Padam. Semburat api yang menyilaukan mata telah memudar. Wajahku berubah menjadi pucat pasi. Sembari membenahi langkah kaki. Aku keluar dari ruangan berlapis kaca. Tak semudah yang kuduga. Objek tanpa identitas terus saja memberontak. Kepanikanku kian tergerus oleh lelah yang mendera.
Digo yang membuntutiku dari tadi menahan langkahku. "Sisil, tunggu sebentar," ucapnya.
"Kenapa? Apa yang mau kau sampaikan?"
Sambil mengikat tali sepatunya Digo menjawab. "Jangan panik, Sil. Objek misterius itu tidak membahayakan kita."
"Lalu?" tanyaku simpul.
"Berdasarkan hasil riset timku kemarin. Objek plasma yang berasal dari Sabuk Kuiper bukanlah makhluk hidup."
Aku tergugu penasaran. "Tapi, Digo. Objek itu terus saja bergerak tanpa perintah. Dia bahkan melahap cahaya lampu. Pertumbuhannya juga drastis. Dari sebiji kacang polong dan sekarang sebesar kepalan tangan," imbuhku.
"Ya, dia memang unik. Tampaknya dia diciptakan agar mampu bertahan hidup."
"Maksudmu, objek itu dapat didefinisikan sebagai robot? Ah, tak mungkin." Aku berlalu melewati koridor menuju asrama.
"Baiklah kalau kau tak percaya. Kuingatkan sekali lagi, dia sangatlah unik-"
"Plasma yang terkandung di dalamnya dapat menghantarkan gelombang elektromagnetik. Bahkan dari gelombang tersebut, kita dapat menelusuri jejak quasar setahun lalu," terangnya lantang tanpa nada.
"Ehm, sungguh menarik ...." Aku menoleh ke arahnya. Lalu melanjutkan. "Baiklah, sejam lagi aku akan menyusulmu-"
"Kita lihat saja nanti. Apa yang mau objek itu perbuat," tukasku.
Digo berdeham amat keras. "Oke, baiklah. Aku tetap di laboratorium bersama yang lain," pungkasnya tenang dan berlalu.
***
"Permisi, apa ada orang?" Aku menghampiri observatorium mini yang baru dipugar.
Tulisan bergerak yang mengelilingi ruangan mengalihkan kesadaranku sejenak. Kemarin, tepat setahun lalu. Kami menemukan quasar yang berjarak satu septilliun cahaya dari Satelit Europa. Membuktikan bahwa kehidupan di luar sana amatlah mungkin ditemukan.
Tak lama, sesosok lelaki paruh baya muncul. "Ya ada apa? Mengapa kau ada di sini?" tanyanya pelan.
Suara lemahnya mengingatkanku betapa semakin uzurnya usia lelaki ini. Beliau merupakan guru hidupku. Sang penggagas koloni Satelit Europa ini turut bersinergi menciptakan kehidupan baru di luar Bumi.
"Maaf mengganggu, Kivanc Bey," tuturku hormat kepadanya, "jadi begini. Apa observatorium masih menyimpan dokumentasi empat angkasawan yang menghilang setahun silam?"
Lelaki berdarah Turki-Yunani itu berdeham amat keras. "Tentu, Sisil. Selama urat nadi masih bergerak. Akan kami simpan dokumentasi itu erat-erat," jawab Kivanc Bey mendesis.
Tak lama, humanoid Ellena menyalakan dokumentasi itu ke layar transparan di depan kami. Tampak rekaman video berdurasi 35 menit mulai berjalan. Aku terkagum bercampur sesak di hati. Betapa luar biasanya petualangan yang mereka alami.
Dan rekaman itu memunculkan berbagai suara.
****
"Astaga! Kalian harus melihatnya." Fred memanggil para awak lain.
Mac yang keluar dari saluran instalasi mekanik mengikuti arah suara Fred. "Wow ... memang fantastis, Fred. Luke, cepat ke sini."
Luke yang mulai menguatkan kesadaran dari tidur panjangnya turut bersua bersama mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora: Antologi Cerpen
Fiksi IlmiahTubuhku mendingin, menggigil di kala terpaan badai tahunan. Di atas hamparan helai dedaunan, aku berbisik pada tiang-tiang kota. Hendaknya sampai ke masa itu pula; padaku kepadamu. Neo Seoul, 2090.