Bab 17 - Restu untuk Risa

157 12 0
                                    

Tak seperti biasanya, hingga siang menjelang sore Juan belum juga datang ke kantor. Rani tampak cemas karena tak biasanya Juan seperti ini.

“Kenapa Lo? Ngelirik ke ruangan Juan melulu,” goda Renata yang sejak tadi memperhatikan Rani curi – curi pandang ke ruang kerja Juan. Hatinya agak gelisah karena sejak pagi dia belum melihat maupun mendapat kabar dari Juan.

“Apaan sih Ren,” ujar Rani menyembunyikan kegelisahannya dengan berpura – pura sibuk dengan pekerjaannya, namun Renata tetap dapat menangkap ekspresinya.

“Tadi Gue dengar dari Pak Anton kalau Juan harus ke proyek karena ada masalah sama bangunannya,” kata Renata memberikan info valid untuk sahabatnya itu.

“Kok tumben dia nggak ngabarin Gue?” gumam Rani.

“Nggak sempat kali,” sahut Renata.

“Perasaan Gue nggak enak nih Ren, nggak biasanya dia kayak gini. Sesibuk – sibuknya Juan, dia selalu ngabarin Gue. Tapi udah hampir sore begini, Gue masih belum dapat kabar dari Juan,” ujar Rani khawatir.

“Ya Lo tenang dulu deh, nanti kalau sudah nggak sibuk, pasti Juan ngabarin,” hibur Renata.

“Mbak Rani sudah tahu belum, Mas Juan kecelakaan di proyek,” kata Dini, sekretaris Pak Anton yang kebetulan lewat ruangan Rani.

“Hah ... kecelakaan?” teriak Rani dan Renata hampir bersamaan.

“Iya. Mas Juan terpleset dan kejatuhan tangga.”

“Terus sekarang Juan ada dimana?” tanya Rani dengan panik.

“Mas Juan sudah dibawa ke rumah sakit, kakinya patah dan masih pingsan,” kata Dini.

“Kamu tolong kirimin alamat rumah sakitnya ya, nanti Saya mau ke sana,” pinta Rani kepada Dini.

“Baik Mbak,” jawab Dini.

Rani segera membereskan pekerjaannya dan kemudian pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Juan. Juan masih belum sadarkan diri.

Untunglah cedera kakinya tidak terlalu parah, sehingga dokter hanya memasang gips di kakinya dan kepalanya dipasang perban.

Rani duduk disebelah ranjang dan memperhatikan wajah Juan yang terdapat sedikit luka. Ia mengusap wajah itu dengan lembut, berharap lelaki yang selalu menolongnya itu segera sadar dari pingsannya. Namun, hingga hampir menjelang malam, Juan belum juga siuman, akhirnya Rani memutuskan untuk sholat maghrib di mushola yang disediakan rumah sakit dan memanjatkan doa untuk kesembuhan Juan.

Sekembalinya dari mushola, Rani mendapati Risa sudah berada di dalam kamar Juan bersama dengan dua orang lelaki dan perempuan paruh baya yang tampak begitu akrab.

Terlihat dari pintu kaca Juan pun sudah sadar dan ikut mengobrol. Rani mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam ketika mendengar perbincangan antara Risa dan kedua orang tua itu.

“Risa apa kabar? Sudah lama tante nggak ketemu sama Kamu,” ujar wanita yang duduk di sebelah Juan. Dari bahasanya berbicara dengan Risa, sepertinya wanita dan laki – laki itu adalah orang tua Juan.

“Kabar Risa baik, Tante. Om sama Tante apa kabar? Lama nggak ketemu keliatan makin muda aja nih,” ujar Risa basa – basi.

“Ah Kamu bisa aja,” kata Nyonya Regina tersipu malu.

“Kamu kenapa nggak bilang sih Juan, kalau yang lagi Kamu perjuangkan untuk Kamu jadikan pacar adalah Risa? Kalian kan dulu saling suka, tapi Mama nggak tau ada masalah apa sehingga Kalian memutuskan untuk berpisah,” imbuh Nyonya Regina sambil menjewer telinga Juan.

“Nggak gitu ceritanya, Ma,” sanggah Juan.

“Ya udah kalau Kamu sama Risa, Papa dan Mama merestui hubungan Kalian,” sambung Tuan Wijaya Tan.

Mendengar perkataan Tuan Wijaya Tan, hati Risa mendadak merasa senang karena mendapatkan restu orang tua Juan tanpa diminta. Karena jauh dalam lubuk hatinya, Ia menyesal pernah menyia – nyiakan Juan dan sempat terbesit harapan untuk bisa bersama Juan kembali.

Apalagi kini Juan telah menjadi laki – laki yang tak hanya tampan, tetapi juga mapan. Wanita mana yang tidak ingin bersanding dengan seorang Juandito Alexander Wijaya Tan.

***

Rani terbangun saat Juan mengusap kepalanya yang Ia sandarkan di tepian tempat tidur.

Semalam, setelah kepergian orang tua Juan dan juga Risa, Rani kembali memasuki ruangan tempat Juan dirawat, namun sayang Juan sudah tertidur.

“Juan. Syukur lah Kamu sudah sadar,” ucap Rani sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Juan tersenyum dengan senyumannya yang khas dan menggenggam tangan Rani.

“Aku tahu kalau Kamu ada disini sejak kemarin,” kata Juan lembut.

“Aku baru datang ketika orang tuamu pulang dari sini bersama Risa,” elak Rani mencoba berbohong tentang kedatangannya.

“Berarti Kamu bertemu dengan orang tuaku di luar?” selidik Juan. Rani menggangguk sambil tersenyum simpul.

“Aku cuma lihat sekilas saja,” ujar Rani.

“Rani ... Rani .... Kamu memang tidak pandai berbohong. Aku tahu kalau Kamu yang datang lebih dulu kemari sebelum orang tuaku,” kata Juan sambil tertawa karena merasa usaha Rani untuk membohonginya adalah sebuah usaha yang sia – sia.

“Tahu dari mana?” tanya Rani.

“Perasaan aja,” pungkas Juan.

“Tapi perasaan nggak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan suatu hal yang salah,” sanggah Rani.

“Tentu saja bisa. Buktinya perasaanku sangat kuat terhadapmu. Walau pun Aku dalam keadaan tidak sadar, tapi Aku bisa merasakan keberadaanmu dikamar ini,” ujar Juan.

“Nggak Juan. Aku datang setelah orang tuamu pergi,” bohong Rani.

“Aku melihatmu Rani. Meskipun samar, Aku yakin kalau yang Aku lihat adalah punggungmu. Kamu keluar dari ruangan ini saat Aku mulai membuka mata,” ķata Juan tetap kekeh dengan pendapatnya. Rani mengangguk membenarkan perkataan Juan.

“Lalu kenapa Kamu tidak kembali saat orang tuaku ada disini?” tanya Juan.

“Aku sudah kembali saat Aku dengar orang tuamu memberikan restunya untuk Risa. Jadi Aku mengurungkan niatku untuk muncul dihadapan Mereka,” jelas Rani.

“Seandainya saat itu Kamu tetap masuk, Aku bisa sekalian memperkenalkan Kalian,” kata Juan.

“Sekarang malah orang tuaku salah paham tentang wanita pilihanku,” imbuh Juan terlihat kecewa.

“Maafkan Aku karena Aku masih belum bisa memberikan keputusan apa pun tentang Kita. Aku tidak apa – apa jika Kamu ingin kembali kepada Risa. Apalagi orang tuamu sudah merestui hubungan Kalian,” kata Rani sambil menggenggam tangan Juan.

Merasakan genggaman Rani yang sangat erat, Juan pun seperti mendapatkan sebuah keyakinan bahwa Rani tidak yakin dengan keputusannya dan walau sedikit Juan berharap agar Ia tetap mendampingi Rani disisinya.

“Kamu bicara apa sih, Ran? Sampai kapan pun tetap Kamu yang ada di hatiku,” sahut Juan sembari mengecup tangan Rani.

“Juan Kamu sudah ba ... ngun?” sapa Risa sambil membuka pintu kamar rumah sakit dan seketika melongo karena terkejut saat melihat Juan tengah mengecup tangan Rani.

Juan dan Rani pun sama terkejut dengan kedatangan Risa yang tiba – tiba. Rani tidak siap berada di keadaan seperti ini. Maka dengan segala kerikuhannya, Ia segera berpamitan kepada Juan dan Risa.

“Aku pamit dulu ya. Semoga lekas sembuh. Kalau butuh apa – apa kabarin Aku,” kata Rani yang sudah selesai membereskan tasnya. Kemudian Ia pun bangkit dan berpamitan juga pada Risa yang masih belum beranjak dari depan pintu.

“Saya duluan ya, Risa,” pamit Rani kikuk. Risa hanya mengangguk dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan.
Sementara itu Juan memperhatikan keduanya.

Ia merasakan ada sesuatu dengan tatapan Risa terhadap Rani. Ia sudah khatam dengan sifat Risa yang tidak mau kalah dengan orang lain. Risa selalu punya cara untuk mendapatkan apa pun yang Ia inginkan. Dan Juan menyadari itu, yang diinginkan oleh Risa saat ini adalah dirinya.

Bersambung ...

***




Jodoh Pilihan EyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang