Menjalani minggu pertama bersama dengan keluarga barunya, banyak hal mencengangkan yang Asa alami. Yang pertama adalah; ternyata tinggal bersama Sharon tidak sesuram yang Asa pikirkan. Terlepas dari imej ibu tiri yang pilih kasih dan kejam terhadap anak tirinya, Sharon adalah sosok ibu yang sangat peduli dengan Asa.
Asa mungkin harus merasa sedikit tersentuh sebab semua perlakuan istimewa yang dia dapatkan dari Sharon. Sharon adalah orang yang aktif dalam pergaulan, tapi itu tidak menjadikannya wanita yang lupa dengan keluarga. Dia memasak untuk makan malam, dia membangunkan Asa di pagi hari, dia juga cemas jika Asa belum menyentuh makan siangnya.
Sharon itu berbeda sekali dengan sosok ibu yang ada dalam ingatan Asa.
Kemudian, jika itu adalah hal mencengangkan yang membuat perasaan Asa menghangat, maka hal yang kedua ini adalah yang sebaliknya.
Apalagi kalau bukan Saga?
Sebelum tinggal di sana, yang hanya ingin Asa ketahui hanya satu hal; tentang mengapa Saga begitu dingin terhadapnya. Tapi ketika Asa sudah hampir melalui satu minggu pertamanya tinggal satu atap dengan Saga, dia mengetahui fakta baru kalau Saga memang bersikap dingin ke semua orang—bahkan ke ibunya sendiri.
Juga, ada satu hal yang paling mengganggu Asa selama menjadi bagian dari rumah itu. Yaitu bagian di mana Saga selalu melewatkan agenda makan bersama yang sebelumnya rutin diadakan bertiga. Sikap Saga itu benar-benar membuatnya gerah, seakan-akan pemuda itu memang gak menyambut kedatangan Asa.
Biasanya Saga akan beralasan sudah makan di luar atau belum lapar, kalau sudah begitu, dia nantinya akan meminta pembantu untuk mengantar makanannya ke kamar dan membereskan sisanya sendiri. Asa hanya bisa mengerutkan kening dengan tajam. Memangnya semenjijikan apa Asa sampai Saga gak mau lagi duduk di kursi yang biasa dia tempati? Kenapa sampai separah itu menghindari Asa?
“Asa ...?”
“Asa?”
“Shanette!”
Asa tersentak kala Sharon memanggil namanya dengan agak keras dibarengi sentuhan pada bahunya. Gadis itu tersadar dari lamunannya, kemudian kembali menatap sang ibu yang tampak bingung dengannya.
“Kenapa ngelamun? Mikirin apa?” tanya Sharon kemudian. Mereka sedang dalam obrolan santai siang hari, ditemani potongan-potongan buah sebagai pendamping mulut. Tapi disaat Sharon sedang menceritakan sedikit tentang Saga, tanpa sadar dirinya membiarkan Asa yang larut dalam pikirannya.
Gadis dengan nama lahir Shanette Anatari itu menggeleng sembari tersenyum kecil. “Nggak mikirin apa-apa, Ma,” ujarnya beralasan.
“Beneran?” Sharon sekali lagi memastikan.
“Iya, beneran.”
“Kalau kamu mau ngomongin sesuatu atau mengeluh, jangan ragu buat bilang ke Mama, ya. Mama maunya kamu nyaman tinggal di sini.” Asa tersenyum kecut, mengalihkan wajahnya ke arah lain.
Dia juga inginnya tinggal dengan baik tanpa direpotkan perasaan gak nyaman seperti ini, tapi gak mungkin juga untuknya berkata kalau anak kandung Sharon-lah yang menjadi alasannya merasa gak nyaman.
Setelah diam beberapa saat, terdengar suara dari luar. Mereka memutar pandangan menuju pintu besar yang kini terbuka, bersamaan dengannya muncullah Saga yang baru pulang sekolah.
Sharon tersenyum menyambut kedatangan anak laki-lakinya. “Saga udah pulang ...,” ujarnya, membuat Asa meliriknya sedikit. Ah, bahagia sekali sepertinya.
Tapi berbanding terbalik dengan sang ibu, Saga masih bertahan dengan ekspresi dinginnya. Kaki jenjangnya mendekat pada Sharon, bukan untuk memberikan pelukan atau berbasa-basi melainkan memberikan bungkusan yang dilapisi plastik hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAKING ME IN THREE : Isa Ft. JASUKE
Teen Fiction❝Kalau bisa, gue mau belah diri aja jadi tiga.❞ Shanette Anatari sama sekali gak tahu kalau kepindahannya ke rumah sang ayah dan keluarga barunya bakal membuatnya bertemu dengan banyak hal gak terduga, mengejutkan bahkan sampai bikin mulut menganga...