Chapter 22 : Berangkat sama Saga

102 25 1
                                    

Saga biasanya akan pergi paling pagi dari semua orang di rumah, tapi Sabtu pagi itu, dia masih di depan rumah sampai Asa keluar setelah sarapannya.

Mengingat hubungan mereka yang gak pernah baik, Asa gak mau memedulikan Saga yang sepertinya punya masalah dengan baja hitam kesayangannya. Jadi Asa tetap menuju mobil yang sudah menunggu dia, sampai Sharon keluar.

“Saga, kenapa, Nak?”

Saga; pemuda itu begitu dingin bahkan ke ibunya sendiri. Dia gak menatap Sharon dan sibuk dengan ponselnya saat dia menjawab Sharon.

“Mogok.”

“Bareng aja sama Asa. Nanti kamu telat.”

“Ck.”

Asa melirik tajam begitu Saga berdecak pelan; entah karena dia gak peduli dengan ibunya atau karena dia benci kalau disuruh bersama Asa.

Opsi kedua lebih masuk akal. Saga kembali sibuk mencari tumpangan, tapi gak ada yang bisa membuat alis tebalnya berhenti bertaut, sampai Asa sudah duduk nyaman di mobil.

“Saga ..., nanti kamu telat. Berangkat sama Asa aja, sayang.”

Asa melihat bagaimana Sharon memanjakan Saga; mengelus kepalanya dan bicara dengan begitu lembut. Yah, mau bagaimana lagi? Memang darah dagingnya. Tapi bagi Asa, sayang sekali.

Sikap Saga yang sedingin kutub itu ... sayang sekali kalau orang sehangat Sharon, mengasihani orang gak berempati seperti Saga—begitu pikir Asa.

Tapi saat dia melirik lagi, Saga berjalan ke mobil—membuka pintu di tempat Asa duduk.

“Kenapa!?” tanya Asa bernada menantang. Tanpa bicara pun Saga sudah jelas menyuruhnya untuk geser, tapi kenapa Asa harus mau? Dan kenapa juga Asa harus melakukan apa yang Saga ingin sampai membuatnya kesal sendiri seperti ini?

“Hati-hati, ya, sayang-sayangnya Mama. Semoga sekolahnya menyenangkan!” ucap Sharon dengan senyum penuh aura positif, menatap Asa dan Saga bergantian. Sementara Saga begitu pasif, dan Asa pura-pura tersenyum tulus.

“Saga, pulangnya nanti sama Asa lagi, ya. Asa, tolong Saga diawasin, ya?”

Asa gak sempat bertanya kenapa tapi mobil sudah meninggalkan pekarangan, dan perjalanan dilalui dengan kesepian yang dingin dan mencekam; bukan karena situasi horor, tapi karena dinginnya hubungan mereka terasa seperti mereka adalah dua landak yang saling diam tapi juga bersiap sedia jika diharuskan untuk saling menyerang.

Asa masih memikirkan ucapan ibu tirinya untuk mengawasi Saga, dan sempat gak habis pikir.

Orang kayak dia mah gak usah diawasin, dilepasliarkan aja lebih bikin lega—pikir Asa. Tapi dia gak sampai mengatakannya saat Saga menyuruh sopir untuk mampir ke toko ritel terdekat.

“Woy! Telat, njir! Ngapain mampir mampir segala?” seru Asa, sewot, tapi Saga mengabaikan dan tetap masuk. “Ih, susah banget ketemu orang egois! Udah egois, cuek, jahat! Buset, reinkarnasi Duryudana apa gimana? Semua biang jahat disikat!”

Meski semangat menghujat, Asa juga ikut turun. Gadis penggila jajan sepertinya tentu akan susah menolak rayuan toko ritel ber-AC kesayangan rakyat Indonesia itu, dan akhirnya masuk untuk mencari camilan.

Asa tetap memilih cepat, harus buru-buru karena dia bisa terlambat. Asa melihat Saga berdiri di depan kasir, dan dia mendapat alasan untuk mengabaikan keranjangnya dan berjalan cepat ke arah Saga.

“Lo beli rokok?” tanya Asa, “nyokap lo bilang jangan ngerokok, Saga. Lo udah candu banget, ya?” ucap Asa di sampingnya, tapi pemuda bertubuh kurus itu gak memedulikan. Dia menuntaskan transaksi dan pergi, tapi dia sudah menyulut sumbu Asa dengan sikapnya.

BREAKING ME IN THREE : Isa Ft. JASUKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang