Rub Al-Khali Dessert, Saudi Arabia
D-Day
Belum saatnya 'tuk memulai. Mungkin, tapi deru-deru mesin terus bergulir menapaki kerasnya medan yang hendak kulalui. Tak sepanjang jalan terbesit oleh napak tilas kehidupan yang mendera.Bahkan akupun tak luput sama sekali. Tetapi, jika aku terus berjuang hingga penghujung hari ini. Setidaknya aku telah menempuh seperdelapan perjalanan menuju antah berantah di ufuk timur.
Perbekalanku telah habis. Seutas perjalanan nan amat melelahkan itu kuarungi oleh lambaian debu tak bertuan. Aku berlalu dari suramnya lalu-lalang vegetasi gurun yang kerapkali memberi sisi imajiner kelabu. Nahas, aku tak sempat berbicara kepada siapapun. Bahwa aku dirudung rasa pilu yang kian menjadi-jadi. Perkakas yang masih kusimpan di bagasi masih tak luput dari pengamatanku.
Oh, wahai kehidupan. Siapa sebenarnya diriku?
Deru-deru mesin kemudian membelakangi lamunan tepisku. Menyulutkan gelora api masa lalu yang saling bersahutan. Wujud gelapku kini nyaring memberikan sinyal yang menyayat hati. Aku berjuang 'tuk tidak menggubrisnya. Tetapi wujud tersebut berteriak lantang memecah denyutan nadi.Kendaraan yang kubawa perlahan oleng. Tak keruan aku menolak. Tak keruan aku mencoba menghalau bisikan yang masih tertanam di lobus temporalku. Aku menghirup udara hambar yang masih terkepul di dalam. Terperanjat lalu mendobrak pintu mobil yang tiada menghujaniku.
Hosh... hosh... hosh...
Aku meringkuk pada ban depan mobil. Terberingsut oleh makian sendiri yang mengganas. Dengan hantaman telak, spion kiri yang terpampang kokoh dilukainya; oh tanganku yang malang.
A... a, aku.... Siapa sebenarnya diriku?
Dorongan agar aku segera keluar dari sayatan yang melolong jauh itu mulai mencengkeramku.
Aku menampar diriku sendiri. Tak berarti. Tak bernestapa. Walaupun tetesan keringat membasahiku di tengah sinar senja. Aku terdiam tak berdaya. Meresapi luka wujud gelapku. Menangis sendu di pelukan senja yang hendak memberi senyuman hangatnya kepadaku. Saat ini.
*****
Nak, cobalah kamu tabah.
Apa kamu telah mengikhlaskan kepergian dia?
Nak, tataplah ibu. Ibu yakin dia telah melalui semuanya dengan sabar.Biarlah dia beristirahat di sana.
Jangan harapkan dia kembali. Dia sekarang telah bahagia.
Ya, siapa sebenar-benar orang yang tidak menghendaki kekasihnya bahagia?
Nak, bersyukurlah untuk kehidupanmu sekarang.Roda 'kan pahitnya hidup selalu menjadi titian menuju kehidupan selanjutnya.
Apa kamu percaya itu, Nak?
Ya, kita 'kan bertemu kembali.Berjumpa kembali dalam wujud yang seutuh-utuhnya. Tanpa cela, tanpa bermuram durja.
Semua selalu tertawa; bersenda gurau menggauli tetesan napas yang pernah kita lewati. Bersama.
Selama itu yang kita pinta. Maka tak akan pernah ada sesuatu yang menggoyahkan harapan.
Yakinlah, Richolas. Penahbis.... Richo, Richo.
"Richo. Richolas, bangun! Bangun, Richolas! Sarapan sudah bibi siapkan di meja dapur."
Hah. Hah. Hah.
Sepatah ucapan yang tiba-tiba membuyarkan bisikan dari bunga tidurku. Membuat jantungku berdegup keras.
Hah. Hah.
"Baik, Bi. Tenang saja, Richolas segera makan kok." Aku menyahut sumber suara yang tak lain suara bibi. Bibi baru saja mengambil pakaian lusuhku-yang tergeletak di gagang lemari-ke tempat cucian.
Aku meraih jam weker yang menunjukkan jarum pendek di angka 7. Tepat saatnya agar aku meluangkan hari terakhir sekolahku. Minggu esok adalah awal musim panas tahun ini. Sudah pasti pantai-pantai akan disisiri wisatawan yang meringankan beban rutinitas. Tak terkecuali diriku.
Ah, belum saja aku bersiap-siap untuk sekolah. Malah membayangkan liburan minggu depan. Aku sudah tidak sabar mengingat angkatan alutsista akan mengunjuk diri dalam merayakan pencapaian tiga setengah abad mereka. Ya, 350 tahun sejak angkatan bersenjata terbentuk di negara ini.
Mereka akan meramaikan perayaan itu di lapangan dekat taman pesisir. Tempat yang sering diikuti aktivitas warga setempat. Bahkan konon di bawahnya terdapat artefak kuno peninggalan pemerintahan silam. Dan kami sebagai generasi penerus masih memiliki tanda tanya untuk mengulas isi yang asli.
Beberapa versi yang dikuatkan oleh para ahli terkesan tak masuk akal menurutku. Apabila artefak kuno akan diekskavasi kembali. Dapat dipercaya, kutukan lama akan kembali bersarang dan menghancurkan seluruh dunia.
Dan akibat dari adanya parade alutsista yang akan dilakukan di lapangan. Membuat para arkeolog was-was tentang kerusakan yang diperbuat. Karena aktivitas yang dilakukan oleh benda-benda logam berat selama perayaan tersebut terjadi. Menimbulkan efek daya tarik magnet bersinggungan dengan kunci yang dimiliki artefak kuno itu.
Aku pernah membaca di ensiklopedia yang pernah kubaca di perpustakaan kota. Disebutkan bahwa kunci artefak kuno mempunyai unsur yang tidak ditemui di penjuru belahan Bumi. Dan mungkin bahwa artefak kuno ini memiliki kaitan erat dengan kudeta yang dilakukan Presiden Raziq selama kekuasaan militer bertangan penuh mengisi pemerintahan negara 227 tahun silam.
Sebagian orang--kenalan atau rekan terdekatku-yang pernah diceritakan turun-temurun. Sering berkata bahwa Presiden Raziq adalah entitas asing yang bukan berasal dari Bumi. Tujuan beliau hanyalah melacak orang--orang tertentu untuk diselamatkan dari rumor kiamat yang jatuh tempo satu millennium lagi, tepatnya di tahun 3584 masehi.
Haha, bagiku banyolan mereka sangatlah konyol untuk diterka secara logika. Toh, untuk apa ditakutkan kalau memang tidak ada rujukan penelitian yang kredibel?
Selama ini, isu tersebut sekadar bualan yang kadangkala menghantui negara ketika berada di situasi genting. Seperti pergantian sistem pemerintahan dari kerajaan ke republik 452 tahun yang lalu. Pemilihan presiden pertama secara langsung 137 tahun yang lalu. Bahkan perayaan olimpiade 38 tahun yang lalu, di mana tempat penyelenggaraannya berdekatan dengan lapangan tersebut.
Ehem.
Aku kemudian berdeham keras menyudahi cuitan memori yang memanggil beberapa detik sebelumnya. Dan mengayunkan kedua tangan ke kiri lalu ke kanan. Merenggangkan punggung sembari meninggalkan kamar tidur menuju ke dapur.
Sepintas sosok bibi membelakangiku dengan aura yang mencolok. Mencolok? Ah, bukan. Aku tak dapat mendefinisikannya. Bibirku gemetar untuk melihatnya. Siapa tahu firasatku salah dan aku memang tidak merasa enak badan hari ini.
Krak.
Sendi kakiku berbunyi pelan. Jelas-jelas sosok itu bukanlah bibi. Ah, dari binar matanya yang sayu. Serta pergelangan tangannya yang runcing. Membuktikan kalau tadi, bibiku yang kerapkali membangunkan aku saat pagi sudah tidak ada di rumah.
Siapa sebenarnya dia?
Mengapa dia datang secara tiba-tiba?Aku yakin tadi yang memanggilku memang Bibi Marilyn.
Bukan dia yang sekarang tengah membawa lap kanebo ke arah rak piring berada.
"Bi. Bibi Marilyn. Ri, Richo engga sarapan dulu ya. Ada jadwal olahraga yang mendesak di sekolah seka...."
Ah! Sesosok yang mirip bibi Marilyn menampakkan gigi taringnya. Aku melihat refleksi pantulan kaca rak piring yang bersinggungan dengan dapur. Dia tiba-tiba saja diam mematung. Sejumput getiran halus membuat bulu kudukku berdiri.
Tanpa aba-aba tak bertuan sosok itu membalasku. "Iya, Richolas. Bibi masih mengelap kaca rak piring nih."
A, apa? Suara dia benar-benar mirip dengan suara bibiku?
Aku tak mau tahu. Belum sempat aku mengucap salam ke sosok itu. Dengan sigapnya kuberlari melangkahi ruang tamu, menuruni tangga teras, lalu bergerak menuju sekolah tanpa perduli pakaian yang kukenakan sekarang.
Bruk.
Kedua kakiku mati rasa. Aku tak bisa percaya bahwa dia membelakangiku sekali lagi. Aku tak ingin mengiyakan otakku 'tuk menoleh. Ah, sama sekali tidak. Justru auranya semakin terpancar kuat. Sekujur tubuhku tak dapat kugerakkan kembali. Pikiranku bingung, tubuhku dalam sekejap lumpuh tak dapat aku kontrol.
Sampai radius seratus meter pun. Walau sosok yang mirip bibiku mempunyai kaki yang ramping. Tak memicu sebuah alasan bahwa suara langkahnya tidak terdengar. Bibirku perlahan-lahan menggigil sembari sosok itu mengincarku. Aku tak ingin melihatnya.
Ah, sial! Aku tak dapat bernapas! Tolong! Siapapun itu, tolonglah aku!
*****
Rub Al-Khali Dessert, Saudi Arabia
After D-Day
Hah. Hah. Hah.
Mimpi yang aneh lagi, Richolas?
Aku bertanya kepada diriku sendiri. Tanpa menyadari diriku terkapar di jalan raya yang terik di tengah hari. Rupanya aku belum bergumul oleh desir gurun yang sampai sejauh ini masih kuhempaskan sedemikian rupa.
Aku membuka pintu mobil untuk duduk memasukinya. Terpintas spion kiri mobil yang pernah kurusak dan belum kuperbaikinya. Rona wajah yang kusam telah menggambarkan betapa peliknya derita yang kupunya.
Hampir satu pekan aku meninggalkan kota. Aku bahkan hanya mengingat beberapa cuplikan yang kerap membuat alam sadarku takut. Menelusuri jalan raya penghubung distrik. Hingga akhirnya terjebak dalam padang pasir nan amat luas ini.
Setetes fatamorgana yang menghantuiku. Telah merampas semuanya. Keluargaku, kekasihku, aku. Tak terkecuali betapa hebatnya mereka yang mengharapkan diriku 'tuk segera pulih dari keterpurukan. Namun ternyana, hanyalah aku yang kesekian kali melupakan jiwanya.
A... a, aku.... Siapa sebenarnya diriku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora: Antologi Cerpen
Ciencia FicciónTubuhku mendingin, menggigil di kala terpaan badai tahunan. Di atas hamparan helai dedaunan, aku berbisik pada tiang-tiang kota. Hendaknya sampai ke masa itu pula; padaku kepadamu. Neo Seoul, 2090.