Part 1

198 19 4
                                    

Happy Reading:)

“Widya balikin pensil warnanya!” teriak  gadis kecil bernama Yesa Zavira. Ia berhenti sejenak guna menetralkan deru nafasnya yang terasa ngos-ngosan karena terlalu lama kejar-kejaran.

Teman kelasnya dengan jail mengambil pensil warna ketika dia sedang asyik menggambar. Seperti inilah rutinitas mereka ketika jam istirahat tiba yaitu membully Yesa hingga membuatnya menangis.

Sungguh bukan perilaku yang pantas mencerminkan seorang anak kelas delapan SMP. Kedua temannya Widya juga ikut mengganggu gadis kecil itu.

Mereka bahkan mengejek gambar yang Yesa buat. Itu semua hanya ditanggapi diam oleh Yesa. Dengan diam ia bisa mengendalikan dirinya agar terlihat biasa saja ia tidak mau kelihatan lemah lagi kali ini. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak jatuh.

Gadis bodoh seperti dirinya memang selalu dianggap rendah. Di dalam kelas ia selalu dikucilkan tidak ada yang mau berteman dengannya. Sifatnya yang polos dan pendiam membuat semua orang leluasa untuk mengganggunya.

Yesa berusaha mengambil pensil warna itu namun selalu saja gagal. Karena Merasa belum puas, Widya dengan sengaja melempar pensil itu ke arah Reza. Mereka mulai saling mengopor sehingga membuat Yesa semakin kesulitan mengambil pensil warnanya itu.

“Yesa mohon balikin.” Terdengar nada pasrah di sana. Sebisa mungkin ia menahan air mata itu, namun pertahanan kali ini gagal. Suara isak tangis dari mulutnya mulai terdengar. 

Melihat Yesa mulai menangis membuat Widya dan kedua temannya tertawa senang. Inilah yang mereka harapkan. Membuat gadis itu menangis karna ulahnya.

“Lo mau pensil warna ini 'kan?” tanya Reza tersenyum miring. Yesa seketika berhenti menangis beralih menatap Reza serius. Berharap pensil warnanya itu akan segera dikembalikan. Yesa mengangguk sebagai jawaban.

“Baiklah. Tapi sebelum itu lo harus cium kaki gue dulu, mau nggak?” Reza melirik Widya dan kedua teman perempuannya lalu tersenyum licik.

Yesa menggeleng. “Nggak. Yesa gak mau!”

Reza mendesis tajam. Kedua tangannya mengepal kuat merasa tidak terima atas penolakan dari gadis itu.

“Oke. Pensil warna ini gak akan gue balikin sampe lo mau cium kaki gue!” ucap Reza dengan nada menantang. Bocah laki-laki itu bersedekap dada seraya menjulurkan sebelah kakinya berharap Yesa menciumnya.

Yesa tersenyum miris. Hari-harinya terasa kelam seakan tidak ada sinar yang menerangi. Ia ingin merasakan bagaimana tersenyum tanpa beban, merasakan yang namanya bahagia. Bahkan keadaan seolah  melarangnya untuk tersenyum.

Ia kira dengan menggambar bisa membuatnya sedikit tenang. Ternyata dugaannya salah. Ini semakin memperburuk keadaan. Ia lupa bahwa mereka selalu mencari celah agar dapat mengganggu dirinya.

Pernah Yesa ingin memberitahu soal ini kepada wali kelasnya. Namun, dengan cepat mereka mengetahui dan langsung mencegat Yesa dengan mengancamnya sehingga gadis itu langsung tutup mulut.

Ingin sekali ia berteriak di depan wajah  mereka lalu mengatakan bahwa ia tidak ingin diganggu lagi. Sungguh Yesa ingin membalas semua perbuatan mereka. Namun, itu semua hanya angan-angan yang bisa ia pendam.

Diam mungkin bisa menyelesaikan masalah tanpa harus banyak bicara, tetapi itu akan membuat hatimu lelah.

Hati kecilnya menolak perintah Reza. Di sisi lain ia juga ingin pensil warnanya itu kembali.

Sebenarnya Yesa dapat membeli pensil warna baru tanpa harus susah-susah memohon Reza mengembalikannya.

Yang membuat pensil warna itu sangat berarti bagi Yesa ialah karena itu adalah pemberian terakhir dari almarhum Kakak pertamanya, Reno. Salah satu kenangan yang masih ia simpan sampai sekarang. Sungguh ini sangat sulit untuk ia lepaskan begitu saja.

Yesa menyeka air matanya lalu kemudian menatap mereka satu persatu. “Baiklah. Yesa akan turuti permintaan Reza.”

Senyum kemenangan terbit di bibir mereka berempat. Dengan gaya anggkuh Reza mengulurkan sebelah kakinya lebih dekat pada Yesa yang sudah berjongkok bersiap mencium kakinya.

Ketika bibir mungil itu hendak menempel pada permukaan sepatu Reza. Dengan gerakan cepat Reza mendorong keras kakinya sehingga mengenai atas bibir Yesa, hingga membuat bibir gadis itu sedikit robek dan mengeluarkan darah cukup banyak.

Yesa tertegun dengan tatapan kosong. Kedua mata itu kembali berair merasakan perih pada bibirnya yang robek. Ia menyeka darah yang keluar sehingga membuat telapak tangan Yesa penuh dengan darah.

Sedetik kemudian air matanya turun tanpa henti. Ia menangis sejadi-jadinya meluapkan semua amarah yang ia pendam sejak tadi. Mata sendu itu menatap Reza kecewa.

Yang ditatap tidak merasa bersalah sedikitpun. Bahkan dengan bangga mereka berempat bertepuk tangan satu sama lain atas keberhasilan mereka.

Yesa berdiri seraya menjulurkan sebelah telapak tangannya meminta sesuatu. “Balikin pensil warna Yesa,” pinta gadis itu lirih.

“Tidak semudah itu." Ucap Widya mengambil alih pensil warna tersebut dari tangan Reza.

Yesa membeku di tempat. Ia kira setelah melakukan permintaan dari Reza tadi ia sudah bisa mengambil kembali pensil warnanya. Mereka dengan licik menipunya.

“Yesa 'kan udah nurutin kemauan Reza. Jadi sekarang balikin pensil warna itu, plis, kali ini kalian jangan bohongin Yesa lagi. Yesa capek,” ucap Yesa dengan menyatukan kedua telapak tanggan di dada, memohon kepada Widya. Darah di bibirnya terus mengalir mengenai seragam putih miliknya.

Tidak ada sama sekali tatapan iba dari mereka berempat. Widya malah semakin mengejek dirinya.

“Yesa mohon balikin. Itu satu-satunya kenangan pemberian dari Kakak Yesa,” gumam Yesa pelan. Berharap Widya mengabulkan permintaannya itu.

“gak akan!” jawab Widya mantap.

Widya tersenyum miring. Ia menghempaskan semua pensil warna tersebut ke lantai lalu kemudian menginjakkan hingga remuk.

Yesa tertegun. Matanya menatap lurus ke bawah. Ia terduduk lemas, dunianya terasa hampa. Kenangan terakhir dari Reno yang mati-matian ia jaga kini telah hancur. Ia gagal menjaga itu semua.

“Kalian udah nyakitin fisik Yesa. Sekarang batin Yesa juga ikut sakit. Kapan ya, Yesa bisa bahagia?”

Tangannya terulur meraih benda yang terlah hancur tersebut dengan berderai air mata.

“Maafin Yesa Kak.” Ucap Yesa lirih.

Jangan lupa vote and comennya:v

THE WORLD IS NOT FAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang