Chapter 4: Pertemuan

72 2 2
                                    

Pagi itu aku sudah siap dengan jaket dan motor matic andalanku. Simbah berdiri di pendopo menatapku bersiap-siap pergi ke daerah Patangpuluhan.

"Embah... Dhiya berangkat ya?", kuhidupkan motor dan melambai ke Simbah. Beliau membalas lambaianku dan mengangguk.

"hati-hati Nduk.. Ga usah ngebut."pesannya.

"Iya, Mbah." Jawabku.

Motor kulajukan santai dan berhenti di perempatan. Kebetulan lampu lalu lintas sedang menyala merah. Kulirik jam tanganku.

"Jam Sembilan kurang seperempat", gumamku.

Semalam aku menelepon Reza untuk meminta tolong mencarikan tukang reparasi perabotan antik. Tak disangka, Reza dalam waktu tak lebih dari 2 jam berhasil menemukan satu tempat yang katanya ahli memperbaiki perabotan tua.

"Semoga sih beneran ahli", begitu celetuk Reza.

Aku sih tak keberatan coba-coba, demi menyenangkan hati Simbahku. Setelah dapat nomor kontak si tukang yang bernama Danar, aku menghubunginya dan janjian pagi ini jam 9.

Patangpuluhan tak jauh dari Wirobrajan, masih tetangga aja. 10 menit kemudian aku sudah sampai di depan gang yang dimaksud.

Gang Pancaran. Papan nama gang kubaca perlahan, seiring melambatnya laju motorku. Perlahan aku masuk ke dalam gang dan mendapati sebuah halaman luas dengan banyak perabotan di kanan kiri halaman. Kuparkir motorku di bawah pohon jambu air yang juga ada di dekat pagar halaman.

Aku berjalan menuju sebuah rumah tak jauh dari tempatku memarkir motor. Beberapa lemari antik kulihat mengilap dan cantik.

"Mungkin ini udah selesai direparasi. Kayaknya ahli ni."komentarku sambil mengamati sejenak lemari yang diletakkan di teras rumah bercat hijau apel itu.

"Kulanuwuuun...", kupanggil si empu rumah dari depan pintu yang masih tertutup.

Klek!

Terdengar suara pintu dibuka. Seraut wajah muncul. Seorang lelaki muda dengan wajah bersih dan lumayan menarik tersenyum ke arahku.

"Monggo, mbak. Mbak Dhiya ya?", sambutnya.

"Iya, pak, eh..", jawabku canggung.

"Mas saja atau panggil Danar juga boleh."jawabnya sambil tertawa kecil. Aku mengangguk sopan.

Kami duduk di ruang tamu yang rapi dan bersih. Meski tidak seluas ruang tamu rumah Simbah, tapi suasananya nyaman.

"Ini mas, meja makan yang butuh direparasi."

Kutunjukkan foto-foto kondisi meja makan Simbah dari layar gawaiku.

Mas Danar mendekat dan menerima gawaiku yang kusodorkan kepadanya. Dia serius mengamati foto-foto yang ada di gawaiku itu sekitar 2-3 menit, sambil di zoom-in zoom-out.

"Jadi?", tanyaku penuh harap.

Mas Danar mengembalikan gawaiku yang dipegangnya.

"Reparasinya ga terlalu rumit, Mba Dhiya.", jawabnya. Refleks senyumku terkembang.

"Wah, makasih Mas Danar. Kapan bisa mulai proses perbaikannya?", tanyaku penuh semangat.

Mas Danar meraih sebuah buku di nakas dekat sofanya.

"hmmm.... Kemungkinan bulan depan, Mbak Dhiya", jawabnya sopan setelah mengalihkan pandangan dari buku ke wajahku.

"Hah?!", refleks kata itu yang keluar dari mulutku.

"Maaf sebelumnya, Mbak. Perbaikan perabot tua atau antik kadang-kadang ga semudah yang dibayangkan. Mungkin karena keahlian saya belum seberapa. Jadi ya itu Mba, lama."

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now