Karena pada dasarnya manusia ialah makhluk yang tak memiliki jala pandang yang luas. Mungkin, tapi jika ia 'kan perlu melangkah selagi bias. Ia tetap memiliki sandaran tanpa periuk yang ia tiup dan buih yang ia embuskan.
Tampaklah suatu sunyi yang kemudian pada serabut mayang ia tertatih memberi laju ke rumput ilalang. Ia merekah kembali menyiratkan pancaran sinar baur. Tanpa celah sekembalinya ia bertolak dari peraduan. Ternyiur sebuah sembilu yang ia tancapkan pada kenisbian senja.
Senja pun berkata padanya, "Hei, sudikah kau merangkul kemalanganmu? Bukankah ini terakhir kalinya kau menjumpai kenistaan yang kerapkali kau abaikan?" sontak sang senja melampaui cahya menuju cakrawala tinggi.
Namun, sayang sekali. Ia tak dapat berlabuh ke tempat peraduan yang ia impikan itu. Pancaran kornea dan dekapan syaraf malpighi di hamparan hipodermis. Membuatnya parau tak keruan. Ia sekalinya berjalan nan berjalan. Ternyana badai pun berlalu ke saku yang ia simpan. Pasalnya, tak ada sepatah kata yang ia ucap 'tuk meneruskan bias kisah yang diimpikan. Peluh-peluh laju berpandang sulutan api yang marah. Ia marah, ia kesal, ia lepas kendali. Tak tahu apa yang ia nyatakan.
"Hei, Senja. Bilamana 'kau hidup pada luasnya semesta. Lekas, katakanlah! Oleh sebab apa aku terlepas dari jala letih yang sering kutuang. Mengapa kau selalu menyerap fatamorgana yang membuihkan perasaan pilu itu. Tapi, tapi lukiskanlah apa yang aku kesal. Aku tak mampu hidup di kemudian hari. Aku, aku, aku tak dapat berkisah lagi.
Sudikah kau bernyana pada luasnya semesta. Apa pun kisahmu. Tolong, jangan sampai aku bangun. Jangan sampai aku terjaga pulas pada simfoni malam yang menghanyutkan. Coba, seperti itu pun aku sebut. Aku, aku. Tak ingin menjauh selagi 'kau berpendar di edaran bola api."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora: Antologi Cerpen
Science FictionTubuhku mendingin, menggigil di kala terpaan badai tahunan. Di atas hamparan helai dedaunan, aku berbisik pada tiang-tiang kota. Hendaknya sampai ke masa itu pula; padaku kepadamu. Neo Seoul, 2090.