Chapter 18: Tanda Tanya

33 0 0
                                    

#Follow, Vote, Read, Comment. Happy reading :)

--Dhiya, ada waktu siang ini?

Kutatap sejenak layar dan pesan yang masuk. Tanganku hendak menjauhkan ponsel, tapi hati ini tetap memaksaku mengetikkan balasan pesan.

--Maaf, Mas. Siang ini Dhiya ada meeting sama klien.

Bukan berbohong. Hari ini aku benar-benar sibuk. Meeting itu juga memang ada siang ini pukul 2. Aku malas aja harus menemui wajah Mas Danar. Aku takut ga kuat menolak godaan untuk berbunga lagi saat menemuinya nanti.

--Oke. Jangan lupa makan ya.

Pesan dari Mas Danar itu membuatku agak sedih. Perhatian banget. Bukannya cuma teman? Kuhela napas.

Udahlah. Jangan begini, Dhiya. Dia berbuat baik, terimalah.

Kuarahkan mataku ke layar laptop. Jemariku kembali ke keyboardnya. Aku sedang menyempurnakan bahan presentasiku siang ini.

Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam saat aku sampai di rumah. Lelahnya hari ini. Mungkin suasana hati yang buruk menambah rasa penatku.

"Baru pulang, Nduk?" Suara Bulik Sum membuatku menghentikan Langkah. Aku berbalik dan mendekat padanya. Kucium tangannya.

"Iya Bulik. Simbah udah tidur?"

Bulik Sum meletakkan beberapa kotak kue di meja makan.

"Belum. Baru sampai juga ini dari kondangan temen Simbah. Cicitnya nikah."jawab Bulik sambil merapikan beberapa hidangan.

"Makan Nduk. Bulik dibawain banyak makanan nih dari kondangan. Sini, Nduk. Duduk. Bulik mau bicara." Bulik menempatkan diri di kursi makan. Aku dengan gontai menuruti perintah Bulik Sum.

"Nduk, kamu itu udah 23 tahun. Jangan hanya sibuk kerja. Kalo bisa jalan-jalan sama teman. Cari-cari pandangan, jodoh itu bisa ada di mana aja loh."nasihat Bulik seperti menambah rasa terlukaku.

Aku jadi ingat Mas Danar. Ah, kenapa juga aku mengingatnya?

"Cicit Eyang Sastro yang nikah tadi sore itu masih muda. Baru 20 tahun, tapi udah mantap ke pelaminan."urai Bulik.

Cerita hanya cerita. Batinku sesak. Apa Bulik ga bisa lihat dari mukaku kalo aku tuh lagi sedih?

Kenapa maksa banget sih? Umurku 23 trus kenapa? Kalo nanti sampai umur 24 aku belum menemukan jodoh dan belum ke pelaminan trus kenapa? Apa pentingnya sih aku nikah di umur 24?

Rasanya semua kata-kata itu ingin kulontarkan ke Bulik Sum. Jika tak ingat tata krama yang ditanamkan orangtuaku dan Simbah dari kecil, mungkin sudah kulontarkan kata-kata kasar dan menyakitkan ke Bulik Sum. Untungnya otakku masih jernih, pikiranku masih waras, hati nuraniku masih lurus.

Aku hanya mengangguk menanggapi setiap ucapan Bulik Sum. Entah apalagi yang diceritakan. Telingaku seperti sudah tak mendengar apapun. Hanya sepasang mataku yang memperhatikan wajah dan bibir Bulik Sum. Sumringah, penuh semangat mengucap setiap kata.

Mataku panas... Duh! Jangan sampai aku menumpahkan air mataku sekarang. Di depan Bulik. Akan banyak pertanyaan nantinya. Kutahan dan kukuatkan hatiku. Tanganku meremas dengan erat celana biru dongker yang kukenakan.

"Udah sana mandi dulu, Nduk. Keburu malam. Istirahat ya. Jangan lupa kue nya dimakan. Bulik pulang dulu. Pamitkan ke Simbah ya." Bulik beranjak pergi tanpa menunggu jawaban dariku dan bahkan tanpa menengok lagi.

Aku lega. Sepeninggal Bulik, kupercepat Langkah masuk kamar, kukunci pintunya, dan kutumpahkan air mataku di bantal.

Sakitnya hatiku. Kenapa kecewa ini begitu menyiksa? Aku sudah sering kecewa. Kupikir dengan banyaknya pengalamanku itu, aku tak akan terlalu sakit hati saat kenyataan tak sesuai harapanku.

Aku salah. Kecewa tetap membuat hatiku sakit. Ga ada hubungannya dengan udah banyak pengalaman atau tidak.

--Dhiya, sudah pulang kerja? Apa kamu marah? Kamu menghindariku?

Deretan huruf pada pesan di layar itu membuatku semakin sedih. Kenapa Mas Danar membuatku banyak berpikir? Kenapa sikapnya ini seolah mempermainkan aku?

Dan banyak kenapa lainnya yang berseliweran di otakku. Melelahkan. Kutinggalkan ponsel itu untuk mandi. Selesai mandi, aku hanya melirik sesaat ke ponsel.

Tak ada minat menjawab pesan itu. Kuputuskan langsung tidur dan mencoba melupakan pertanyaan-pertanyaan mengganggu itu. 

Aku bahkan tak ingat apa yang harus kusiapkan esok pagi untuk pacar nomor satuku, my job!

Entah mengapa rasa sedih ini membuatku lelah pikiran dan badan. Terlelap begitu saja.


Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now