Part 5

117 8 0
                                    

Ada saatnya.
Maudy's diary.

Akan tiba saatnya kesedihan itu muncul setelah kebahagiaan yang kamu fikir akan selamanya.
Ada saatnya kamu harus menjalani apa yang tidak ingin kamu jalani.
Ada saatnya, kamu harus menyukai hal yang tidak kamu sukai.
Ada saatnya, kamu harus setujui pada hal yang membuatmu sedih.
Ada saatnya.
Ada saatnya
Kamu berkata, "Takdir seperti apa ini Tuhan???"
Ada saatnya, kenangan itu jauh lebih manis dari kenyataanmu sekarang.
Kenangan itu membuatmu ingin terlempar jauh dari kenyataan. 
Setiap hari yang ada difikiranmu adalah bagaimana caranya supaya kamu dan dia dekat.
Oohh Bhian, seperti inikah saatku dan saatmu sekarang?
Ada saatnya, kamu merasa bahwa hidupmu sudah tak berarti lagi.
Jarakmu dan dia terlalu jauh.
Langit dan bumi.
Dia berada pada sisi Tuhan, dan kamu di antara milyaran manusia.
Ada saatnya, kamu harus sendirian.

                                 ***

     Airmata ini akan selalu ada untuk mengenangnya. Sekarang hanya bisa membayangkan, merasakan kembali bagaimana jemari itu begitu hangat mengenggamku. Merasakan bagaimana hangatnya pelukan itu, mengenang bagaimana gelak tawa terpingkal yang lahir dari bibirnya karena tingkah konyolku.
     Hatiku sudah tidak disini, Tuhan. Aku rindu dia. Tidakkah dia bisa mengatakan hal yang sama saat ini Tuhan? Akan jawaban yang dulu selalu kudengar bisa kudengar lagi?
     "I miss you too sayang. Yuk ketemu"
     Saat aku menulis diary ini, disaat itulah aku benar - benar sedang merindukan dia. Andai saja waktu berhenti pada saat aku masih bersamanya, andai saja saat itu dia tak pernah datang ke Bandung. Aku banyak belajar dari seorang Bhian, aku baru tahu bahwa setiap detik dihidupku begitu berharga. Saat kami bertemu, disana aku baru sadar bahwa rasanya sayang kalau aku habiskan waktuku tanpa berbicara dengannya.  Aku senang mendengar ceritanya, meskipun terkadang aku terpaksa tertawa pada hal - hal yang dia anggap lucu.
      Bhian itu lelakiku. Dialah yang membuatkan cinta bertahun - tahun lamanya untukku, dia yang membuatku percaya bahwa masih ada laki - laki baik di dunia ini selain papi. Untuk pertama kalinya aku mampu menangis untuk seorang laki - laki, dan untuk pertama kalinya rinduku tak pernah habis untuk seorang laki - laki.
      Saat terbaik adalah saat aku bersamanya. Meskipun saat itu susah, meskipun saat itu kami berada pada masa sulit tapi aku baik - baik saja. Bhian, kamu tahu saat ini aku benar - benar membutuhkanmu? Bhian, masihkah ada kemungkinan untuk kita bertemu?
     Masa - masa sulit ini bertambah sulit semakin hari Bhian. Dunia ini terlalu besar untuk kujalani, Bhian. Perpisahan ini terlalu menyedihkan Bhian, aku sudah tak tahu lagi bagian mana yang indah dari dunia ini. Rindu ini sudah tak mempunyai ujung, cinta ini sudah kehilangan satu sisinya. How can I let you go, Bhian? I can't.
       Semuanya sudah menjadi satu kata "Pernah" Pernah memiliki hal terbaik saat aku mencintaimu, pernah memiliki lelaki yang baik saat aku bertemu denganmu. Pernah memiliki saat terbaik waktu kita bersama. Bhian, aku menulis ini dengan harapan - harapan yang tersisa dengan kemungkin nol persen dan asa yang hilang bersama kabut senja sore itu.
     Aku sedang tertegun pada lembaran kertas kosong yang lembab karena rintikan airmataku yang membasahi tubuhnya. Aku tahu apa yang harus kutulis, tapi jemari ini enggan bergerak sejak tadi. Sudah banyak kalimat - kalimat yang ingin aku curahkan. Beban ini begitu berat, Bhian.
      Akankah suatu saat nanti mata kita akan bertemu, Bhian? Akankah suatu saat kita berjodoh seperti yang Tuhan izinkan selama ini? Aku sudah tak punya rumah untuk pulang Bhian.  Akankah suatu saat rumah dihatimu bisa menjadi milikku lagi?
     
                                 ***

Author POV

     Maudy sedang menjalani masanya. Wajah sembab harus mereka lihat setiap hari, sudah dua hari ini sejak kepulangannya dari Jakarta Maudy tidak berbicara dengan siapapun yang ada di rumah ini.  Dia merasa bahwa mami papinya begitu kejam memperlakukannya, dia merasa sudah tak ada lagi yang bisa dia percaya.
     Dia menikmati takdirnya dalan getir embun pagi yang begitu dingin juga senja yang tak pernah lupa mengingatkan dia pada cerita Bhian. Hidup dalam penyesalan, rasa bersalah juga airmata. Kata maaf dari siapa yang bisa membuatnya damai saat ini? Cuma Bhian.
     "Andai saja orang yang sudah pergi bisa kembali pulang."
     "Andai saja Bhian bisa mendengarnya"
     "Andai saja aku tak pernah memaksa Bhian untuk menemuiku"
     "Aku sudah tak perduli dengan hari sabtu, aku ingin Bhian"
     Kalimat - kalimat ini muncul bergantian dalam fikirannya, jauh dilubuk hatinya Maudy masih menganggap Bhian hanya pergi sebentar dan akan kembali suatu saat nanti.
     Saat ini hidupnya hanya terpusat pada masa lalu, dia membiarkan dirinya terlempar ke masa lalunya sendiri. Menangisi nasibnya, memberi penghormatan pada takdirnya yang menyedihkan. Membiarkan penyesalan menertawakannya tanpa henti, membiarkan waktu berjalan tanpa melakukan apapun.
      Tidak menemui siapapun, termasuk Raisa. Dia lebih memilih mengurung dirinya didalam kamar, menikmati kesendirian dan kesepian yang saat ini miliknya. Ada saatnya kamu butuh sendirian, tanpa orang lain. Dia sudah tak lagi mengkonsumsi obat - obatan yang diberikan dokter Fritz. Dia membiarkan dirinya larut dalam depresi.
    Nyonya Irene hanya bisa menahan dadanya yang terasa nyeri setiap kali dia mendengar anaknya berteriak - teriak tanpa bisa berbuat apa - apa. Tak ada satupun yang diperbolehkan masuk kedalam kamarnya.  Kamar itu selalu dalam keadaan terkunci, kecuali saat Maudy ingin turun dan menikmati makannya.
     "Sayang. Keluar yuk. Mami masakin pasta kesukaan kamu. Turun yuk. Pastanya ada di meja"
     "AKU GAK MAU PASTA. AKU MAU BHIAN MAMI"
     "Iya nanti dokter Fritz bawain Bhian untuk kamu. Kita makan dulu yuk"
     "Bhian mami? Aku mau mami. Aku mau makan"
     Nyonya Irene berhasil membujuknya keluar dari kamar. Dengan cara inilah anaknya mau menuruti perintahnya, menggunakan nama Bhian agar Maudy mau menikmati makannya. Nyonya Irene selalu setia menemani Maudy makan, Maudy dengan lahap menghabiskan pasta dihadapannya. Dalam hal ini Maudy terlihat lebih normal daripada tadi. Nyonya Irene memberikan beberapa butir obat pada Maudy.
     "Setelah kamu minum obat mami janji bawain Bhian buat kamu"
     "Oke mami"
     Ada getir yang tak tertahankan. Nyonya Irene harus terlihat tegar dihadapan anaknya, dia harus pandai berakting bahwa dia baik - baik saja. Meskipun terkadang harus berlari ke kamar dan menumpahkan airmatanya dalam pelukan tuan Frederic. 
     "Aku kira dengan kita mengizinkan dia ke Jakarta Maudy akan lebih baik ternyata jadi begini pi...." nyonya Irene menangis tersedu - sedu.
     "Sabar ya mi. Kita akan melakukan hal apapun demi kesembuhan Maudy"

      Dokter Fritz bersama seorang pria datang ke rumah Maudy. Kunjungan rutinitas Dokter Fritz sejak dua bulan terakhir, dokter Fritz adalah seorang dokter terkenal ahli kejiwaan yang sudah ahli. Pria yang sedang bersamanya adalah putra semata wayangnya, Uno. Axel Reyno Fritz ikut serta dalam kunjungan ayahnya ke rumah tuan Frederic.  Tuan Frederic dan dokter Fritz adalah sahabat saat mereka di Prancis, dan Uno datang untuk Maudy.
      Dokter Fritz memeriksa kondisi pasiennya dengan seksama. Dia tak lupa memeriksa denyut jantung Maudy yang terlihat lebih tenang setelah minum obat beberapa saat yang lalu. Tak lama kemudian Uno masuk kedalam kamar Maudy. Menyaksikan tubuh gadis itu, dia tergeletak lemah diatas tempat tidurnya. Mengamati wajah sendunya dengan iba, mengenggam tangannya seperti ikut merasakan bagaimana berdukanya gadis dihadapannya saat ini.
     Sejak saat itu Uno menganggap Maudy temannya,  Uno datang setiap hari ke rumahnya. Dengan sabar Uno mengajaknya berbicara meskipun belum pernah di respon Maudy.

                              ***

    
     

Saturday (with Bhian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang