Keesokan hari, Saga dan Asa bergegas pergi menuju Ibu Kota. Karena akan menempuh perjalanan yang panjang, mereka putuskan untuk berangkat pagi-pagi.
Asa bangun pagi-pagi sekali tadi, niatnya untuk membuat sarapan sebelum pergi. Tapi semua itu gak terjadi sebab Saga bilang dia gak ingin sarapan dan mau cepat-cepat berangkat. Asa gak tau apa alasannya sampai Saga bersikap terburu seperti itu, padahal kelihatannya dia santai-santai saja dan gak seperti orang yang harus segera kembali ke pekerjaannya.
Namun, meski demikian Asa tetap menurut. Alhasil, keduanya gak ada yang sempat sarapan.
Tentu saja hal itu menjadi siksaan tersendiri bagi Asa, yang perutnya mulai meraung minta diisi di jam 9 pagi. Asa melirik ke Saga, tampak wajah pemuda itu sama sekali gak menunjukkan keinginan untuk berinteraksi dengannya, apalagi untuk peka kalau Asa sedang kelaparan saat ini.
Asa berusaha menahan, sebab Saga dan diamnya seperti membangun tembok untuk membatasi jaraknya dan Asa. Gadis itu jadi enggan mengajak Saga bicara, dan perjalanan mereka berlangsung seperti pendakian gunung keramat. Sunyi sekali.
Kalau bukan karena keadaan perutnya yang melilit, Asa mungkin akan terima saja jika Saga hanya diam sampai mereka tiba. Tindakannya semata hanya untuk menyelamatkan perutnya, atau nanti bisa semakin parah jika si penderita maag ringan ini dibiarkan kelaparan.
“Saga ...,” Asa memanggil pelan sementara Saga sama sekali gak meliriknya. Dingin sekali. “Elo gak laper?” tanya Asa kemudian.
“Enggak.” Saga menjawab dengan dingin dan cuek, masih fokus mengendarai. Asa merengut sebal tapi juga heran, dia heran dengan sikap Saga yang sangat dingin terhadapnya.
“Gue laper. Ayo cari makan dulu.” Berhubung dirinya juga sudah mulai kesal dengan sikap Saga, keberanian Asa pun akhirnya kembali muncul. Gak ingin membatasi diri karena ingin bersikap sopan pada saudara barunya itu, sebab Saga sudah menguras banyak emosinya sejak tadi pagi, atau bahkan sejak semalam? “Elo kenapa sih dingin banget sama gue?”
“Gue begini ke semua orang, bukan ke elo aja.”
“Bisa lo hidup dengan sikap sedingin itu selama ini?”
“Lo liat sendiri 'kan gue masih hidup?”
Asa tersendat bicara sebab agak gak percaya dengan jawaban Saga. Dia baru pertama kali ini bertemu orang sedingin Saga dan sialnya orang yang dingin itu akan menjadi teman satu atapnya mulai sekarang.
“Pertanyaanlo agak kasar,” tutur Saga, mengkritik ucapan Asa yang belum dilanjutkan. Iya, itu memang sedikit benar, tapi gak sepenuhnya salah juga, ‘kan? Pasalnya sifat dingin Saga itu memang amat berisiko jika tetap dibawa ke lingkungan sosial seperti sekolah. Dia bisa-bisa gak punya teman.
“Maaf,” balas Asa pelan, gak mau memperpanjang perdebatan dengan Saga, merepotkan. “Tapi bisa berhenti bentar gak sih? Ayo makan. Elo juga belum makan, ‘kan?” Tapi untuk urusan perutnya kali ini, Asa gak mau bersabar lagi. Dia harus makan segera, atau hal lebih buruk bakal terjadi sama tubuhnya.
Suara Asa sengaja dikeraskan, terdengar seperti perintah yang kasar. Asa tau itu, sebab dia sengaja agar Saga mengerti kalau dia benar-benar lapar. Sepertinya pemuda itu mengerti, tapi Asa gak menyangka kalau responsnya bakal semengejutkan ini.
Asa langsung membatu kala mobil yang Saga kendarai direm kuat-kuat, membuatnya berhenti seketika di jalanan ramai kota besar. Kalau saja jalanan sedang sangat ramai dan padat, tindakan gak masuk akalnya ini bisa jadi tiket mereka menuju akhirat.
“Kok berhenti tiba-tiba gitu sih!?” Asa gak bisa menahan mulutnya untuk protes, dia keluarkan rasa kesalnya lewat sebait pertanyaan dan raut wajah kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAKING ME IN THREE : Isa Ft. JASUKE
Teen Fiction❝Kalau bisa, gue mau belah diri aja jadi tiga.❞ Shanette Anatari sama sekali gak tahu kalau kepindahannya ke rumah sang ayah dan keluarga barunya bakal membuatnya bertemu dengan banyak hal gak terduga, mengejutkan bahkan sampai bikin mulut menganga...