Wallflower 1: Hujan Rindu

316 54 24
                                    

Rasa kantuk dan jetlag masih menyelimuti Anye begitu turun dari pesawat pukul 10 pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa kantuk dan jetlag masih menyelimuti Anye begitu turun dari pesawat pukul 10 pagi. Ia merentangkan tangan sebentar, tubuhnya terasa kaku usai perjalanan kurang lebih selama 7 jam. Anye merogoh tas kecilnya, mencari-cari benda yang mampu menyamarkan penampilannya dari muka bantal. Kacamata. Ia bergegas menuju pintu keluar bandara, sesekali pandangannya mengarah ke orang-orang yang tenggelam dalam kesibukannya masing-masing.

Panggilan masuk dari ponselnya membuat Anye memindahkan kopernya ke tangan kiri. Anye menerimanya sambil berjalan sampai akhirnya seseorang melambaikan tangan ke arahnya dan sambungan telepon terputus. Senyum gadis itu merekah begitu keduanya saling berhadapan.

"Lama nunggunya?"

"Sama sekali enggak," jawab lelaki itu sambil mengambil alih koper Anye dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggenggam jemari gadisnya. Keduanya lalu berjalan menuju tempat mobil diparkir.

"Mukaku enggak kusut banget kan?" tanya Anye usai keduanya masuk mobil. Ia lalu melepas kacamatanya agar bisa menatap kaca spion tengah untuk memeriksa riasan wajahnya.

Lelaki di sebelahnya menoleh ke arah Anye sebentar lalu tersenyum. "Jangan khawatir, kamu habis bangun tidur pun masih tetap kelihatan cantik kok."

Anye mengernyit. "Aku enggak nyangka sekarang kamu pintar gombal."

Yugo menyengir lebar lalu menyerukan pertanyaan, "Masih ada dua jam lebih sebelum kamu rapat, mau makan siang di mana?" Kini mobil sudah berhasil keluar dari area bandara Soetta.

"Kali ini kamu yang pilih! Tapi jangan jauh-jauh dari kantor, ya, soalnya aku enggak mau telat ikut rapat." Yugo langsung menoleh cepat ke arahnya, dan Anye sudah tahu akan ada protes yang keluar dari mulut lelaki itu. Sejak ia masih di Jepang, Yugo tidak berhenti menyampaikan rindunya, dan sekarang pun Anye justru tidak bisa banyak menghabiskan waktu dengan sang kekasih.

"Aku kira kita bakalan menghabiskan waktu bareng seharian."

"Maaf, ya, rapat ini penting. Aku enggak mau kena omel Mbak Lia."

"Kasihan kamu, pasti tertekan ya?" Anye hanya tersenyum saat Yugo melarikan tangan kiri untuk mengusak rambutnya.

Anye tahu ini masih hari Kamis, tetapi Camellia bisa setega itu mengajaknya rapat, yang bahkan ia baru saja tiba di Indonesia. Kendati demikian, Anye berusaha bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Ia tidak ingin kembali diragukan orang-orang kantor karena menyandang status putri bungsu Wonowidjojo.

***

Dengan langkah gontai, Anye masuk ke kamarnya. Ia butuh tidur, tetapi juga lapar. Sejak menjabat sebagai Wakil Presdir, Camellia makin tidak punya hati. Sialnya, Anye datang terlambat saat rapat tadi karena Yugo memaksanya menonton film usai makan. Anye lupa, kalau Jakarta tidak seperti jalanan Tokyo yang belasan jam lalu ia kunjungi. Ia hanya tidak tega melihat wajah Yugo ketika sedang memohon agar bisa bersamanya lebih lama.

Seharusnya Camellia berterima kasih atas apa yang sudah Anye lakukan untuk Joyful sejauh ini, meskipun status jabatannya masih dalam masa percobaan. Satu tahap sudah ia peroleh di sepuluh bulan jabatannya. Anye berhasil mendapat kontrak dengan salah satu mal di Jepang agar Joyful bisa masuk dan mendapatkan tenant ekslusif di sana. Tidak sia-sia Anye mengikuti waiting list selama tiga bulan terakhir demi bergabung dengan distrik perbelanjaan kelas atas di Tokyo. Kini nama Joyful Mart makin banyak diperhitungkan di kalangan bisnis ritel, karena berhasil menembus pasar Asia dalam waktu satu tahun tepatnya di negara Jepang dan China.

Usai mandi dan makan malam, Anye baru ingat kalau besok harus menyiapkan berkas berisi keterangan regulasi kontrak yang diminta Camellia. Terbesit pertanyaan, apa isi kepala kakaknya hanya ada folder bernama pekerjaan? Sungguh, Anye suka dengan semangat kerja Camellia. Hanya saja, ia sedikit menyayangkan sikap kakaknya yang terlalu keras pada diri sendiri.

"Ketemu!" Anye lalu menyimpan berkas yang dicari, tetapi sebuah kotak besar mengalihkan perhatiannya. Meskipun otaknya sudah memberitahu isi di dalamnya, hatinya tetap ingin melihat benda-benda yang ada di dalam kotak berwana merah itu.

Anye membawa benda itu ke jendela kamarnya. Ia duduk di balkon sembari melihat cahaya bulan, hal yang paling disukainya. Sayangnya, malam ini bintang tidak banyak terlihat. Jemarinya perlahan membuka kotak berisi kenangan dari teman semasa kuliahnya. Rangers. Begitu mereka menyematkannya.

"Alya, Inu, Rendy, Bagus. Kalian semua baik-baik saja, kan?" cicitnya diikuti debaran di dadanya.

Melihat foto Alya, Anye bergeming sembari mengingat kata-kata gadis itu terakhir kali. "Kamu enggak akan mengerti posisiku, Anye. Sejak lahir kamu sudah hidup mewah. Kamu enggak akan pernah mengerti kesulitan yang kuhadapi!"

Wajahnya berubah sendu. Entah berapa banyak rahasia yang dipendam Alya darinya. Mungkin Alya benar, ia memang tidak akan pernah bisa mengerti posisinya.

Tangannya kemudian meraih gelang berbandul bunga anyelir merah muda. Ini hadiah dari Bagus. Katanya gelang persahabatan, tetapi hanya Anye dan Alya yang dibelikan gelang ini. Terakhir mereka bertemu saat Bagus berkata, "Sorry, I love you, Anyelir!" Lelaki itu bahkan tidak membiarkan Anye memberikan pendapatnya, dan langsung pergi begitu saja.

Lalu pandangan Anye jatuh pada bingkai berisi potret mereka berlima. Foto ini diambil ketika mereka pergi ke Kota Tua. Di sana kelimanya terlihat sangat ceria, terutama Rendy. Anye lalu tertawa kecil mengingat kebiasaan temannya yang satu itu. Rendy dan Bagus seperti dua kutub yang saling menolak, tetapi mereka bisa saling melengkapi.

Tangannya masih memilah beberapa foto sampai sebuah kalung perak mengalihkan perhatiannya. Hati Anye berdenyut saat menggenggam benda indah itu. Wajahnya kembali sendu. Dulu ia begitu senang menerima kalung dan CD berisi potret wajahnya dari Inu, sampai tidak menyadari perasaan Alya yang terluka. Meski begitu, harapannya sangat sederhana. Bisa menemukan cinta sejati dan hidup bahagia dalam kesederhanaan, tetapi nyatanya untuk sampai ke titik itu sangatlah sulit.

Anye pikir, dulu Inu menyukainya sampai merelakan waktu dan tenaga menyiapkan hadiah untuknya. Namun, saat Inu pergi dari hidupnya, semuanya terlihat jelas. Perasaannya hanya sepihak.

Senyumnya samar sembari memandang langit. Tetesan air mulai jatuh perlahan di kaca jendela kamar Anye. Nama teman-temannya terbasahi lagi di kepalanya. Kali ini, hujan seolah membisikkan senandung rindu kisah masa lalu kepadanya.


06 November 2021Salam Rangers!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


06 November 2021
Salam Rangers!

06 November 2021Salam Rangers!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
WallflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang