#Attention, please. Follow, Vote, comment yaa. Gumawoo :)
Untuk Chapters selanjutnya POV Author semua ya.
Cericit burung pagi itu membangunkan Dhiya yang bergerak malas di ranjangnya. Hari minggu ini udara terasa segar dan langit terlihat akan cerah meski matahari masih malu-malu muncul dari cakrawala. Mungkin suasana ini karena perasaan Dhiya telah membaik.
Setelah kemarin dari pagi hingga petang Dhiya melakukan pembicaraan panjang dengan Windu, Dhiya merasa menemukan titik terang atas dilemanya.
Siang itu setelah Windu memberikan wejangan padanya untuk melihat ke diri sendiri dulu, Dhiya merasa benang kusut itu mulai bisa diurai. Selama ini cara berpikirnya kurang praktis dan cenderung pragmatis, melupakan diri sendiri. Memangnya sehero apa Dhiya sampai harus menyenangkan semua pihak?
Dhiya harus berpikir sederhana. Hanya pemikiran gadis biasa yang menginginkan kebahagiaannya.
Setelah perkataan Windu yang Panjang lebar itu, Dhiya menimbang perasaannya sendiri.
Danar memang membuatnya terpesona. Menyenangkan hatinya karena telah mengisi kesepian hatinya selama ini. Setelah 4 tahun putus dari Bayu, belum ada lagi yang berhasil menelusup ke hatinya.
Namun, Dhiya sadar, hatinya selama ini memang hanya menunggu diisi Kembali oleh Bayu. Dhiya merasa tak rela kehilangan Bayu lagi.
Ketika Dhiya mengurai kekusutan pikirannya ini, dia pun dapat melihat jelas yang mana yang namanya kekaguman dan yang mana yang merupakan cinta sebenarnya.
Dhiya sadar bahwa rasa bahagianya saat Bersama Danar itu sebenarnya semu. Dhiya tanpa sadar memaksakan diri mencekoki hatinya dengan kata suka, cinta, dan sayang pada seseorang yang bahkan hampir tak dikenalnya.
Dorongan dari Bulik Sum tentang usia pernikahan rupanya membuatnya terburu, tergesa, bahkan melupakan rasa di hatinya sendiri. Padahal komunikasi Dhiya dengan Bayu tak pernah putus. Namun rasa khawatir bahwa Dhiya tak boleh menaruh banyak harapan pada Bayu yang berada sangat jauh darinya membuatnya melupakan rasa untuk Bayu yang diam-diam telah terbangun kokoh dan tak mudah goyah.
Ketika Bayu hadir Kembali saat Dhiya sedang memaksakan rasa cinta pada seorang Danar, hati Dhiya meronta. Dhiya merasa bahwa menyakiti hati seseorang tidak termaafkan, maka dengan penuh pertimbangan bagi orang lain dan melupakan kebutuhan diri sendiri, Dhiya mulai salah arah.
Beruntung seorang Dhiya memiliki Windu yang dapat memberikannya pagar pengaman agar tak lagi menuju jurang.
"Nduk, udah bangun belum? Simbah manggil."suara Mbok Yem membuyarkan lamunan Dhiya.
"Iya, Mbok, sebentar Dhiya mandi dulu ya?"jawab Dhiya
"Ya, Nduk." dan terdengar Langkah kaki Mbok Yem menjauhi ambang pintu kamar.
Dhiya segera bangkit, berjalan mengambil pakaian ganti dan handuk untuk segera mandi menyegarkan diri.
"Iya, Mbah?"Dhiya berjalan cepat menghampiri Simbahnya yang sedang duduk menikmati teh di ruang makan.
"Sini, Nduk. Simbah mau ngomong."Simbah menepuk kursi di sampingnya.
"Nggih, Mbah."Jawab Dhiya yang langsung duduk di samping Simbahnya.
"Jumat malam kemaren siapa yang antar? Simbah lihat bukan mobil Nak Reza. Beda."selidik Simbah.
Wow... Dhiya kaget dengan kejelian Simbahnya. Meski usia sudah sepuh, tapi ketelitian Beliau tidak bisa diremehkan.
Dhiya meremas rok yang dikenakannya. Ragu untuk menyebutkan nama Bayu. Ada rasa takut Simbahnya akan marah kepada pria itu karena pergi meninggalkan Dhiya dan membuatnya lesu selama seminggu. Dhiya takut kenangan itu masih diingat Simbahnya dengan baik dan ada rasa tak suka.
YOU ARE READING
Dua Puluh Empat [END]
RomantikDua puluh empat bisa berarti apa saja. Jumlah jam dalam sehari, empat dikali enam, dua lusin barang, nomor rumah, ataupun tanggal lahir. Dalam cerita ini, secara spesifik yg dimaksud dengan dua puluh empat adalah usia. Ada apa dengan dua puluh empat...