Part 10

91 4 0
                                    

Maudy and Her Failed Wedding.

    ♬♪♩Not sure if you know this. But when we first met I've got so nervous I couldn't speak...
    In that very moment, I found the one that my heart had found its missing piece.
                   ♪Beautiful in white
                       Shane Fillan

Maudy's Palace. July, 17.

      It's been ten times she has listening to the same song. Bhian pernah menjanjikan lagu ini padanya pada saat mereka di Australia, Bhian bilang dia akan menyanyikan lagu ini pada saat pesta pernikahan mereka. Namun, semua itu takkan pernah terjadi. Jangankan mendengar suaranya bernyanyi, berbicarapun sudah takkan lagi.
    Kalian pasti tahu dan mengerti bagaimana rasanya di tinggalkan padahal sebentar lagi kalian akan menikah. Setidaknya itu yang selalu terucap dari bibir Maudy sejak pertama dia bangun pagi pada tanggal tujuh belas juli.
     Cokelat panasnya sudah tak terasa manis lagi. Meminumnya sudah seperti sedang memakan 100 % dark chocolate. Pahit sekali. Bhian, Bhian, Bhian. Nama itu takkan mungkin pernah lepas dari fikirannya. Seandainya saja dia masih ada maka sekarang mereka pasti sedang mengucapkan janji pernikahan.
     She lost two things at the same time. Pertama Bhiannya, kedua saturday. Hari ini dia akan membawa dirinya bekerja, berharap waktu cepat berlalu dan tanggal cepat berganti. Maudy berusaha menatap manis mereka yang menatapnya, berusaha tidak membagi pahit cokelatnya pagi ini pada orang - orang yang tidak bersalah.
     "Ada paket buat ibu. Sudah saya letakkan di meja."
    "Terimakasih Clarissa"
    Tidak menatap Clarissa lalu melewatinya begitu saja. Masuk kedalam ruangan dengan langkah malas, duduk dalam diam dan kembali mendengarkan lagu yang sama.
    Maudy meraih kotak berwarna coklat yang dihias begitu rupa, it's a little teddy bear. Boneka beruang berwarna coklat tua dengan pita merah di lehernya. Tuxedo yang di pakai boneka itu jelas menyatakan bahwa dia seorang pria, dan Maudy terus memandanginya.
    Dia meraih sebuah kartu ucapan berwarna coklat muda,  "Tersenyumlah. Maka hari ini akan berbaik hati padamu. Kamu kuat, makannya Tuhan berikan cobaan ini padamu. Selamat pagi Mahadewi Maudy(^.^)"
     Ini sudah yang ketiga kalinya Maudy mendapatkan sesuatu dari seseorang yang tak pernah dia ketahui namanya. Maudy menekan beberapa tombol di telephone kantornya.
    "Clarissa besok kalau ada yang kirim apapun ke saya pastikan kamu tahu siapa pengirimnya."
    "Baik Bu"
   
                                 ***

     "Kamu lucu sekali Teddy. Tapi tak selucu hidupku saat ini. Lucu sekali, aku mencintai Bhian lalu dia pergi. Setelahnya aku mulai merasa nyaman dengan seorang pria bernama Rey, dan dia adalah milik Audrey"
    Maudy duduk diam dibalik kemudinya. Dia sama sekali belum menyalakan mesin mobilnya, mulai pagi tadi dia sudah di ijinkan untuk menyetir sendiri. Setelah beberapa hari membujuk tante Irene akhirnya dia mendapatkan izin menyetir lagi dari maminya.
     Senja memberikan mega dilangit sore Bandung, Maudy menyandarkan dirinya. Hari - hari yang dia jalankan selama ini begitu berat, tapi dia berhasil melaluinya. Dia meletakkan teddy barunya dalam posisi duduk di bangku penumpang.
     Dia menyalakan mesin mobilnya, dan siap bergabung dengan kendaraan lain menghadapi kemacetan Bandung di jam - jam pulang kantor seperti sekarang. Dia berencana untuk singgah sebentar ke sebuah department store untuk membeli make up stuffnya.
    Dan benar saja, dia terjebak macet. Dia sudah menduga sejak awal bahwa sore ini dia akan berolahraga kaki. Untung saja mobilnya mobil automatic. Jika tidak, betisnya bisa berotot jika setiap hari seperti ini.
    Maudy di temani si penyiar radio kesayangannya. Lagu - lagu yang di putar saat ini juga sesuai dengan suasana hatinya yang biru agak kehitam - hitaman. Kabut dan mungkin sebentar lagi hujan, seolah sang penyiar tahu benar bahwa suasana gadis bermata hazelnut itu sedang dirundung pilu.
     Sesekali dia mengikuti lagu yang diputar dengan suaranya yang rada serak - serak basah nan seksi. Dia segera mencari parkir yang aman untuk mobilnya. Dia memperbaiki penampilannya, membubuhkan lipstik berwarna peach dan merapikan rambut coklatnya.
    Dia menjinjing handbag hermesnya menuju lantai atas bagian penjualan alat - alat make up. Dia sengaja pergi sendiri tanpa mengajak Raisa. Dia lebih suka berbelanja sendiri, dan sore ini dia tak ingin mengganggu sahabatnya.
    What a surprise! Dia bertemu seseorang disana. Seseorang yang dua bulan terakhir sudah menjadi masa lalu baginya. Lelaki itu tersenyum saat mata mereka bertemu satu sama lain, Maudy membalas senyuman lelaki itu dan berlalu menuju ke kasir. Dia bergegas karena ingin menghindari pria itu. Dia tak ingin lagi kekacauan yang sama terulang lagi.
     Tapi langkah pria itu lebih cepat dari langkah Maudy. Maudy berusaha bersikap tenang seolah tak pernah terjadi apa - apa di antara mereka, Maudy berusaha bersikap manis setidaknya karena dia sadar mereka sedang berada di tempat umum. Dia berusaha menguatkan otot - otot matanya agar mampu membendung airmatanya. Berulang kali dia berkata pada dirinya agar tetap kuat sebelum dia membalikkan badan dan bisa melepaskan tangan pria yang sedang menarik tangannya saat ini.
     "Hi...."
     "Kenapa kamu menghindar saat bertemu denganku? Aku sudah seperti orang asing bagimu. Kamu senyum lalu pergi"
    "Siapa yang lebih kejam di antara kita? Kamu beri aku harapan jadi aku tetap bertahan lalu kamu pergi. Sedangkan aku hanya memberi senyum yang biasa kuberi pada siapapun lalu kamu bertanya kenapa aku seperti menghindar" inilah kalimat yang sebenarnya ingin dia katakan tapi yang keluar hanyalah tiga kata lengkap dengan sebuah tanda tanya plus senyuman manis.
    "Kamu apa kabar?"
    "Baik. Kamu sehat kan?"
    "As you see. Aku baik. Bahkan jauh lebih baik sekarang"
     Maudy sengaja menekankan kalimatnya dengan tujuan agar pria dengan tinggi 179 senti yang berdiri dihadapannya saat ini mengerti bahwa dia baik - baik saja tanpa pria ini.
    "Tea time?"
    "No thanks"
    "Ayolah Maudy... Please"
    "Okay. Dua puluh menit saja"
    "Baiklah"
    Maudy dan pria ini berjalan seiringan. Mereka menaiki sebuah eskalator menuju lantai tiga. Ada sebuah coffee shop disana, pria ini terlihat sedikit canggung dan Maudy terlihat sangat - sangat canggung.
     Mereka terlihat serasi saat bersama, Mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Mario Maurernya Bandung, bisa di katakan begitu. Wajah pria ini teduh sekali semakin tampan dengan balutan kemeja navy yang menonjolkan badan proporsionalnya.
     Mereka memilih meja disudut ruangan di coffee shop itu. Maudy lebih memilih diam sampai seorang pelayan datang memberikan menu kepada mereka berdua.
     "Mbak aku pesen...."
     "Hot chocolate plus marshmallow"
     "Kok kamu yang pesenin minuman aku?"
      "Kamu udah gak suka cokelat lagi? Yaudah deh mbak cancel ajaa"
      "Gak gitu. Aku jadi kok pesen cokelatnya"
      "Yaudah. Aku pesen gelato"

       Lima belas menit berlalu. Mereka berdua hanya sibuk dengan gadget masing - masing. Kecanggungan itu belum juga hilang, bahkan sampai minuman mereka datang.
      "Kenapa kamu suka coklat?"
      "Kenapa kamu suka Audrey?"
      "Kenapa larinya ke Audrey?"
      "Aku suka cokelat sama seperti kamu suka Audrey"
      "Seberapa banyak?"
      "Sebanyak kamu menyukai Audrey"
      "Berarti kamu gak menyukai coklat sekarang"
      "Suka"
      "Kamu salah. Aku tidak menyukai Audrey lagi. Berarti kamu tak menyukai coklatmu"
      "Nggg... It's okay. Mungkin perumpamaannya aja yang salah. I like hot chocolate very much"
      "Lebih dari rasa sukamu pada Bhian?"
      "Tidak. Rasa sukaku jauh lebih banyak pada Bhian"
      "Padaku?"
      "What kind of question is that?"
      "Just answer"
      "No way"
      "Hahaa okay. I'm rejected"
      "Bandung luas. Kenapa kita bisa bertemu?"
       "Takdir"
       "Hmmmph?"
       "Jodoh"
       "Lebih enak di denger pas kamu bilang takdir deh"
       "Hahaha it's okay Maudy. Oke takdir."
     Pria itu tertawa renyah sambil menikmati gelatonya. Dulu hal ini pernah di alami Maudy, hampir setiap hari. Pria ini selalu tertawa setiap mendengar lelucon Maudy. Disanalah letak kenyamanan Maudy pada pria ini, dia yang selalu tertawa untuk Maudy membuat Maudy merasa bahwa masih ada manusia yang bisa bahagia bila di dekatnya. Namun, semua itu tlah hilang.
     "Aku harus nunggu takdir yang ke berapa supaya kamu suka sama aku?"
     "Tadi kan aku sudah beri jawaban"
     "No way kan?"
     "So?"
     "Aku tak ingin jawaban seperti itu"
     "Kamu ingin aku jawab apa?"
     "Apa yang aku inginkan pernah kamu inginkan dulu"
     "Kamu tak boleh menginginkan wanita lain saat kamu sudah memiliki kekasih"
     "Siapa bilang begitu?"
     "Aku. Barusan"
     "Aku sudah sebulan berpisah dari Audrey."
     "Kenapa?"
     "Aku mencintainya. Tapi aku membutuhkanmu"
     "Kalimat apa barusan itu? Gak masuk akal. Kamu mencintainya. Tapi membutuhkanku"
     "Maudy listen. Aku gak tau sejak kapan aku ngerasa hatiku lebih membutuhkanmu. Aku mencintai Audrey tapi aku lupa bahwa cinta bukanlah sekedar mencintai. Selama ini Audrey hanya mencintaiku tapi tak pernah menjadikan aku prioritasnya"
     "Lalu saat kamu baru sadar kamu dateng ke aku, gitu?"
     "Maudy maafin aku"
     "Selamat tinggal Rey. Datanglah lagi jika cinta dan rasa butuhmu hanya untukku. Karena aku membutuhkan keduanya, bukan yang kedua."
 
                            ***

Saturday (with Bhian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang