Sayang

90 42 47
                                    

BRAK!!!

Agatha menghempaskan begitu kencang lembar-lembar berisi sinopsis, outline beserta gambaran kasar dari cerita yang Nina buat. Dia sampai berjengit kaget saat kertas-kertas itu jatuh tepat di hadapannya. Kakaknya sudah berdiri dengan berkacak pinggang persis seperti ibu-ibu kos yang meminta uang bulanan. Oke, sepertinya hari Nina bakal kena omelan lagi.

“Ssttt ... Agatha garang mode on.” Bisik Joni pada teman sebelahnya. “Kira-kira si Nina bikin salah apa lagi?”

“Hm, Tha. Mending lo minum dulu. Biar agak enakan. Gue tau tenggorokan lo seret.” Arga menyodorkan sebotol air mineral ke hadapan Agatha yang sedang marah.

Agatha hanya melirik Arga tajam seraya mendengus, tatapannya kembali kepada Nina. Karena dicuekin Arga melengos pergi tidak lagi menghiraukan keduanya. Drama kakak adik ini sudah sering dia lihat jadi dia akan masa bodoh.

“Gimana bisa lo ngirim cerita-cerita ini ke gue? Sebenernya apa yang selama ini lo lakuin di kampus Nina!” Marah Agatha. Kertas di tangannya sampai kusut karena dia remat kencang. Agatha merasa gerah dan menyugar rambutnya. Hari ini rasanya panas karena tingkah adiknya yang semakin hari tidak bisa dia mengerti. “lo mau gue bunuh ya?”

Nina bergidik ngeri mendengar ucapan Agatha, kakaknya sedang dalam mode singa dia jelas tidak bisa melarikan diri. Alih-alih lari justru bakal semakin diterkam. “Emangnya lo mau masuk penjara?” Nina masih bisa membalas ucapan Agatha tapi dengan suara kecil pokoknya takut kena semburan Agatha. Tadi singa, oke sekarang Agatha bisa saja jadi naga.   

Menghela napas lelah, Agatha menggeret kursi dan duduk di sebelah Nina. Menatap adiknya serius. “Denger!  Lo udah masuk semester lima. Lo harus bisa mulai karir lo dari sekarang Nin.” Ucap Agatha penuh penekanan.

“Pikirin lagi cerita yang bagus. Penulisan lo masih berantakan. Alur cerita juga nggak jelas. Apa yang bisa dilanjutin dari ini!” Agatha mengetuk-ngetuk kertas di atas meja bergantian mengetuk kening Nina.

“Revisi, terus kirim lagi.” lanjutnya. 

Nina ditatap sedemikian seram oleh Agatha hanya mampu menunduk. “Iya,  ka iya.” Dia menyerah, sudah kesekian kali menyangkal pun tetap kalah.

“Kita udah pernah ngomongin ini ya minggu lalu. Mau gue potong lagi uang jajan lo!”

“Jangan!” Apes sudah, kalau uang jajan Nina dipotong lagi. Bulan lalu dia sudah kehilangan 20% uangnya karena melanggar perjanjian. Tidak mungkin jika dia harus merelakan uang sakunya lagi.

“Bagus, makanya nurut sama gue.” Tangan Agatha menepuk-nepuk kepala Adiknya. Bagai kucing kecil, Nina lemah dan tidak berdaya kalau sudah mendapat ultimatum Agatha. Mode garang kakaknya bahkan sering mengejutkan semua orang yang berada di ruangan editor. Nina sudah malu setengah mati karena kejadian seperti ini sudah kesekian kali.

“Tha. Jangan galak-galak sama adek lo. Udah makan belom kalau laper emang suka bikin galak nih.”

Perhatian keduanya teralih dengan kedatangan Joni yang mencoba mencairkan suasana. Nina bisa bernapas lega dengan kehadiran pria itu. Joni memang kakak terbaik yang bisa mencairkan suasana. Dia selalu jadi pahlawan saat Nina hampir megap-megap menghadapi amarah Agatha.

Meski ditatap dengan tajam oleh Agatha, Joni tetap tidak mundur dan sekarang dengan seenaknya mengambil posisi duduk di samping Agatha. “Akhir-akhir ini kita memang lagi sibuk Na. Jadi wajar kalau kakak lo selalu marah. Dia lagi banyak kerjaan dan pusing. Maklumin aja ya.” Nada ucapan Joni terdengar meledek Agatha. Pria itu bahkan mengajak Nina beradu tos.

“Udah, nikmatin aja masa muda lo. Seperti pipa rucika yang mengalir sampai ke hulu.”

Nina tergelak mendengar jokes Joni. “Bisa aja lo ka.” Tetapi kembali menciut saat mendapati lirikan dan dengusan Agatha. “Nin, kita belom selesai ya.”

A MAN BEHIND METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang