Chapter 8: Liku-liku Bagian 1

46 0 0
                                        

POV Dhiya

Sudah seminggu ini Mas Danar bekerja di halaman belakang. Meja Simbah sudah tampak wujudnya hampir sempurna seperti sedia kala. Simbah tampak sumringah setiap kali beliau melihat hasil kerja Mas Danar.

Aku?

Aku tetap sibuk dengan proyek arsitekku. Hari ini kebetulan tugas pengawasan proyek sudah selesai jam 1 siang, aku pulang ke rumah diantar Reza karena memang lokasi proyek yang jauh.

Tak sengaja Mas Danar dan Simbah yang sedang berbincang di pendopo, melihatku turun dari mobil Reza. Dan kebetulan pula hari ini Reza mampir untuk membicarakan proyek selanjutnya yang akan jalan 3 hari lagi.

Simbah menyambutku dan Reza dengan senyum lebar. "Nak Reza, lama ga mampir kemari. Sibuk ya?"sapa Simbah. Reza mencium punggung tangan Simbah dan tersenyum.

"Lumayan, Mbah."jawabnya dengan malu-malu.

Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. Reza melotot ke arahku. Kututup bibirku yang masih menahan tawa.

"Nak Danar, ini Nak Reza, temen Dhiya."Simbah memperkenalkan Reza kepada Mas Danar tanpa minta persetujuan. Reza dan Mas Danar tampak berjabat tangan.

"Dhiya ke dalam sebentar ya. Mau ambil bahan kerjaan."pamitku kepada ketiganya. Mereka bertiga hanya mengangguk kompak.

Kupercepat langkah ke dalam kamar dan menuju meja kerjaku. Kugulung beberapa gambar desain yang sudah kukerjakan semalam, kupeluk gulungan itu, dan berjalan kembali ke pendopo.

Entah kenapa hatiku ga tenang.

Deg!

Raut mukaku pasti sudah berubah sekarang. Kulihat Bulik Sum ikut ngobrol sambil tertawa-tawa dengan tiga orang itu.

"Dhiya!"

Bulik Sum menyadari kehadiranku dan langsung memanggilku mendekat.

Kulangkahkan kakiku dengan berat ke arahnya. "Ya, Bulik?"jawabku.

"Sini ngobrol dulu sama Nak Danar dan Nak Reza. Udah lama ini Bulik pengen ngomong-ngomong."

Duh! Ya Tuhan... tolong selamatkan aku. Rasa putus asa mulai merasuk ke relung hatiku. Aku takut menghadapi rasa canggung, malu, dan entah rasa apalagi yang bakal muncul seiring obrolan Bulik.

"Nak Danar ini tangannya terampil banget ya. Bulik liat hasil ukirannya mirip banget sama aslinya dulu. Telaten. Jarang-jarang anak laki telaten gini tangannya. Kalo jadi suami pasti istrinya seneng nih. Telaten banget soalnya."pujian Bulik Sum mulai nyerempet hal-hal yang membuatku jengah.

Mas Danar tersipu. "Biasa aja, Bulik. Karena udah biasa kerja ini jadinya bisa."jawabnya merendah. Kami semua tertawa basa-basi.

"Nak Reza proyeknya banyak ya? Jarang mampir lagi?"Bulik beralih ke Reza yang tampak gugup karena tiba-tiba disebut Namanya.

"Lumayan, Bulik. Masih kerja bareng Dhiya kok, jadi ya sama lah kayak Dhiya sibuknya."jawab Reza setelah buru-buru mengoreksi duduknya.

"Nak Reza ini arsitek, sama kayak Dhiya."

Bulik promosi ke Mas Danar yang langsung membulatkan bibirnya. Informasi ini memang pastinya baru didengarnya sekarang. Lagian ga ada hubungannya profesiku dengan pesanan reparasi furniture antik.

"Nak Reza ni bilangnya sibuknya sama kayak Dhiya, berarti masih ada waktu luang kan. Atau waktu luangnya buat pacar?"selidik Bulik Sum yang dijawab dengan tawa kecil Reza.

"Enggak Bulik. Belum ada pacar."jawabnya jujur.

"Ealaaaah... Nak Reza ni kok ya sama aja kayak Dhiya. Mau sampai kapan lajangnya? Udah umur 23 tuh siap-siap buat nikah di umur 24."Bulik Sum terkekeh yang menurutku ga seharusnya.

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now