Berayun-ayun mengitari tanah lapang diikuti semilir angin yang membaur bersamaku. dekapan yang terasa kuat tak kentara menahbiskanku di sembilu pilu. Semua terasa alami, tidak hanya sekali tetapi lebih. Di petang ini seseorang melambaikan tangan ke arahku. Wajahnya pucat pasi, sementara aku membuyarkan lamunan oleh angin yang membuai.
"Hei, siapakah dirimu? Sopankah Anda menampilkan telapak tangan yang telanjang itu? Bahkan kepada orang asing sekalipun," seraya mengernyitkan dahi yang kunjung memanas.
Ia kemudian diam tak berkutik. Bagaikan patung yang berada di Museum Kereta Beludru. Aku kembali teringat akan pengalaman pahit ketika aku beranjak remaja. Terdapat sesosok lemah tak berupa hendak membopong barang bawaan menuju Museum Kereta Beludru. Konon, museum itu tak pernah tidur selama kehidupan ters mewanti-wanti akan derap-derap modernisasi menghantui. Nyaliku berujar, "Oh. Apakah itu Anda, Tuan? Tuan Bermuka Masam yang kerapkali cemas akan memudarnya pamor si beludru cantik di zaman art-deco."
Dengan sigap ia kembali menjamah museum yang penuh kisah pahit nan manis....

KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora: Antologi Cerpen
Science FictionTubuhku mendingin, menggigil di kala terpaan badai tahunan. Di atas hamparan helai dedaunan, aku berbisik pada tiang-tiang kota. Hendaknya sampai ke masa itu pula; padaku kepadamu. Neo Seoul, 2090.