu, uangnya masih di angkringan. Kalo kamu mau? Ambil nanti malam di angkringan."

"Gue butuhnya sekarang, gimana dong?"

"Tapi serius saya gak bawa uang. Saya cuman punya uang sepuluh ribu untuk bayar angkutan umum," jawab Cakra seraya merogoh kantong seragamnya. Dan benar saja hanya ada selembar uang berwarna ungu saja.

Gavi yang melihat itu tersenyum tipis, menyunggingkan senyumnya seakan merencanakan sesuatu.

"Gimana kalo lo bayarnya bukan pake uang?" tawar Gavi sambil melirik penampilan Cakra dari atas sampai bawah. Benar-benar anak yang teladan. Jauh dengan dirinya yang sudah mirip seperti gelandangan yang di sekolahkan.

"Terus pake apa? Pake daun?" tanya Cakra.

Sebenarnya Cakra agak-agak sedikit takut dengan laki-laki aneh itu. Siapa yang gak takut di tatap kayak gitu sama cowok?

Gavi menunjuk dadanya, ah bukan. Melainkan seragamnya. Laki-laki itu ternyata menginginkan seragamnya. Tetapi untuk apa coba? Dia gak akan macem-macem untuk pergi ke dukun supaya santet dia lewat keringatnya kan?

"Untuk apa? Seragamku jelek," balas Cakra berusaha menolak itu.

"Pinjem dua hari, gue punya sesuatu yang harus gue selesain. Lo baik kan?"

"Tap-" Belum sempat mencari alasan untuk menolak, Gavi memotongnya.

"Lima ratus ribu."

Gavi mengangkat lima jarinya, mengisyaratkan bahwa dia akan memberinya uang sejumlah lima ratus ribu untuk menukarnya dengan seragam yang ia pakai itu.

"Buat apa sih? Seragam saya ada nama identitasnya, saya gak bisa sembarangan pinjemin barang ke orang gak kenal seperti kamu," balas Cakra.

"Kenalin gue Gavi. Lo Cakra kan?" tanya Gavi yang membuat Cakra mengangguk mengiyakan.

"Nah, sekarang kita udah kenal. Jadi gak ada masalah dong?"

"Kasih tau saya apa alasan mu, baru saya mau pinjamin."

Cakra bisa melihat bahwa laki-laki itu terdiam begitu lama, mencari alasan sebaik mungkin untuk membodohinya.

"Gue mau deketin cewek."

Alasan klasik macam apa itu? Rela menghamburkan banyak uang demi deketin cewek? Ia pikir cari uang itu mudah apa? Cakra bergumam dalam hati.

"Siapa?"

"Ada. Anak sekolah lo. Kepo banget lo. Pokoknya nanti malam gue dateng ke angkringan lo buat ambil seragam lo itu, See u bro!"

"Eh tunggu!"

Gavi menepuk pundaknya lalu pergi dari hadapannya. Padahal ia belum menyetujui permintaannya. Dia malah main pergi pergi saja.

Akhirnya mau tidak mau ia berbalik arah untuk pulang ke rumah. Isi kepalanya sudah memberontak, hampir ingin pecah. Beberapa hari ini, renternir datang ke rumah, menggedor-gedor pintu untuk menagih uang yang sempat ia pinjam untuk ibunya berobat. Dia sangat khawatir jika mereka akan mengimbaskan ke Aca saat ia tidak berada di rumah.

Dia punya banyak utang, ke bank, ke tetangga, ke warung, sampai ke Pak Basuki pun ia pinjami. Namun nyatanya itu masih belum cukup untuk menyembuhkan ibunya. Malahan sekarang ia bingung bagaimana cara membayar itu semua.

Suara petir bergemuruh, menandakan akan turun hujan. Tetes demi tetes air tidak membuatnya meneduh. Dia terus berjalan tanpa tujuan.

Rasa takut, cemas menjadi satu. Dia ingin tidur nyenyak sekali saja. Tetapi nyatanya ia sama sekali tidak diizinkan. Karena Tuhan tau dirinya kuat dan bisa menghadapi ini semua.

"Bunda, Cakra capek Bun... Cakra pengen kayak anak-anak lainnya."

Entah kenapa dia sangat suka hujan-hujanan. Karena hujan dia bisa menangis sepuasnya tanpa ada orang yang tau kalo dia sedang menangis. Hujan mempu menyamarkan tangisannya. Menutupi semua rasa sakit yang telah ia lewati.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Fight Or DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang