Happy Reading:)
Yesa telah sampai di sekolah. Sebelum pergi ke kantor, Alden terlebih dahulu mengantarkan Yesa dan Widya bersamaan. Karena Vito dan Vino telah memasuki jenjang SMA kelas 11. Kebetulan jaraknya sekolahnya tidak terlalu jauh membuat mereka pergi menggunakan sepeda tanpa harus Alden yang mengantarkannya.
Sesampainya di depan kelas Yesa berhenti. Mata itu menatap kelasnya dengan tersenyum kecut. Karena ia tau jika ia masuk ke dalam pasti ia tidak akan merasa tenang. Ada saja yang membuat hatinya sakit. Ia ingin punya temen di kelas, ia ingin merasakan bermain bersama temen sebayanya. Namun, itu tidak akan pernah terwujud. Karena mereka tidak pernah menganggap dirinya.
Yesa menundukkan kepala kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kelas.
Ia duduk di kursi barisan belakang bagian pojok. Sebenarnya dulu Yesa ingin duduk di barisan depan, tetapi karena Widya terus membullynya membuat Yesa harus mengalah dan menuruti kemauan Widya yang menyuruh dirinya agar duduk di belakang.
Baru saja ia akan duduk di kursinya tiba-tiba kedua temen Widya, Siska dan Wulan datang dengan tatapan meremehkan. Yesa hanya tersenyum tipis dan duduk di kursinya.
“Oh ..., jadi ini saudara baru Widya.” Ujar Siska terkekeh sinis seolah mengejek begitu juga dengan Wulan. Yesa hanya diam menatap keduanya tanpa ekspresi.
“Emang kenapa?” tanya Yesa tenang.
Mereka memandang satu sama lain seraya tertawa mengejek. Siska semakin mendekati Yesa. Yesa yang merasa tau apa yang akan Siska lakukan, membuatnya segera menjauh. Mencoba menghindar. Yesa menatap Siska dan Wulan dengan mengernyitkan kedua alisnya kebingungan.
“Mau kalian apa? Yesa gak ada urusan sama kalian.” Pungkas Yesa. Kali ini ia memberanikan diri untuk menjawab ucapan Siska. Ia rasa ia tidak memiliki urusan dengan kedua temen Widya ini, lalu mengapa mereka merasa sok tau antara hubungan dia dengan Widya? Aneh.
Siska mendesis. Matanya melotot tajam ke arah Yesa yang mulai ketakutan. Berani sekali gadis kecil itu menjawabnya dan tiba-tiba menjauh. Rendah harus tetap rendah.
Dengan gerakan cepat Siska menjambak rambut Yesa dengan Wulan yang memegang kedua tangan gadis itu erat agar tidak dapat berkutik. Pegangannya cukup erat sehingga meninggalkan sedikit bekas merah di pergelangan tangan Yesa.
Ringisan kesakitan dari mulut Yesa tidak mereka dengarkan. Siska malah semakin menarik rambut Yesa sehingga membuat kepala gadis itu mendongak ke atas.
“Yesa salah apa sama kalian?” tanya Yesa polos. Matanya mulai berlinang merasakan denyutan di kepalanya.
“Lo salah karena udah berani jawab omongan gue tadi!” bentak Siska. “Seharusnya mulut lo itu diem aja!” dengan tidak berperasaan Siska menarik plaster yang menempel di bibir Yesa yang terluka kemarin. Untung saja lukanya sudah kering. Namun tetap saja Yesa kembali merasakan perih di bagian bibirnya.
Belum lama kemudian datang ketua geng di sana. Siapa lagi kalau bukan Widya. Bukannya pergi ke tempat duduknya gadis itu malah mendekati kedua temennya dengan penuh semangat.
Sekarang Widya berada tepat di depan Yesa. Widya menatap gadis kecil di depannya dengan tatapan sinis. Jangan harap ada rasa iba dalam dirinya. Karena itu tidak mungkin.
“Kita itu masih kelas 2 SMP! nggak seharusnya melakukan tindakan pembullyan kayak gini. Ini hanya perbuatan orang dewasa.” Nasehat Yesa. Yang di nasehati malah tertawa sinis.
“Jadi, kalau udah dewasa boleh?” tanya Widya sambil memainkan rambut panjang Yesa dan sesekali menariknya keras sehingga membuat empunya merintih kesakitan.
Yesa menggeleng membantah ucapan Widya. “Bukan gitu. Pokoknya pembullyan itu gak baik dilakukan untuk semua orang. Baik yang masih kecil maupun yang udah dewasa sekalipun. Karena tindakan itu nggak baik.
“Halah jangan sok tau lo! Oh, sekarang udah berani lo sama gue?” tanya Widya geram dan semakin mendekatkan tubuhnya. Mereka main keroyokan rupanya.
'Ya Allah tolong selamatin Yesa. Yesa gak kuat, mereka main keroyokan.' Mohon Yesa dalam hati.
“Jangan mendekat. Atau Yesa teriak sekarang juga!” Ancam Yesa tidak main-main. Kali ini dia tidak boleh diam. Hari ini ia akan buktikan kalau ia bisa melawan Widya dan kedua temennya walaupun hanya sekedar lewat ucapan. Ketahuilah itu sungguh membuat hatinya senang karena selama ini, dia memang selalu diam dan enggan menjawab ucapan pedas dari Widya dan temennya itu.
Widya menyeringai dengan mengangkat dahi meremehkan. Bukannya takut, mereka malah semakin mengejek kemampuan Yesa yang terbilang lemah. Yang mereka tahu gadis kecil seperti Yesa itu lemah, gak akan bisa melawan dirinya.
Dengan gemas Widya mencubit kedua pipi Yesa kuat sehingga membuat gadis itu memekik kesakitan.
“Kalau lo berani teriak dan laporin kita ke guru. Siap-siap aja Ayah lo gue ambil. Akan gue buat dia gak sayang lagi sama lo!” ucap Widya menyeringai setelah melepas tangannya dari kedua pipi Yesa. Widya dan kedua temennya tersenyum kemenangan melihat ekspresi Yesa yang tampak ketakutan atas ancamannya itu.
“Itu tidak akan terjadi. Yesa pastiin rencana kamu itu gak akan berhasil. Apalagi kamu 'kan bukan anak kandung Ayah Yesa. Jadi, jangan berharap lebih sama Ayah Yesa. Ngerti!” tegas Yesa dengan nafas memburu uneg-uneg yang selama ia pendam akhirnya tersampaikan. Dia tidak mau lagi terlihat lemah di depan musuhnya. Bagaimana pun caranya ia harus berani membela diri. Orang lemah tidak akan bisa terus-menerus ditindas. Mulai sekarang itu akan menjadi prinsip hidupnya.
Widya tertawa sinis. Sebelumya ia sempat terkejut atas keberanian Yesa yang mulai berani melawan dirinya. Tidak seperti biasanya. Ia melihat Yesa yang berbeda kali ini. Tidak! Dia tidak suka Yesa melawan. Yang dia mau gadis kecil itu harus tetap diam dan lemah. Pokoknya bagaimana pun caranya ia harus membuat gadis itu kembali seperti dulu yaitu diam dan lemah.
“Reza!” teriak Widya keras. Merasa namanya dipanggil Reza segera mendatangi Widya.
“lihat. Anak ini udah berani sama kita. Dengan berani dia malah ngancam gue balik. Songong banget 'kan? Gue mau lo suruh dia cium sepatu lo kayak kemarin,” gerutu Widya mengadu pada Reza.
Reza yang mengerti langsung saja menjulurkan sebelah kakinya ke bawah tepat di depan Yesa. Yesa menatap sinis Reza.
Dengan paksa Siska membungkukkan tubuh Yesa. Yesa sengaja mengeraskan tubuhnya agar keduanya kesulitan. Namun, tetap saja gagal.
“Cium! Gak Pake lama!” Bentak Reza sehingga membuat Yesa terkejut.
'Ayo lawan. Ini kesempatan kamu Yesa.'
Yesa mulai mendekatkan kepalanya pada sepatu Reza. Jangan harap kali ini dia bodoh. Dengan gerakan cepat Yesa menarik sepatu Reza sehingga terlepas. Menyadari sepatunya terlepas Reza dibuat terkejut begitu juga dengan Widya dan kedua temennya. Tanpa membuang waktu, Yesa langsung melempar sepatu Reza asal.
“Anjing!” Umpat Reza geram.
Jangan lupa vote dan komen🥺❤
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WORLD IS NOT FAIR
Literatura FaktuTentang Dia yang ingin merasakan kebahagiaan.