Part 11

77 2 1
                                    

Waktu kamu terpuruk.
Waktu kamu tak menemukan jawaban atas pertanyaanmu.
Ingatlah bahwa kamu masih punya Tuhan yang tak bicara tapi membuktikan kepadamu.
Waktu tak satupun orang menyukaimu
Ingatlah bahwa hidup memang begitu.
Waktu kamu merasa dunia tak adil bagimu,
Minumlah segelas cokelat panas, ingatlah aku yang mencintaimu tanpa syarat.
Ingatlah saturday.
Maka semua masalahmu akan selesai.

-Bhian-

     Maudy POV

     "Jangan fikirkan Maudy. Jangan fikirkan! Tulislah ceritamu dengan jari, tulis ceritamu diudara. Maka kamu akan merasa kamu sudah menuangkan uneg - unegmu lalu kamu takkan melihatnya lagi setelahnya."
     Welcome Saturday. Aku mengatur rhytme nafasku, menahan emosi agar aku tetap fokus dengan pekerjaan akhir pekanku. Wajah pria itu selalu membayangi langkahku, aku masih mengingatnya dengan jelas bagaimana mudahnya dia meminta maaf. Mudahnya dia berkata bahwa dia mencintai wanita lain dan membutuhkanku.
    "Bhian. Semua akan terasa lebih mudah jika kamu masih ada disini."
    Aku meraih bingkai foto berwarna coklat dari sudut kiri meja kerjaku, foto Bhian. Bahkan sampai hari ini, Bhian masih punya tempat dihatiku. Aku salah menilai Rey, aku salah menilai kebaikannya padaku.
     "Selamat siang ibu. Ada kiriman bunga lagi untuk ibu. Boleh saya antarkan ke ruangan ibu?"
     "Dari siapa Clarissa?"
     "Dari Abimanyu ibu"
    "Ohh.. Bawa masuk"
   Abimanyu? Dahiku berkerut saat mendengar nama itu. Ganesha Abimanyu, si secret admirerku saat SMA. Dia mengirimkan bunga untukku. Sekarang aku tahu siapa yang selama ini sering memberiku hadiah.
    Aku menekan beberapa digit nomer telfon. Aku ingin bertemu Raisa secepatnya. Aku membuat janji untuk bertemu Raisa sore ini, dadaku terasa sesak penuh dengan cerita yang ingin segera kutumpahkan pada Raisa.
     Pertemuanku dengan Raisa berlangsung pada sebuah Restoran Korea. Kami menikmati makan siang sembari aku menceritakan semua yang ada dihatiku, aku sampai lupa kalau makanan yang kutelan belum kukunya sempurna.  Aku sibuk mencari tahu apa yang ingin kutahu dari Raisa. Tentu saja salah satunya,
       "Darimana Abi tahu alamat kantor gue?"
       Pertanyaanku hanya dijawab dengan sebuah gelengan yang tak berarti apa - apa. Aku mengarahkan sendok garpuku kearahnya, bermaksud sedikit mengancam.
      "Oke, Oke. Slow down baby"
      "Slow down, slow down kepala lu peyang"
      "Iyaa. Gue yang ngasih tahu Abi alamat kantor lu"
      "Maksudnya apa coba sok - sok misterius gitu?"
       "Abi masih sama seperti Abi yang dulu Dy. Dia masih cowok penakut yang cuma berani cinta sama lu diem - diem."
       "Aduhhh. Sayangnya gue benci tu sama cowok kaya gitu. Gimana mau ngelindungi gue, ngungkapin perasaan aja gak berani"
       "Emang kalau dia ngutarain perasaannya sama lu, lu mau ngasih kesempatan buat dia?"
       "Enggggg..... gue, gue...."
       "Masih inget Bhian?"
       "Iya Sa. Gue belum bisa ngelupain dia sepenuhnya. Gue gak mau pacaran dulu sebelum hati gue bener - bener sembuh dan siap menerima laki - laki lain"
      "Iya gue ngerti. Tapi kalau lu gak coba kapan lagi Dy?"
       "Elu mau gue ntar cinta sama Abi setengah - setengah?"
       "Yah, janganlah Dy. Dia baik loh."
       "Nah itu Sa. Gue takut ntar Abi kaya Uno lagi"
       "Aduhhhh jangan sebut - sebut pria hidung belang itu. Biarin aja dia bahagia sama si Audrey."
        "Iyaa Sa. Walau bagaimanapun, dia yang udah ngebantu gue sampai akhirnya gue sadar bahwa Bhian udah pergi dan gue bisa hidup dalam realita"
        Raisa mengelus pelan punggung tanganku sebagai rasa simpatinya. Aku tertunduk lemas dan anganku terlempar lagi pasa moment saat bersama Bhian dan Uno. Ntahlah, kadang aku merasa ini semua tak adil. Kenapa semua yang kucintai harus pergi begitu saja. Dan sekarang Abi muncul menawarkan kebahagiaan baru untukku dan aku tak tahu sampai kapan kebahagiaan itu tercipta untukku.
     Kali ini aku harus lebih teliti dalam memilah teman hidup. Aku tak ingin hatiku menjadi hati yang rentan terluka. Aku tak akan mengandalkan seratus persen hatiku. Aku akan menggunakan tujuh puluh persen logikaku sebelum aku memberikan kesempatan seorang pria untuk mencintai da memilikiku.
     Aku harus menjadi perempuan yang kuat untuk Bhian. Supaya dia tenang disana, aku akan membiarkan cerita ini berjalan mengalir seperti air. Aku merebahkan diriku pada sebuah sofa panjang yang terletak didalam ruang kerjaku. Aku meluruskan kakiku, hatiku sepertinya butuh udara segar.
     Aku membuka iphoneku. Sebuah pesan masuk dari nomer telfon yang tak kukenal.
      "Selamat siang Maudy. Selamat bekerja. Oh iya. Weekend ini kamu ada acara gak? Gimana kalau kita nonton konser Boyzone di Senayan. Aku mau ajak kamu ke Jakarta sabtu ini. Kalau mau hubungin aku segera. Aby"
      Abi? Jakarta? Nonton konser? Aku meletakkan handphoneku kembali diatas sebuah meja. Aku tak segera membalas pesan singkatnya.  Aku tak habis fikir kenapa dia sekarang berani mengajakku keluar? Ke Jakarta pula.
      Aku kembali ke meja kerjaku dan menyelesaikan dokumen - dokumen yang belum ku selesaikan.  Aku mencoba fokus dan tak memikirkan hal - hal yang tidak penting, salah satunya sms barusan.
      telfonku berdering, aku berhenti mengetik dan mengangkatnya.
      "Selamat siang ibu. Maaf menganggu. Ada yang mau bicara dengan ibu. Katanya penting.  Bisa langsung saya sambungkan ibu?"
       "Dari siapa Clarissa?"
       "Dari dr. Abimanyu beliau ingin bicara sebentar. Begitu pesannya ibu"
       "Oke. Sambungkan saja. Terimakasih Clarissa."
       "Halo selamat siang?"
       "Selamat siang Maudy. Maaf aku telfon kamu ke kantor. Abisnya pesan aku dari dua jam yang lalu gak kamu bales sih"
      "Oh. Iya Abi. Sorry. Aku sibuk banget. Kerjaan numpuk jadi gak sempat pegang handphone.  Maaf ya"
      "It doesn't matter Maudy. Yaudah. Nanti aja balesnya kalau udah pulang. Aku tunggu yah balesannya. Siang"
     "Siang Abi"
   
                                  ***

       Aku mencampakkan handbagku keatas tempat tidur dan meraih iphoneku dari dalamnya. Aku membuka kembali sms yang kuterima tadi siang. Haruskah aku pergi dengannya?
      Dahiku berkerut berfikir keras. Dia pasti menunggu jawabanku. Atau aku harus konsultasi dulu dengan Raisa??
      "Sa. Abi ngajakin gue ke Jakarta weekend ini."
      "Ngapain?"
      "Nonton konser"
      "Terus?"
      "Terus gue pergi atau tolak ajakan dia?"
      "Oh lu nanya pendapat gue?"
      "Iya begooooo'"
      "Yaudah pergi ajaa"
       "Ahh. Serius lu?"
       "Iya. Dia kan baik anaknya. Gak munhkin macem - macemlah."
       "Terus alasan gue ke mami apa?"
       "Bilang aja perginya sama gue"
        "Bohong dong"
        "Yaudah ignore aja ignore."
        "Eh. Jangaaaaannn.... lu tau kan gue fans beratnya boyzone?"
        "Fans beratnya Boyzone atau lu gak mau kehilangan kesempatan buat jalan sama si Abi? Hahahaha"
       "Gue jitak lu!!!"
       "Hahahaha yaudah deh. See you Maudy"
       "See you"

     Aku langsung membalas sms yang dikirimkan Abi tadi siang setelah aku menutup telfon Raisa.
    "Good evening Abi. Sorry baru bisa bales jam segini. Okay. Aku mau ke Jakarta sama kamu.  Tapi kita ketemu disana aja yah. Ketemu di Jakarta aja."

       

   

Saturday (with Bhian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang