#Follow, Vote, Read, Comment ya :)
POV Danar
Malam itu tak biasanya aku sangat bersemangat menyelesaikan pekerjaan. Sebuah lemari ukir dan gebyok ukuran sedang berhasil kuselesaikan. Tentunya hasil ini lumayan membuatku bisa meyakinkanku bahwa urusan dengan Dhiya, gadis manis yang kutemui 3 minggu lalu itu bakalan lancar.
Aku sudah menolak beberapa pesanan reparasi demi mengamankan slot untuk Dhiya. Aku cukup bisa mengukur kemampuanku, jadi tak muluk-muluk lah meski pelanggan menawarkan harga dua kali lipat demi bisa dapat meminang jasaku.
Selesai mengeringkan keringat, aku beranjak ke dalam untuk membersihkan diri. Aku merasa saat ini aku punya alasan untuk menghubungi gadis itu lagi. Aku sudah mendapat kepastian bahwa pemilik meja rela menunggu 1 bulan sesuai kesanggupanku. Seminggu lagi waktu yang kujanjikan itu tiba, maka aku pun perlu memberikan kepastian pada Dhiya kapan aku akan melakukan pekerjaanku. Selain itu, aku juga perlu alamat rumah si gadis.
Kuraih ponselku dan mulai merangkai kata.
--Selamat malam, Mba Dhiya. Saya Danar. Maaf malam-malam mengganggu, hanya mau konfirmasi saja tentang waktu reparasi mejanya. Saya siap datang hari Sabtu pagi ya mba, sekitar pukul 9. Saya bisa minta share location atau bisa dituliskan alamat lengkapnya Mba? Terimakasih.
Huft... napas lega setelah pesan terkirim dan tercentang dua. Tak lama terdengar ponsel berbunyi, kulihat layarnya muncul nama Dhiya.
--Oke Mas. Aku shareloc ya. Makasih.
Jawaban si gadis membuatku tersenyum senang, entah kenapa. Kenal banget juga enggak tapi rasanya kami bisa jadi akrab di pertemuan selanjutnya.
Pesan berisi lokasi rumah Dhiya muncul di layar. Kuamati sejenak dan aku langsung mengerti titik lokasi yang dimaksud karena memang selama 25 tahun ini aku tinggal di Jogja. Istilahnya, Jogja adalah daerah jajahanku. Setiap sudut sudah pernah kujelajahi.
Hari yang kujanjikan tiba, tak perlu waktu lama untuk berkemas. Semua peralatan sudah kusiapkan sejak semalam setelah selesai reparasi lemari pajang sudut yang lumayan menyita waktu seminggu ini.
Tas peralatan kuletakkan di gantungan depan dan tas kecil kuselempangkan di depan dada. Kulajukan motor santai karena masih pukul 8.30. Untuk sampai rumah Dhiya tak lebih dari 10 menit jika motor kulajukan 50 km/jam, maka kuputuskan berkendara santai sekalian menghirup udara pagi yang sudah lama tak kunikmati dengan benar.
Bagaimana bisa bersantai kalo aku maksa demi bisa memenuhi janji sebulan dengan gadis itu? Pesanan sangat banyak. Jika saja hari itu aku tak ada kesan spesial dengan Dhiya, mungkin akan kutolak permintaan reparasi meja makannya. Gara-gara Udin kasih kabar kalo ada gadis cantik temen temennya bakal menghubungiku untuk minta jasa perbaikan perabot ya aku jadi tak bisa langsung menolak. Udin maksa dan memohon-mohon padaku agar menemui dulu gadis itu. Dan memang tak sia-sia juga menyediakan waktu untuknya. Pesanan reparasi sebenarnya sudah terjadwal hingga 3 bulan ke depan.
Kubelokkan motor ke sebuah pertigaan tak jauh dari jalan wirobrajan. Aku takjub dengan pemandangan disitu. Tampak rumah joglo berderet 3 dan tampak anggun. Kuparkir motor di halamannya yang memang luas.
Aku melihat 3 orang di pendoponya, salah satunya Dhiya, gadis manis itu. Semangatku sepertinya bertambah saat melihatnya. Kulangkahkan kaki kea rah pendopo dan mengucap salam, "Kulanuwuuuun..."
POV Dhiya
Tibalah hari yang dinantikan Simbah, hari reparasi bagi si meja makan. Pagi itu, Simbah, aku, Mbok Yem, dan Bulik Sum berkumpul di pendopo. Kami minum teh bersama sambal ngobrol ngalor ngidul.
YOU ARE READING
Dua Puluh Empat [END]
RomanceDua puluh empat bisa berarti apa saja. Jumlah jam dalam sehari, empat dikali enam, dua lusin barang, nomor rumah, ataupun tanggal lahir. Dalam cerita ini, secara spesifik yg dimaksud dengan dua puluh empat adalah usia. Ada apa dengan dua puluh empat...