Bab 1 - Restu yang tak kunjung datang

1.3K 52 1
                                    

"Pokoknya Yangti ndak setuju!”

Kata-kata Yangti Sundari masih terngiang-ngiang ditelinga Maharani Gunawan. Gadis berambut hitam lurus sebahu dan berkulit langsat dengan gurat manis khas perempuan jawa itu dipaksa harus mengakhiri hubungan yang telah lama terjalin dengan kekasihnya. Mata bulat yang biasanya berkilau itu kini berkaca-kaca dipenuhi dengan air mata yang membanjir di kedua pipinya.

“Ma, tolong bilang ke Yangti bahwa hal-hal semacam itu hanya mitos,” ujar Rani meminta pertolongan kepada Bu Widya yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah.

Kemarin Eyang Utinya menolak mentah-mentah niat baik Ravendra Baskara yang ingin melamarnya. Padahal lelaki dengan garis wajah tegas dan berhidung bangir itu sudah merencanakan untuk melamarnya ketika ia pulang ke Jogja, namun sikap Yangti Sundari sungguh sangat diluar dugaan Rani.

“Kamu tahu sendiri kan bagaimana kerasnya sikap Yangti? Mama sudah berusaha untuk memberi pengertian kepada Yangti, tapi Yangti tetap teguh dengan pendiriannya,” sahut Bu Widya menghentikan sejenak kegiatannya.

“Bagaimana dengan Papa?” tanya Rani penasaran. Kemarin setelah Vendra dan keluarganya berpamitan pulang, Ia sempat melihat orang tuanya sedikit berdebat dengan Eyangnya.

“Papa juga sudah berusaha meyakinkan Yangti, tapi Papa juga ndak bisa berbuat apa-apa. Kamu tahu Papamu sangat sayang dengan Yangti, Dia tidak pernah bisa menolak apapun kata-kata Yangti,” pungkas Bu widya.

“Tapi Ma, ini nggak adil bagi Rani dan Vendra. Hanya karena masalah weton yang tidak cocok, lalu Kami dipaksa untuk putus,” kata Rani tidak puas dengan jawaban mamanya. Terlahir sebagai anak pertama dan cucu pertama, membuat Rani tumbuh sebagai wanita yang independent dan madiri. Itu lah sebabnya Rani tidak bisa menerima begitu saja saat ketidakadilan membuatnya harus mengakhiri cintanya.

“Itu semua demi kebaikanmu, Nduk,” sahut Yangti Sundari yang kini sudah berada disebelah Rani. “Yangti ndak ingin terjadi sesuatu sama Kamu kedepannya."

“Yangti, itu hanya mitos. Bukankah semua orang di dunia ini akan mati tanpa melihat weton pernikahan yang tidak cocok? Apakah mereka yang weton kelahirannya cocok dengan pasangannya akan hidup abadi selamanya? Apakah ...,” belum selesai Rani meneruskan kata-katanya, Yangti Sundari sudah lebih dulu memotong kalimatnya.

“Coba lihat Papa dan Mamamu. Mereka wetonnya cocok. Sekarang mereka hidup bahagia, langgeng pernikahannya, diberikan rizki yang melimpah. Itu karena weton mereka bagus,” seru Yangti Sundari. Perempuan yang berusia lebih dari setengah abad itu mulai menunjunjukkan hasil dari campur tangannya dalam memilihkan jodoh untuk Widya, anak perempuannya satu - satunya, yang tidak lain adalah ibunya Rani.

“Pernikahan Mama dan Papa langgeng dan bahagia karena Mereka saling mengasihi dan menyayangi, Yangti. Keluarga Kita bisa hidup berkecukupan pun itu karena Papa giat bekerja dan berusaha,” ujar Rani mendebat Yangtinya. Sementara Yangti Sundari terdiam mendengar perkataan cucu pertamanya itu.

“Rani cukup!” seru Bu Widya yang merasa Rani sudah melewati batasnya dalam berbicara dengan Eyang Utinya.

“Tapi, Ma ...,” rajuk Rani.

“Mama bilang cukup. Kamu harus minta maaf sama Yangti,” perintah Bu Widya.

“Rani minta maaf, Yangti. Rani nggak bermaksud menyakiti hati Yangti,” sesal Rani sambil mencium tangan kemudian memeluk Yangti-nya.

Yangti Sundari geming saat dipeluk oleh Rani. Perempuan yang selalu mengenakan setelan kebaya dan kain batik itu tak membalas pelukan dari cucu kesayangannya. Ada sedikit nyeri dihati perempuan sepuh yang hampir seluruh rambutnya telah memutih itu, saat cucunya mendebatnya dengan segala argumen yang dilontarkan. Ia baru menyadari bahwa keputusan Gunawan dan Widya mengizinkan Rani untuk merantau ke Jakarta adalah suatu kesalahan yang fatal.

Ia merasa bahwa jati diri sebagai orang jawa di dalam tubuh gadis yang telah dibesarkan oleh kedua tangannya dengan penuh kasih sayang itu telah hilang seiring dengan perkembangan zaman. Tradisi yang selama ini Ia ajarkan kepada cucu sulungnya itu seakan-akan hanya sebuah dongeng yang masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

“Ada disini Kalian rupanya,” kata Pak Gunawan yang baru saja pulang bekerja. Laki-laki berwajah teduh itu baru saja memecah keheningan yang terjadi diantara tiga perempuan yang sedang bersitegang.

“Kamu lihat Gun, anak gadismu ini sudah kehilangan jati dirinya sebagai perempuan jawa yang menjunjung tinggi budaya leluhur Kita,” kata Yangti Sundari sambil melepaskan pelukan Rani. Darahnya masih mendidih teringat dengan semua perkataan cucu sulungnya itu.

“Ada apalagi ini, Bu?” tanya Pak Gunawan yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi diantara Mereka.

“Keputusanmu dan Widya mengizinkan Rani merantau ke Jakarta itu salah besar. Waktu itu Ibu sudah mewanti-wanti agar Rani tidak perlu kuliah dan bekerja di Jakarta. Ini lah yang Ibu takutkan sejak awal. Rani menjadi anak yang pembangkang dan mulai meninggalkan adat istiadat yang melekat padanya. Bahkan Dia sudah semakin berani mendebat Yangti-nya,” ujar Yangti Sundari menjelaskan duduk perkara kepada Pak Gunawan yang masih terbengong.

“Bu, Kami mengizinkan Rani untuk kuliah dan bekerja di Jakarta itu sebenarnya keputusan yang berat dan sulit bagi Kami. Tapi Kami ndak bisa menghalangi Rani untuk mengejar cita-citanya,” jawab Pak Gunawan dengan penuh hati-hati. Di satu sisi Dia tidak ingin menyakiti hati ibunya, di sisi lain, ia pun tak ingin melukai perasaan anaknya.

“Ya tapi Kamu bisa lihat kan, bagaimana sikap Rani sekarang?” tanya Yangti Sundari masih tetap kekeh dengan pendapatnya bahwa Rani bukanlah anak manis dan penurut seperti dulu.

“Rani ndak pernah lupa dengan jati diri Rani sebagai perempuan jawa, Yangti. Tapi bukan berarti kehidupan Rani kedepannya ditentukan oleh weton. Walaupun wetonnya cocok, kalau orang yang menjalani rumah tangga namun tidak saling cinta dan tidak rajin bekerja, mereka pun tidak akan langgeng dan tidak akan hidup berkecukupan,” sanggah Rani.

“Sudah ... sudah ... jangan berdebat lagi. Bu, apakah tidak ada cara lain agar Rani dan Vendra bisa menikah?” tanya Pak Gunawan kepada ibunya.

“Ndak ada! Kalau pun ada Ibu tetap ndak setuju!” jawab Yangti Sundari kemudian berjalan terhuyung masuk ke rumah, namun sebelum mencapai pintu rumah Yangti Sundari terjatuh dan sempat pingsan yang membuat Pak Gunawan dan Bu Widya panik bukan kepalang dan segera memanggil dokter.
Sementara Rani merasa menyesal telah bersikap keras kepada Yangti-nya. Untung lah Yangti Sundari segera siuman, sehingga Rani bisa menyampaikan permintaan maafnya kepada Yangti.

“Kamu dengar sendiri kan Nduk, apa perkataan Yangti tadi?” tanya Bu Widya kepada Rani yang masih berdiri mematung di luar kamar Yangti Sundari.

“Papa harap Rani bisa menuruti kemauan Yangti. Semua ini Kami lakukan untukmu, Nduk. Sebagai anak pertama, Kamu harus bisa memberi contoh yang baik kepada adik-adikmu,” ucap Pak Gunawan.

“Apa selalu seberat ini tuntutan sebagai anak pertama? dituntut untuk selalu mengalah dan dijadikan panutan untuk adik-adiknya,” ujar Rani sedikit kecewa dengan permintaan papanya.

“Bukan begitu maksud Papa, Nduk. Papa hanya ....”

“Kulonuwun,” ujar suara dari luar rumah.
Rani dan pak Gunawan saling memandang. Menerka-nerka dalam hati siapakah tamu yang datang disaat seperti ini. Kemudian Rani pun bergegas menuju ke pintu dan membuka pintu rumahnya.

“Hai Rani?” sapa seorang lelaki yang berdiri di depan pintu, dan tersenyum ketika melihat Rani yang berdiri di hadapannya.

Bersambung...
***





Hai... salam kenal... 🙂
Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca kisah seorang Maharani Gunawan.
Nantikan kelanjutan kisahnya besok ya...

NB : DILARANG KERAS PLAGIAT CERITA INI !!!
SILAKAN BERKARYA DENGAN IDE-IDE YANG KALIAN PUNYA.







Jodoh Pilihan EyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang