[3] The Truth

620 97 11
                                    

Guys, di chapter ini banyakan percakapan daripada narasinya, dan ini kelemahan gue. Jadi maaf kalo feel-nya kurang dapet ya:(

Happy reading!

⚠️ harsh words
⚠️ kdrt

---

Tangisan Yuri dalam pelukan Minju kian mereda. Punggung yang dipeluk kini sudah sangat basah dengan air mata Yuri. Yuri melepaskan pelukannya dari Minju, Ia mulai mengelap sisa-sisa air mata di pipinya. "Maaf, Ju.."

Minju mengangguk, kemudian tersenyum tipis, tangannya menepuk-nepuk pundak Yuri. "Nggak papa, Jo Yuri. Udah mendingan?"

"Udah lumayan. Makasih, Ju." Yuri membuang napasnya lemah. Menolehkan kepalanya ke sekeliling kamar. "Mau bantuin Gue beresin ini nggak?"

"Mau tapi nggak gratis, ya!"

"Si anjing! Hahaha." Yuri tertawa sembari memukul lengan Minju.  Matanya yang sedang sembab kelihatan semakin sipit. "Mentang-mentang anak ekonomi semua-semua diduitin asu."

Minju ikut tertawa. Ia bersyukur, setelah melihat Yuri menangis sesenggukan seperti tadi, akhirnya Ia bisa melihat Yuri tertawa lagi — yang tawanya satu paket dengan pukulan di lengan Minju. Kebiasaan Yuri yang satu Minggu kebelakang tidak Minju rasakan.

"Kalo Gue boleh tau, kenapa Lo berantakin gini kamar Lo, Yur?"

Alih-alih menjawab, Yuri malah menarik lengan Minju untuk duduk di pinggir kasurnya. Ia sudah menduga Minju akan bertanya seperti itu.

"Ini kebiasaan buruk Gue, Ju." Yuri menunduk lemah. Jari-jarinya Ia satukan. Seperti sedang meminta kekuatan pada Tuhan, minta dikuatkan untuk membongkar aibnya sendiri.

"Dari kecil tuh Gue jarang ngeliat orang tua Gue karena mereka berdua sibuk kerja.

"Tapi sekalinya mereka ada di rumah. Pasti berantem. Bokap Gue temperament banget. Gue sering banget ngeliat Bokap mukulin Nyokap. Nyokap yang nggak pernah bisa mukul balik, selalu berujung lempar-lemparin vas bunga, piring, atau apapun yang Dia lihat dan bisa Dia lempar.

"Rumah pasti jadi berantakan banget kalo mereka abis berantem. Udah gitu nggak pernah diberesin lagi, selalu aja ART di rumah Gue yang beresin.

"Makanya Gue dari kecil udah nggak seneng ngeliat sesuatu yang kotor dan berantakan, itu selalu ngingetin Gue sama keributan yang orangtua Gue ciptain."

Yuri menghela napasnya, rasanya berat sekali mengingat seluruh kenangan pahit keluarganya, tetapi justru masa lalu tersebut lah akar dari cerita yang ingin Yuri sampaikan pada Minju.

Minju yang melihat gelagat Yuri, mengambil lengan Yuri tanpa izin. Ia menyatukan jari-jari Yuri dengan jari-jari miliknya. Sesekali Ia mengusap-usap pelan jari-jari Yuri. Mencoba men-transfer rasa hangat, barangkali Yuri jadi lebih tenang saat melanjutkan ceritanya.

"Tapi ternyata. Like father like daughter, like mother like daughter. Buah jatuh emang nggak pernah jauh dari pohonnya."

"Kecuali nangka, Yul. Pohon nangka depan rubik kalo jatuh jauh banget sampe tempat sampah depan rumah tetangga, mana sisa bijinya doang." Minju menyela omongan Yuri yang Minju kira Yuri tidak akan menanggapi leluconnya itu. Karena selama ini setiap kali Minju mencoba melawak, Yuri akan selalu menanggapi dengan kalimat "Nggak lucu ege, Ju. Yok semangat yok kapan-kapan coba lagi."

Tapi kali ini reaksinya justru bagus.

"Lah iya ya, Ju! Tetangga kita pada suka banget nyolong nangka punya kita anjir. Lama-lama Gue kasih pager listrik juga nih pohonnya."

Housemate - Minyul [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang