#Readers... follow dulu yuk biar enak. Habis tuh sebelum baca vote yaa... habis baca bolehlah comment. Gumawooo!! Happy reading :)
Tampak wajah Mas Danar memancarkan aura permusuhan. Entah kenapa aku merasa berdebar saat Mas Danar memaksa ikut gabung di meja kami. Bukan berdebar senang, lebih ke perasaan tak enak. Sebenarnya, kenapa juga aku mesti merasa ga enak? Entah, aku tak paham dengan perasaanku sendiri.
"Bayu, ini Mas Danar, temen Dhiya." Sengaja kata temen kutekankan.
Ah entahlah. Sejak kapan aku jadi pendendam begini ya? Gara-gara malam itu di Alkid, rasanya masih sebal saja melihat wajah dan senyuman Mas Danar. Kata-kata 'sesama teman' itu juga jadi terngiang Kembali.
Bayu mengulurkan tangan ke arah Mas Danar.
"Bayu. Teman, Mantan, Rekan kerja."jawab Bayu mantap dan lengkap.
Rasanya aku pengen ketawa ngakak kalo saja aku tak melihat perubahan raut Mas Danar. Tampak matanya agak melebar. Dia kagetkah? Karena kata-kata 'mantan'?
Kenapa hatiku berharap Mas Danar merasa terancam sekarang? Merasa ada rival, lalu menyadari rasanya padaku, lalu...
Ah! Dhiya, udahlah. Apa yang kau harapkan sih? Lelaki ini hanya mau berteman saja denganmu. Jangan buang energi positifmu buat dia. Mungkin rasa cinta itu bukan cinta, hanya sekedar kekaguman sesaat.
Mas Danar berdehem, "Rekan kerja ya?"
Kelihatan sekali bahwa dia sedang berusaha terlihat tenang.
"Iya, rekanan, kerja sama kantor saja. Aku mau ngajarin gadis manis ini nih."Bayu mengusap-usap kepalaku tanpa malu atau sungkan. Aku juga tak berusaha menghindarinya. Karena aku selalu suka perlakuannya padaku. Hmmm... mungkin karena kebiasaan juga sih.
Mas Danar menatapku dengan memiringkan kepala. Seperti mengatakan. "Kok mesra-mesraan sama mantan?"
Aku tak peduli. Aku masih sakit hati pada kata-katanya di Alkid itu.
Tawaku dan Bayu mereda saat pelayan datang mengantarkan pesanan minum Mas Danar.
"Mas Danar ini bantu Dhiya perbaiki meja makan Simbah, Bay."penjelasanku ditanggapi oleh kepala Bayu yang manggut-manggut.
"Sekaligus seorang interior desainer."tambahku.
"Oh baguslah, bisa kali kalo kita kerja sama lain waktu."jawab Bayu santai.
"Boleh."jawab Mas Danar dingin.
Dia kenapa? Ada rasa senang dan berharap Mas Danar cemburu dengan kehadiran Bayu.
"Ya udah, besok dilanjut lagi deh, Dhi. Aku mo pulang dulu. Jetlag nih."Bayu memecah keheningan kami. Aku tahu dia orang yang ga tahan dengan suasana pertemuan yang berat seperti ini.
"Iya, sana pulang, tidur. Besok kalo kerja jangan alesan jetlag lagi ya."jawabku sambil tertawa. Bayu membalas komentarku dengan ekspresi wajah lucu.
Bayu beranjak dari kursinya dan melambaikan tangan pamit padaku dan Mas Danar. Mas Danar hanya berdiri kaku saat Bayu berlalu di hadapannya. Matanya mengikuti Langkah Bayu sampai keluar dari café.
Aku masih duduk santai di kursiku menikmati minumanku yang masih setengah gelas. Ada rasa senang. Mungkin karena rasa kesalku udah terlampiaskan?
Aku harus berterimakasih sama Bayu yang bisa dengan tenang menghadapi Mas Danar, bahkan sengaja memanas-manasinya.
Dulu saat masih pacaran denganku, dia juga begitu tiap ketemu teman cowokku. Misalnya, Reza. Iya pas ketemu Reza pertama, sikapnya juga gitu. Sok cool, begitu kami udah berdua aja, dia langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan karena cemburu. Entah apa hal ini akan terjadi lagi hari ini karena Mas Danar.
YOU ARE READING
Dua Puluh Empat [END]
RomansaDua puluh empat bisa berarti apa saja. Jumlah jam dalam sehari, empat dikali enam, dua lusin barang, nomor rumah, ataupun tanggal lahir. Dalam cerita ini, secara spesifik yg dimaksud dengan dua puluh empat adalah usia. Ada apa dengan dua puluh empat...