Happy Reading:)
Bel pulang telah berbunyi. Semua siswa-siswi berbondong keluar kelas. Lain halnya dengan Yesa, ia memilih berdiam di dalam kelasnya sebentar untuk menunggu jemputan datang. Ia merasa sedikit kecewa karna Ayahnya tidak bisa menjemput di karenakan harus menghadiri meeting yang kemarin tertunda. Dan menitipkan pesan kepada Yesa agar pulang bersama Widya. Moodnya tiba-tiba rusak gara-gara mendengar nama itu.
Tidak terasa kini sekolah udah pada sepi. Ia mencoba untuk menelpon Pak Mamat selaku sopirnya untuk segera datang, namun tidak diangkat.
Yesa mencoba untuk keluar kelas. Menyusuri koridor sambil sesekali melihat notif di HPnya. Memastikan kalau Pak Mamat mengirimkan pesan padanya. Namun ia menghembuskan nafas kecewa ketika belum melihat notif sekalipun dari sopirnya itu.
Cukup jauh ia menyusuri koridor. Ia berhenti tepat di depan toilet perempuan. Sebelum akhirnya, ia merasakan sebuah tangan menariknya kencang masuk ke dalam toilet tersebut. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang merasakan kecemasan yang luar biasa. Matanya seketika menutup ketakutan. Takut-takut Yesa mulai membuka kedua matanya perlahan, ia berharap orang itu bukan penjahat.
Seketika Yesa melotot tidak percaya. Ternyata orang itu adalah Widya. Harapannya tidak terkabul. Ini benar-benar penjahat.
“Widya.”
“Kenapa? Takut?” ucap Widya dengan ekspresi meremehkan.
“Kenapa kamu masih ada di sini?” tanya Yesa gugup. Takut Widya berbuat yang tidak-tidak kepadanya.
“Untuk memberi lo hukuman!” bentak Widya tidak main-main. Menatap Yesa penuh permusuhan.
“Apa maksud lo tadi pagi? Ngelarang gw buat diantar sama Ayah? Apa!” bentak Widya untuk kedua kalinya, membuat Yesa mundur ketakutan. Melihat mata Widya memerah karna menahan tangis seketika membuat Yesa menunduk.
Widya mengangkat dagu itu paksa. “Kenapa nunduk? Lo takut?”
Yesa menggeleng cepat. “Nggak. Kata siapa Yesa takut sama kamu, emang kamu Tuhan?” balas Yesa santai untuk menutupi ketakutannya.
Sungguh ini membuat Yesa cemas. Ia takut Widya akan mengurungnya di toilet.
“Gw emang bukan Tuhan. Tapi Gw bisa buat lo ketemu Tuhan, ngerti!”
“Yesa Anj*ng!” umpat Widya sambil melayangkan tamparan yang cukup keras di pipi Yesa.
Yesa meringgsut ketakutan. “Emang Yesa salah? 'Kan itu balasan buat kamu karna udah nyelakain Yesa kemarin,” balas Yesa gugup tanpa menatap Widya yang tersenyum licik.
“Ya salahlah. Sebenarnya itu, lo yang diantar sopir bukan gw! Karna Alden Bagaskara itu Ayah gw! Bukan Ayah lo! Seharusnya yang jadi anak kandung itu gue, bukan lo anj**g!” seketika emosi Yesa meluap ketika mendengar ucapan itu. Rasa takutnya tiba-tiba hilang. Bahunya kembali tegak dengan mata menatap Widya tajam.
“Kasihan ga pernah ngaca. Sadar diri ngapa kek, Gue jelas seratus persen darah daging Alden Bagaskara, lah lo? Apa? Cuma sebatas anak tiri aja belagu anj**g!” hardik Yesa dengan muka memerah. Widya nampak kaget atas perubahan dari segi bicara Yesa. Bahkan mata itu tak berkedip sedikitpun. Namun, seketika ia langsung mengubah ekspresinya menjadi biasa saja.
“Halah, sok-sok an ngelawan gue. Lo itu lemah Yesa, Yesa, gak akan bisa ngelawan gw.” Angkuh Widya sambil terkekeh.
“Oh, gak bisa ya?” balas Yesa tersenyum miring.
Tanpa aba-aba Yesa menampar pipi Widya keras sehingga membuat Widya menoleh ke samping. “Gw ga bisa ya, ternyata.” Ucap Yesa menaikkan sebelah alisnya seolah meremehkan kemampuan Widya.
Widya ingin membalas menampar namun dengan cepat Yesa menahan tangan itu.
“Gw bisa jadi jahat kalau ada yang berani ngerusakin kebahagiaan gw. Paham!” tekan Yesa menatap kedua mata Widya tajam.
“Gw gak akan takut sama gadis lemah kayak lo!” balas Widya tidak mau kalah. Sedikit mendorong sebelah bahu Yesa.
Widya tampak mundur langkah demi langkah menuju pintu. Awalnya Yesa tidak menyadari hal itu, namun ia langsung sadar ketika Widya sudah mencapai pintu toilet bersiap untuk mengunci toilet tersebut. Yesa panik luar biasa ia langsung berlari secepat mungkin untuk mencapai pintu sebelum Widya menguncinya. Namun, usahanya gagal Widya lebih dulu menguncinya dari luar.
“Rasain lo! Ga akan ada yang bisa ngeluarin lo dari situ. Bye bye Yesa lemah.” Ledek Widya dari luar. Sehingga membuat Yesa kalang kabut.
“Widya anj**g!” umpat Yesa emosi.
........
Sudah lebih dua jam Yesa berada di toilet tersebut. Ia sudah mencoba berulang kali untuk menelpon Alden tapi tidak diangkat sama sekali. Apa mungkin ayahnya itu masih meeting?
Keringat membanjiri pelipisnya. Matanya berlinang menahan tangis. Ia takut sendirian di sini.
“Siapapun tolong Yesa!” teriak Yesa memukul pintu toilet keras berharap masih ada orang di sana dan menolongnya.
“Tolong!” teriak Yesa sekali lagi. Namun nihil ia belum merasakan tanda-tanda ada pertolongan untuknya.
Berulang-ulang ia berteriak minta tolong. Namun hasilnya tetap sama. Yesa terduduk lemas seolah pasrah dengan keadaan.
Detik demi detik Yesa lalui. Hingga pada akhirnya langit mulai gelap. Dan toilet tersebut juga ikut gelap karna tiba-tiba saja lampu mati.
Yesa memeluk diri ketakutan. Hp nya juga lowbat sehingga membuat dirinya kesusahan untuk menelpon keluarganya terutama Alden, ayahnya.
Kenapa keadaan seolah mengutuk dirinya hari ini. Kenapa keadaan tidak memihak pada dirinya.
Kegelapan dan kesunyian cukup menemaninya malam ini. Sungguh ini membuatnya takut. Ia takut gelap. Bahkan ia tidak bisa melihat apapun di sekitarnya. Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan.
“Yesa takut Ayah,” lirihnya. Air mata itu tak berhenti menetes.
“Kenapa Yesa selalu dijahatin? Padahal Yesa gak pernah jahat sama orang lain.” Ucapnya berkeluh-kesah. Napasnya naik-turun karena terlalu lama menangis.
“Siapapun tolong Yesa. Yesa takut gelap.” Lirihnya. Yesa nampak kelelahan, bibirnya pucat. karna dari tadi ia belum makan apapun.
“Ayah tolong Yesa,” ucapnya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Jangan lupa vote and komen🥺🧡