00 | epilogue

2.4K 264 64
                                    


cr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr. Amir Esraf via pexels



Mingyu memandang bara api yang mulai meredup di perapian, menyisakan abu dan anak api berpendar yang masih tersisa. Sebenarnya, tidak ada yang menarik dari kayu gosong bergemeretakkan. Mata Mingyu memandang bara yang hampir mati tapi jiwanya sendiri tidak ada di sana.

Meskipun perapian menyala-nyala, rumah itu sama sekali tak terasa hangat. Seluruh furnitur dan perabotan ada di tempatnya masing-masing. Terlalu rapi, tak tersentuh, seolah tidak ada yang tinggal di sana kecuali Mingyu yang tengah menghangatkan diri.

Tapi api kecil itu tak jua memberi kehangatan untuk hatinya yang telah mati rasa.

Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dulu, sebelum tragedi itu terjadi, perasaan hangat selalu menyusup dalam relung hatinya tiap kali dia berada dalam rumah itu. Dia ingat pertama kali menginjakkan kaki di rumah tersebut hingga menghabiskan waktu di sana bersama sang pemilik rumah. Dia ingat mereka sering bertukar kata-kata sengit di awal pertemuan, hingga akhirnya saling membuka diri dan bicara dari hati ke hati.

Pertama kali Mingyu memasak untuknya, minum soju bersama, coklat hangat dan rentetan pertanyaan, momen-momen intim mereka, senyum dan tawa yang menghiasi hari-harinya.... Kini semua tinggal kenangan.

Yang tersisa hanyalah penyesalan, harapan kosong, dan perasaan menyakitkan. Semuanya sudah mati dan tak bisa diperbaiki. Ide untuk memutar waktu ke masa lalu hanyalah asa atas ketidakberdayaannya. Dia terlihat menyedihkan dengan segala hal yang mengingatkan akan kegagalannya.

Ia sudah menghancurkan kehidupan sang kekasih. Ia sudah membunuhnya.

Ketika cahaya kemerahan meredup dan ruangan menggelap, Mingyu bangkit dari tempat duduk. Dia berjalan menuju lorong di mana pintu utama berada, mengganti alas kakinya dengan sepatu. Mingyu juga meletakkan sepucuk surat beserta setangkai bunga seruni putih di atas lemari kecil.

Tepat di depan pintu, dia berhenti. Suara napas berat lolos dari mulut, berharap hatinya ringan setelah melakukan itu. Tapi dadanya tetap terasa sesak oleh onggokan rasa bersalah.

Bagaimanapun, dia sudah memantapkan keputusan final.

Pegangan Mingyu pada kenop mengerat, tak sadar bahwa buku-buku jarinya memutih. Pada akhirnya ia memilih untuk lari dan menjauh. Dia tidak bisa terus-terusan berada di rumah itu. Karena sesalnya hanya akan membesar dan mengerak, dan ia akan semakin membenci dirinya.

Maka dia keluar dari rumah, mengunci pintu dan memastikan seluruh akses keluar-masuk sudah tertutup rapat. Dia menaruh kunci di sekat dekat kusen pintu, tersembunyi cukup dalam sehingga tak mudah terlihat dari kejauhan.

Mingyu mengamati rumah sekali lagi sebelum memutar badan dan berjalan menjauhi kediaman. Dia tidak akan pernah terbiasa dengan rasa sakit di dadanya jika melihat rumah tersebut ketika mengenang apa saja yang pernah dibagi dan diterima di sana. Dan ia tak masalah dengan itu semua. Sembilu di hatinya adalah pengingat dari kegagalannya, bayaran atas janji yang ia langgar.

Hujan butiran halus es terus saja berjatuhan dari langit sejak semalam. Tumpukan salju di tanah membentuk cetakan kaki sang lelaki yang semakin lama semakin melangkah jauh.

Dia meninggalkan masa lalu yang sempat jadi pelarian dari kehidupan jemunya, impian akan masa depannya. Ia bawa serta hatinya yang sudah retak dan membeku lalu menghilang di balik lebatnya hujan salju.

Tempatnya berpulang sudah lenyap.



—Fin
29 September 2021


Crazier ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang