(COMPLETE)
Cantik, bergelimang harta, dan punya pacar potensial adalah harapan semua orang, terutama bagi perempuan. Setidaknya, itu anggapan orang lain tentang hidup yang dijalani Anyelir. Nyatanya, Anyelir justru merasa tercekik di rumahnya sendir...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anye memegang kenop pintu besi bercat putih di depannya. Ia tidak bisa menepis ketika debar jantungnya kian memacu lebih cepat. Meski begitu, Anye memberanikan diri membuka pintu itu. Lintasan peristiwa di kamar tersebut langsung merayap dalam ingatannya. Ia berusaha mengatur napasnya lagi agar tidak kehilangan kesadaran seperti tahun-tahun sebelumnya.
Peristiwa itu masih membekas dan menjadi mimpi buruk setelahnya. Saat Anye berlari dengan begitu senangnya demi menunjukkan kalau ia mendapat nilai tertinggi di kelasnya. Dan yang ia temukan justru Alden bersimbah darah di kamar mandi dengan pisau di tangan sebelah kanan. Anye menyeret langkahnya agar bisa duduk di ranjang, kakinya mendadak lemas. Ternyata ia belum sekuat dugaannya.
"Kamu baik-baik saja?" Anye terkejut ketika sebuah suara tertangkap rungunya. "Kenapa ke sini?"
"Aku ...." Tenggorokannya seakan tercekat dan matanya sudah basah.
Liliana duduk di sebelahnya, memegang bahu bergetar gadis yang terlihat begitu rapuh itu. Sedikit ragu, tetapi akhirnya Liliana membawa Anye ke dalam pelukannya. "Maaf karena selama ini Mama tidak menjadi orangtua yang baik. Mama tahu kamu sangat kehilangannya, tapi sekarang, lebih baik kita lepaskan semuanya!"
Fakta bahwa Alden mendapatkan banyak kasih sayang dari Liliana, Anye turut bahagia. Kendati sesekali cemburu kepada Alden, karena Anye tidak pernah mendapatkan sosok seorang ibu saat dirinya sedang benar-benar membutuhkan. Kepergiaan Alden membawa luka yang begitu dalam bagi Liliana, tak jarang Anye menjadi pelampiasan ketika mamanya sedang sangat merindukan sosok kakaknya. Mamanya menanamkan rasa takut di sana-sini dengan kata-kata yang mampu mengiris hati sang putri. Begitulah, cara Liliana mendapatkan kesuksesan atas diri Anye. Sebab pada saat itu, Anye bagaikan anyelir kuning di mata Liliana.
Hanya saja, Liliana lupa satu hal, bahwa Anye tidak kalah kehilangan saat satu-satunya orang yang selalu mendukungnya, melindunginya, dan menyayanginya pergi dengan cara tragis.
"Maukah kamu melupakan kata-kata Mama di masa lalu?" Liliana mengurai pelukan lalu menghapus air mata di wajah Anye dengan lembut.
"Maaf, Ma, untuk yang satu itu enggak bisa." Gadis itu menggenggam tangan Liliana lalu meremasnya, "Berkat kata-kata Mama, aku bisa berada di titik sekarang. Kata-kata Mama akan selalu mengingatkanku agar bisa tetap bangkit setelah terluka."
Selama ini, Anye berpegang pada dirinya sendiri. Perundungan, dikhianati, dibohongi, sampai ditinggalkan, ia berusaha menopang diri. Serapuh apa pun hari-harinya, hanya dirinya yang bisa mengubah demi menatap pelangi. Tidak masalah bila ia belum bisa melihat pelangi, langit cerah pun sama indahnya.
"Anyelir, sekarang kamu boleh mencari pasangan sesuai pilihanmu!"
"Enggak, Ma. Sekarang aku percaya Mama. Aku menyerahkan semuanya ke Mama."
"Kamu yakin?" Anye mengangguk serius. Ke depannya, ia ingin punya hubungan baik dengan Liliana. Layaknya ibu dan anak pada umumnya.