Setelah meminta persetujuan dari Yesa, Alden beralih pada kedua anak kembarnya.
Alden menghela nafas lega. Setelah mendengar jawaban dari Vino dan Vito yang sama sekali tidak keberatan atas kehadiran anggota baru di keluarganya tersebut. Sejak dulu mereka memang selalu menuruti setiap kemauan Alden selagi hal itu masih wajar dan tidak melampaui batas. Mereka mengerti perasaan Alden sekarang, Ayahnya itu memang masih tampan dan muda. Wanita mana yang tidak tertarik dengannya? mata yang sipit dan juga tubuh yang atletis membuat Alden terlihat seperti oppa-oppa Korea. Memiliki alis tebal yang hampir menyatu membuatnya terlihat manis. Bibir tibis nan merah menambah kesan seksi di sana. Yesa bahkan selalu mencium Alden dibagian bibir. Entahlah, itu menjadi candu baginya. Ia terlalu gemas dengan bibir ayahnya yang terlihat imut dan menggemaskan ketika sedang mengomel.
Syura Salsabila. Sama seperti namanya, orangnya tak kalah cantik. Wajah yang selalu mengeluarkan aura positif walaupun faktanya ia adalah seorang janda beranak satu. Bentuk wajahnya bulat dengan bibir tebal mempesona menambah kesan imut disana. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, bisa dikatakan sedang. Tidak menutup kemungkinan kalau Syura memiliki tubuh ideal yang diharapkan oleh wanita di luar sana. Syura adalah seorang wanita berusia dua puluh enam tahun bisa dibilang cukup terpaut jauh dari usia Alden yang telah mencapai kepala tiga. Kini status janda telah menjadi istri sah dari Alden dan juga Mama bagi Yesa dan kedua abang kembarnya.
Melihat Yesa berhenti menangis membuat Alden berinisiatif untuk mengajak anaknya itu berkenalan dengan istri dan anak barunya itu.
Alden berdiri kemudian menggenggam tangan Yesa mendekati Syura dan juga anaknya. Yesa hanya menurut.
“Sayang, kenalin ini Syura Salsabila. Mulai sekarang panggil dia Mama ya,” ucap Alden memperkenalkan. Yesa hanya diam, menatap wanita di depannya tanpa ekspresi. Kedua tangannya ia lipat ke belakang merasa tidak sudi bersalaman dengan Syura. Alden tersenyum tipis ke arah Syura merasa tidak enak hati kepada istrinya itu. Ia bisa memaklumi sikap Yesa sekarang, mungkin dia butuh waktu untuk menerima semuanya.
Syura mengusap bahu Alden lembut kemudian tersenyum seolah menyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja.
“Kenalin juga ini saudara baru kamu, namanya Widya Saputri.” Mendengar nama itu, sontak membuat Yesa terkejut, matanya membelalak tidak percaya apa yang barusan Ayahnya katakan. Ia memukul pelan dadanya yang terasa sesak. Alden dan Syura mencoba menghentikan tangan Yesa namun tetap saja gagal. Matanya menatap Widya tajam, kakinya melangkah lebih dekat ke arah gadis kecil sebayanya itu.
Air mata Yesa mengalir deras menatap wajah Widya yang tertutup masker. Mata yang sama. Yang hampir setiap hari ia lihat di kelasnya. Yesa memandang Widya dari atas sampai bawah, mencoba kembali mengenali tubuh kecil yang memiliki tinggi badan sepertinya.
Ia tidak salah lagi. Yang berada di depannya sekarang itu benar-benar Widya. Gadis kecil yang sering membully dirinya di kelas. Gadis yang telah menghancurkan satu-satunya kenangan berharga dari abangnya Reno.
Tanpa banyak bicara. Yesa melepas masker itu kasar dari wajah Widya. Semua orang menatap terkejut melihat itu semua.
Widya menatap Yesa dengan tersenyum miring yang hampir tidak kelihatan.
Sedangkan Yesa ia mundur beberapa langkah. Sorot matanya terus menatap Widya tajam. Apa ini? Ia harap ini mimpi. Ia menepuk pipinya pelan dan benar saja ia merasakan kenyataan yang sesungguhnya. Kenapa orang jahat seperti Widya yang harus masuk di kehidupannya? Kenapa harus Widya yang menjadi saudara barunya itu? Ia tidak mengerti. Dunianya mengapa serumit ini. Setelah luka yang ia dapatkan di sekolah, apakah harus menjadi selama-lamanya?
Tanpa banyak bicara, Yesa langsung berlari menuju kamarnya. Tanpa memperdulikan Alden dan juga sikembar memanggil namanya.
'Shit! Berani-beraninya dia natap gue kayak gitu.'
.........
“Kenapa harus Widya yang menjadi saudara Yesa? Yesa gak mau!” Pekik Yesa melempar apa yang ada di dekatnya.
Wajahnya sudah seperti orang gila. Rambut panjang nan lebat yang semula rapi kini menjadi acak-acakan. Yesa meluapkan semua amarahnya. Ia masih belum bisa menerima semua apa yang terjadi hari ini. Ia tidak sudi menganggap Widya sebagai saudaranya. Karena Widya ia tidak pernah merasa tenang di sekolah, karena Widya ia menjadi seperti ini.
Yesa menatap dirinya di cermin seraya mengusap jejak air matanya.“Yesa kuat. Pokoknya, kalau Widya nyakitin Yesa lagi, Yesa harus balas. Ya, Yesa harus balas. Yesa bisa!” ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Mencoba untuk menjadi orang yang tegar, berusaha untuk tidak bersikap lemah. Dulu ia selalu melakukan hal ini, menyemangati diri sendiri dengan berbicara di depan cermin. Walaupun akhirnya selalu berakhir gagal. Karena ia selalu saja mengalah dan diam saja ketika Widya dan teman-temannya menyakiti fisik maupun batinnya. Tapi kali ini,dia yakin dia bisa.
“Pengen banget, Yesa tuh, cabik-cabik mukanya Widya.” Wajah bulat nan mungil itu mulai cemberut dan terisak. “Tapi kenapa Yesa gak bisa?!” teriaknya keras.
“Nggak, Yesa bisa. Buktinya tadi Yesa menatap mata Widya tajam. Trus lepas masker Widya kasar.” Wajah yang semula cemberut kini berubah menjadi terkekeh senang. Yesa merasa bangga pada dirinya karena telah berani melawan dan membela diri. Entahlah, ini sungguh membuatnya merasa terkejut ketika mengingat bahwa tadi ia benar-benar menjadi Yesa yang berbeda.
“Andaikan, Yesa orangnya tegaan kayak Widya. Tapi, Yesa gak bisa. Yesa orang baik-baik, gak boleh main kasar sama orang. Tapi kalau didiemin Yesa yang sakit. Yesa gak bisa terus-terusan mengalah.” Ucap Yesa seolah berbicara dengan dirinya sendiri di cermin.
Jangan lupa vote and komen🥺