Chapter 02 : Saga Dan Diamnya

467 96 6
                                        




Asa mengikuti Saga yang sudah ada di dalam rumah, laki-laki itu duduk di sofa ruang tamu yang sudah tertutup kain putih, menghirup udara dengan rakus seakan tercekik sepanjang perjalanan.

Melihat itu, Asa berinisiatif untuk membawakan Saga air dingin dan gelas. “Minum dulu,” katanya pelan, menawarkan. Saga masih gak berkata apa-apa, dan langsung menenggak segelas air dingin dengan buru-buru.

Ketimbang orang yang kepanasan di perjalanan, Saga lebih kelihatan seperti orang yang pergi dari Jakarta ke Jogjakarta dengan jalan kaki.

“Capek banget, ya?” Asa kembali menanyai, gak enak juga rasanya diam terlalu lama dalam kecanggungan. Saga diam saja, sambil memejamkan mata; kelelahan. Memang terasa agak gak menyenangkan karena pertanyaannya diabaikan, tapi Asa memaklumi itu dengan alasan Saga mungkin saja memang kelelahan setelah menempuh perjalanan yang lama.

Langit semakin gelap, Asa menyalakan lampu-lampu dan rumah menjadi terang benderang. Dia kembali ke tempat Saga, dan laki-laki itu masih bertahan di posisi yang sama. “Saga ... gue masak dulu. Kalau lo mau istirahat, kamar dengan pintu putih itu bisa lo pake. Tinggal buka aja kain putihnya, itu kamar Papa kalo nginep di sini.”

“Oke,” jawab Saga, Asa memandanginya beberapa detik sebelum pergi ke dapur.

“Gue kira dia tidur,” gumamnya, melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat tertunda.

Ada beberapa menit Asa berkutat di dapur, dia melihat siluet bayangan tubuh tinggi Saga yang memasuki kamar. Itu terlihat karena letak dapur gak terlalu jauh dari kamar yang Asa maksud tadi. Asa kembali masak, sambil memikirkan betapa gak enaknya suasana antara Saga dan dia.

Apa itu hanya perasaannya saja, atau memang begitu nyatanya? Yang jelas, Saga bersikap dingin sekali padanya, sampai Asa jadi merasa ragu untuk membangun obrolan dengannya.

Sekarang sudah benar-benar gelap. Asa melirik ke jam dinding, sudah waktunya untuk makan malam dan makanannya sudah siap semua. Asa berkacak pinggang, merehatkan otot-ototnya yang kelelahan setelah memasak makanan yang lumayan banyak dari biasanya.

Masakan Asa baunya wangi sekali, yakin akan membuat siapa saja yang mencium jadi lapar. Tapi Saga belum juga keluar dari kamarnya, membuat Asa melirik ke kamarnya yang masih rapat tertutup.

Asa melepas Apronnya, pergi menuju ke kamar yang ditempati Saga. “Saga,” panggilnya sambil mengetuk pintu, “gue udah masak, ayo makan.”

Asa masih berdiri di depan pintu, menunggu jawaban. Tapi gak ada balasan dari dalam, jadi dia memanggil sekali lagi. “Saga ...?”

“Elo makan aja sendiri aja, gue gak laper,” jawab Saga pada akhirnya, malah mengerutkan kening Asa. Padahal Saga baru saja menempuh perjalanan jauh yang sudah pasti menguras banyak tenaga, tapi apa katanya? Gak lapar?

“Serius?” tanya Asa, memastikan. Gak lagi terdengar jawaban, mode hening sudah aktif seperti sebelumnya. Asa mengganti topik bicaranya. “Saga, kamar mandi di sini cuma satu, ada di belakang deket dapur. Gue kasih tau aja kalo lo mau ke kamar mandi.” Seperti dugaan Asa, gak ada balasan dari Saga.

Asa kembali lagi ke meja makan, dia duduk sendirian di meja yang lebar dan dengan banyak makanan yang tersaji di sana. Dia merenung sejenak, heran dan bertanya-tanya tentang sikap Saga terhadapnya.

Asa memang gak pernah bertanya pada ayah atau ibu tirinya mengenai eksistensi saudara tirinya, dia cuma tahu kalau saudara tirinya itu bernama Saga. Itu pun karena Asa sendiri yang menolak untuk mendengar lebih lanjut tentang saudara tirinya dari sang ayah.

Asa gak tahu kalau saudara tirinya itu akan sedingin ini, jadi dia terkejut dan masih terkejut sampai detik ini. Kalau saja dia mau mendengar sedikit lagi saat ayahnya bercerita tentang Saga, Asa mungkin gak bakal sekaget ini karena sudah siap-siap.

Gadis itu menghela napas dengan berat. “Ini yang mau ngabisin siapa coba?” tanyanya pada keheningan, bingung sendiri.

Asa menyendok nasi, mengambil laup. Satu suap berhasil ia telan, berlanjut ke suapan lainnya. Sampai di tengah agendanya menyantap, Asa terdiam sejenak. Makanannya gak terasa enak sama sekali, karena Asa gak berpikir itu enak. Padahal sebenarnya Asa paling jago dalam hal memasak, tapi kali ini masakannya terasa gak meninggalkan kesan yang bagus di lidahnya. Jadi Asa berhenti saja, menaruh sendoknya dan minum air.

Lagi, dia menghela napas berat. Jadi terlihat betapa menyedihkannya dia yang makan sendirian di meja makan yang luas itu.

Lumayan lama Asa melamun, tiba-tiba saja atensinya diusik oleh bunyi langkah kaki di ruangan yang sama. Asa melihat kedatangan Saga, sempat mengira laki-laki itu datang ke dapur untuk makan bersama dengannya.

Tapi yang terjadi, Saga melengos begitu saja melewati Asa dan masuk ke kamar mandi. Saga bahkan gak menoleh sedikit pun ke arah Asa, membuat gadis itu langsung terheran-heran.

“Ini Saga sadar gak sih kalo kelakuannya itu gak sopan?” tanya Asa dengan suara rendah, sadar juga gak mungkin dia mau membuat Saga mendengar ucapannya. “Lama-lama ngeselin juga diliat,” lanjutnya, menggerutu. Asa minum lagi air yang ada di gelasnya, menatap lurus dengan pandangan sebal.

Asa gak tahu apa yang Saga lakukan di kamar mandi. Dia masih duduk di tempatnya, kembali melamun. Beberapa menit berlalu, Saga akhirnya keluar dari kamar mandi dengan tampilan yang lebih segar. Wajahnya basah dan air masih menetes dari ujung rambut hitamnya.

Seperti sebelumnya, Saga kelihatan sama sekali gak berniat untuk menyapa Asa. Tindakannya itu memicu Asa buat memanggil dia, “Saga!” dengan suara rendah tapi berhasil menghentikan Saga.

Laki-laki tinggi itu menoleh, menatap Asa dengan dingin dan cuek. Kalau itu memang sifat alaminya, Asa mungkin bisa menoleransi. Tapi kalau Saga memang sengaja melakukan itu sama Asa, sumpah, itu bukan hal yang sopan.

Saga bahkan masih berdiri, cuma menoleh saja ke arah Asa sementara badannya enggak. Asa memperhatikan Saga kemudian berkata, “Gak jadi.” Dia membiarkan Saga pergi setelah berpikir dua kali; lebih baik gak menegur atau bertanya apa-apa tentang sikap Saga ke dia, atau itu bisa menimbulkan masalah baru yang nantinya bakal membuat Asa repot.

Tapi tetap saja, sikap Saga itu agak menyebalkan.

Asa gak ingin ambil pusing, dia membiarkan Saga berbuat sesukanya sebab Asa ingin berpikir simpel saja; mungkin Saga seperti itu karena kelelahan, Asa juga seperti itu kalau sedang lelah-lelahnya. Jadi, dia hanya akan mengurus urusannya saja kemudian pergi tidur, mempersiapkan stamina untuk perjalanan jauh besok.

Asa terlalu nyaman dengan kebiasaannya yang gak suka ambil pusing dan bodo amat. Dia berpikir simpel kalau Saga bertingkah demikian karena tubuhnya yang lelah, tapi Asa itu tetap manusia biasa yang gak bisa menebak apa isi pikiran orang yang ada di depannya, 'kan? Asa gak tahu apa sebenarnya Alasan Saga bertingkah dingin padanya, 'kan?

Apakah itu memang karena faktor kelelahan ... atau Saga sengaja bersikap demikian spesial untuk Asa seorang?





Bersambung







Banyakin momen Saga-Asa atau cepet munculin Angkasa/Asta???





Mau munculin siapa dulu nih? Angkasa atau Asta???

BREAKING ME IN THREE : Isa Ft. JASUKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang