Chapter 13 : Perokok Amatir

173 36 5
                                        

Asa menuju halte untuk menunggu sopirnya datang.

Sejak hari di mana Saga berbohong cuma agar gak pulang dengannya, Asa memutuskan untuk minta dicarikan sopir saja.

Sejak hari itu juga Asa sudah mulai menerima kalau Saga memang membenci keberadaannya, meski dengan alasan yang gak Asa tahu.

Tapi Asa berdecak dengan raut kecewa saat melihat ke arah halte, dan mendapati orang yang sedang dia pikirkan, ada di sana.

"Gak ada gue doain dia panjang umur," ungkapnya, terdengar jahat.

Hari ini ekspektasi Asa terjun bebas; semua karena Angkasa dan patah hati kecil yang dia berikan pada Asa. Asa ada di situasi serba salah; ingin marah pun malah akan terlihat konyol.

Dengan suasana hati yang super buruk, Asa masih harus melihat wajah Saga yang hanya menambah rasa kesalnya. Tapi tunggu dulu, Asa menahan diri dari mengusir Saga dan ksatria besi hitam miliknya dari halte, saat melihat Saga mengeluarkan sesuatu dari jaketnya.

Melihat benda itu berakhir di bibir Saga, dari jauh Asa sudah tahu apa.

"Kalo udah candu, ngerokok emang gak kenal waktu, ya? Padahal napasnya aja ngos-ngosan begitu habis olahraga."

Asa mencibir dalam diam dengan tatapan sinisnya, lalu dia menuju halte dan tidak peduli dengan reaksi Saga.

"Tunggu napasnya normal dulu gak bisa, ya? Sepet banget kayaknya kalo gak langsung ngerokok."

Saga menatap Asa dengan raut pasifnya, tapi Asa bisa membaca mata itu seolah terkejut melihat keberadaan Asa.

Asa mau tertawa. Saga pasti gak tahu kalau Asa juga pulang sore hari ini. Yah, sejak Saga gak mau tahu-menahu soal Asa, tapi seenggaknya poin kecil ini bikin Asa merasa menang.

"Ayo pulang," ujar Asa, dengan kesadaran penuh.

Jelas saja Saga hanya meliriknya dan gak peduli.

"Gue lagi patah hati, gak punya kesabaran tinggi buat nungguin pak Mahmud dateng. Buruan pulang, gue ikut."

Saga masih gak memedulikan Asa dan fokus dengan rokoknya. Asa hanya memperhatikan, dan sejenak terlintas dalam pikirannya bahwa Saga mungkin seorang amatir dalam hal merokok, terlihat keningnya berkerut samar seperti dia membenci apa yang dia lakukan tapi tetap melakukannya.

Asa menahan tawa, senyum angkuh tercipta di wajahnya saat melihat Saga.

"Mau nyoba jadi bad boy, kah?" ucap Asa, duduk di samping Saga. "Gue pikir lo udah pro dalam hal ngerokok, tapi kayaknya sebaliknya. Lo kayak amatir."

Saga masih gak berbicara, dan Asa mulai merengut.

Jujur saja, hal paling menyebalkan dari Saga itu karena Saga bersikap seakan Asa gak ada. Bahkan ketika Asa sudah berbicara tengil yang seharusnya membuat kesal, Saga masih bisa bisu dan tidak terlihat keberatan.

"Apa enaknya ngerokok, sih? Atau lo cuma mau buat nyokaplo kecewa? Lo 'kan gak boleh ngerokok."

Baru setelah kalimat itu, Saga menatap Asa—dengan matanya yang dingin dan tajam, seperti akan membelah Asa menjadi tiga.

Asa tertegun, tatapan itu seakan menyentuh nyali terdalamnya dan membuatnya sadar akan apa yang dia katakan. Mata Saga mengatakan apa yang ingin dia katakan.

"Siapa yang bilang gak boleh?" tanya Saga, dan Asa melirik canggung ke arah lain sambil merangkai kebohongan. Gak mungkin dia akan berkata kalau dia mendengar Sharon memarahi Saga karena rokok.

"A-anak sekolah memang gak boleh ngerokok, kan? Ngerokok itu budaya jelek, orang yang ngerokok itu cuma orang-orang bandel yang nyari pembenaran dengan bilang ngerokok adalah obat, padahal sebaliknya. Gak ada yang suka asap rokok, termasuk gue—gue benci banget sama asap rokok karena papa juga perokok berat, terus kalo elo juga—"

BREAKING ME IN THREE : Isa Ft. JASUKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang