O.S. (3): Marcapada di Masa Kelabu

32 3 2
                                    

23 Agustus, musim panas milenium ketiga pasca kejatuhan

     Samar kudengar suara desus yang akhirnya membuka mataku secara perlahan. Bukan karena mereka membangunkan, namun bisikan itu seolah pertanda adanya keajaiban yang cukup lama dinantikan. Apakah itu aku, atau siapa gadis yang menulis tentang ini?

"Tuhan mendengar doa kita. Syukurlah kau siuman!" Perkataan itu terdengar begitu bahagia.
     Nampak seorang wanita paruh baya, menatapku penuh haru. Dapat kulihat  mahkota putih abu-abu yang menghiasi kepalanya. Wanita itu berpakaian amat sederhana.  Terusan berwarna putih tulang, tanpa ada sematan motif apapun selain polos.

    Di sampingnya berdiri seorang lelaki dengan potongan rambut yang benar-benar sama persis. Melihat wajahnya yang tak jauh berbeda dengan wanita paruh baya itu, yakinku, lelaki itu pasti adalah putranya. Lelaki itu pun menawar untuk mengambilkanku segelas air putih. Sementara aku dibangunkan perlahan oleh ibunya.

     Dan tentu saja berbagai tanya patut hadir saat itu juga. Apakah itu tentang mereka, aku, atau kukira yang paling kubutuhkan saat itu adalah perihal di mana. Kutatap wajah mereka satu per satu, memanaskan kembali ingatan yang sempat beristirahat cukup lama. Namun tiada satu pun yang kuingat. Tidak tentang mereka, atau pun tentangku.

     Untuk beberapa menit, setelah meneguk habis segelas air yang diberikannya, aku masih berkutat dengan pemikiranku. Menyadari dengan sungguh perbedaan yang mencolok di antara kami. Gaya berpakaian mereka yang sederhana, yang berbanding terbalik denganku: si gadis berbusana musim panas yang tak tahu di mana kini ia berada.

"Pakaian di tubuhmu itu perlu diganti. Aku akan menyediakan pakaian pengganti jika kau telah selesai membasuh dirimu. Jadi, simpanlah dahulu segala pertanyaanmu," ucap wanita itu yang kemudian tersenyum.

Sedang anak lelaki itu, ia memilih untuk meninggalkan kami. Sesaat setelah ibunya memberi isyarat agar aku mengikutinya dari belakang.

     Sungguh, sebuah rumah yang benar-benar sederhana. Tidak memiliki hiasan dinding, patung, atau sekadar foto keluarga yang dipajang di sana. Tidak. Benar-benar polos. Sama persis dengan pakaian pengganti yang akhirnya membalut tubuhku. Tak hanya itu, wanita itu memberikanku sepasang sendal berwarna cokelat muda. Teramat cukup membuatku merasa sedang berada di zaman sebelum masehi, atau waktu yang jauh lebih lampau dari itu. Dan hingga sampai momen pengenalan itu berlalu, aku masihlah seorang gadis pendiam yang menyimpan ratusan tanyanya dalam hati.

"Putraku dan beberapa temannya menemukanmu terdampar di tepi pantai saat hendak melaut. Akhirnya, mereka membawamu ke mari," ujar wanita tersebut yang bahkan hingga kini hanya kukenal dengan sebutan 'Bibi'. "Tadinya, kupikir kau adalah salah satu dari penduduk kami. Namun melihat model pakaianmu, kurasa kau ini berasal dari lain tempat, ya?" tanyanya.

     Aku hanya menggeleng. Kala itu yang terlintas di pikiranku hanyalah dua orang. Wanita paruh baya itu, dan juga putranya. Orang-orang asing yang akhirnya menjadi tumpuan perlindunganku. Mereka yang dalam beberapa waktu lamanya membiarkanku menjadi bagian dari keluarga mereka, selama tiada hal lain yang lebih menyakitkan daripada sesuatu yang terlupakan dengan sendirinya.

     Aku ... sama sekali tidak menghitung berapa lama waktu yang kuhabiskan bersama mereka. Maksudku, semuanya mengalir begitu saja. Pagiku diawali dengan secangkir teh hangat, sebelum akhirnya aku dibiarkan 'berkencan' dengan si lelaki berambut gondrong itu. Sebuah kencan yang lebih bersahabat dengan kehidupan yang keras dan penuh peluh. Nyatanya, setiap pagi, aku harus menemani sekaligus membantunya mengambil air minum di kaki pegunungan, menghabiskan banyak waktuku untuk membantunya di hutan, melihat perkembangan tanaman milik keluarga mereka, atau mengekornya ketika hendak pergi melaut, membiarkan tubuhku terbakar sempurna pelukan mentari.  Sungguh, kehidupan yang benar-benar berat yang pernah dan harus kulewati. Rasanya aku seperti sedang berada di dalam film "The Hunger Games", namun lelaki itu sama sekali tidak mengambil perannya sebagai Peeta Mellark.

     Ia adalah sosok yang dingin serta kaku. Jangan pernah berharap kau akan mendapatkan perhatiannya lebih dari lima atau sepuluh menit. Bahkan limabelas menit saja, kukira aku sangat bersyukur bila berhasil mendapatkannya. Sebab, ia hanya berbicara sepenuhnya. Sungguh berbeda jauh dari ibunya. Dan bila mengingat ini, kurasa aku pun pernah ada dalam momen di mana untuk membuka mulutnya saja, rasanya aku harus terjatuh dari perahu kecil miliknya. Agar sekali-kali ia tidak menganggapku sebagai angin yang bertiup untuknya ketika sedang mencari ikan di laut.

"Apakah di sini tidak ada kendaraan seperti mobil atau motor? Bagaimana dengan pesawat?" tanyaku yang sudah terlanjur bosan menunggunya mencari ikan.

"Kendaraan tua. Hanya merusak bumi," tukasnya

"Kendaraan tua?"

"Lebih tepatnya kendaraan tua yang telah berhenti digunakan sejak beribu tahun yang lalu. Bersepeda atau berjalan kaki, akan jauh menyenangkan hati bumi." Lelaki itu lalu mendayung perahu kami, bersiap menuju tepian sebab hari sudah mulai sore. Dan ia tak pernah membiarkanku menemaninya melaut di malam hari. Baginya, dinginnya angin malam akan menusuk kulitku, merusak tulang, dan wanita sepertiku sebaiknya berdiam diri di rumah saja.

"Kurasa aku keliru, namun menurutku kau berbeda. Kau selalu menyebutkan berbagai perkakas yang sejatinya telah lama ditinggalkan sejak beribu tahun yang lalu. Mulai dari pemanas makanan, penanak nasi, bahkan pengering rambut."

     Kedua alisku serta-merta mengerut mendengar penuturannya. Bukankah benda-benda tersebut masih tergolong familiar dengan kehidupan kita? Namun seperti kataku tadi, lelaki ini bukanlah Peeta Mellark. Dan ia takkan membuang waktunya untuk berbicara denganku lebih dari sepuluh menit.

"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Kau selalu saja bungkam." Kuarahkan pandanganku kepada perahu-perahu lain yang turut menepi di pesisir pantai. Menyisakan lelah hari ini untuk besok.
"Tempat ini, rasanya terlalu asing bagiku. Aku hanya mengenalmu dan juga Bibi. Sedang mereka yang saban hari berlalu lalang di sekitar, mereka tak ayal aku yang selalu menjadi semilir angin untukmu."

"Kau tahu, aku sangat membutuhkan jawaban dari setiap pertanyaan itu. Setidaknya, aku butuh sesuatu untuk diyakini. Sebab nyatanya, kurasa aku seakan berada ribuan tahun sebelum sekarang. Ribuan tahun di mana tempatku bukan di sini."

"Tidak semua tanya menuai jawab, Nona."

     Tadinya, kupikir aku akan bertanya lebih lanjut kepada ibunya. Aku mungkin telah dengan baik menyesuaikan diri dengan segala keasingan ini. Namun siapalah aku, gadis yang menulis tentang ini? Baik lelaki itu atau pun ibunya, mereka lebih senang memanggilku dengan sebutan, "Nona." Dan aku sempat berharap dalam setiap doaku, kelak 'kan kutemui segala hal yang hilang dariku. Mulai dari nama, kenangan, atau mungkin orang-orang di dalamnya.

Aku hanya ... ingin pulang.


*****
     Tepat satu tahun semenjak aku ditemukan. Aku bahkan tak memiliki gambaran perihal tempat itu. Kurasa hari-hariku hanya diwarnai dengan keberadaan lelaki itu dan juga ibunya. Walau begitu, aku pun sempat bertemu dengan beberapa pedagang yang hendak menjajalkan sayur-mayur atau hasil laut mereka di pasar. Aku masih ingat benar, dengan siapa kala itu kuhabiskan hariku. Ibu dari lelaki itu dan potongan kisah tepi pantai yang masih tertanam jelas dalam ingatanku.

"Nona, tidakkah kau senang berada di sini, bersama dengan kami?" tanya sang wanita paruh bayah itu padaku, yang hanya kubalas dengan seulas senyuman.

"Aku paham, ada banyak sekali pertanyaan perihal apa, siapa, juga mengapa. Aku tahu kau pasti rindu berada di tempat di mana seharusnya kau berada. Namun sama halnya denganmu, kami pun turut kesulitan dalam mencari tahu segala hal tentangmu, Nona. Nyatanya, hingga sekarang, kau pun masih belum mampu mengingat jati dirimu yang sebenarnya," jelasnya.

"Kuharap putraku mampu membawamu pulang ke rumah atau setidaknya ...."

"Sudahlah, Bibi." Kutatap sejenak wajah wanita itu, melihat dengan jelas kerutan yang mulai menghiasi kedua matanya. Wanita paruh baya yang telah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri ... di tengah kehidupan yang terlampau asing ini.

"Mungkin benar, tidak semua tanya harus menuai jawab. Mungkin memang benar, tempatku sekarang adalah di sini bersama kalian." Kugenggam tangan wanita itu dengan lembut. Menyatukannya dengan kedua tanganku, seraya berujar dengan pelan, "Dan mungkin memang benar keajaiban enggan memberi kuasanya padaku agar dapat kembali pulang, atau setidaknya mengingat sedikit tentang masa laluku."

     Wanita itu balik menatapku, memberikan sebuah senyum penuh pilu. Kami kemudian duduk pada sebuah batang pohon tua yang berada di tepi pantai. Membiarkan deru ombak menggelitik kedua kaki kami, atau sejuknya terpaan angin sore yang muncul seiring dengan mentari yang perlahan kembali pada peraduannya. Atau apa yang lebih daripada itu, menunggu kedatangan lelaki itu.

     Limabelas menit, tiga puluh menit, satu jam, nyatanya lelaki itu tak kunjung datang. Ketika semua orang telah kembali dari laut dan membereskan jala mereka, tak satu pun dari mereka yang kukenal sebagai lelaki itu. Mentari telah sempurna menyembunyikan dirinya, menyisakan malam yang perlahan mengumpulkan kekuatannya; untuk sebuah kehancuran yang nyata atau apa yang kemudian hari akan kukenal sebagai keajaiban yang disesali.

"Bibi, semua orang telah kembali, lantas di mana dia?!" tanyaku yang tak henti mengedarkan pandangku pada lautan lepas yang samar mulai dijatuhi oleh gerimis. Cemas bercampur takut, kukira perasaanku benar-benar tidak baik kala itu.

"Inilah yang akan terjadi bila ia pergi seorang diri. Ia pasti terlalu asyik menebar jalanya," ujar wanita itu.

"Kalau begitu biar aku saja yang menunggunya kembali. Kau, pulanglah dahulu, Bibi. Hari semakin larut, aku tidak ingin tubuhmu kedinginan." Aku kemudian membantu wanita itu 'tuk berdiri. Sedang di atas kami, nampak awan arkus yang membayang, memantau pergerakan kami.

"Nona, aku punya perasaan buruk bila meninggalkanmu seorang diri di sini." Wanita itu menahan langkahnya sebentar, berucap padaku dengan kedua dahi yang mengerut.

"Aku tidak apa, Bibi. Hanya sekadar menunggunya kembali," tukasku seraya tersenyum, kemudian memeluknya.


"Aku akan selalu mengingatmu, Nona." Wanita itu kemudian mengurai pelukan kami sembari berlalu, pulang ke rumah. Menyisakanku seorang diri, menunggu dengan tanya baru yang kembali menuai hampa. 'Apa maksud perkataannya?'

     Aku tidak lagi duduk di atas batang kayu tua tadi, sebab gerimis semakin mempertegas kehadirannya. Pemandangan kala itu, adalah salah satu yang mengganggu tidurku. Nampak dengan jelas hamparan laut yang diguyur hujan deras, dan tiada lagi penerangan yang kulihat selain dari sebuah mercusuar tua. Atau dari sebuah perahu tua yang lambat-laun menepi di bibir pantai. Dan aku akhirnya berlari menuju perahu tersebut, menemui seorang lelaki yang tengah membereskan jalanya.

Namun persis ketika kuhampiri lelaki tersebut, seketika pula ia berucap tanpa menoleh ke arahku. "Tadinya kukira ini semua hanya mimpi. Namun ternyata tidak. Mungkin tidak semua tanya harus menuai jawab, namun ada pula jawab yang hadir jauh lebih dulu sebelum tanya itu sendiri."

"Maksudmu?"

"Aku seharusnya tahu sejak awal, kau memang bukanlah bagian dari kami. Dari tahun-tahun ini. Kau adalah gadis yang datang jauh dari ribuan tahun ke belakang."

"Aku tidak mengerti, apa yang sedang kau ...."

"Kejatuhan ... hadirmu jauh sebelum itu. Pantas saja kau kesulitan menyesuaikan diri, begitu terkejut ketika tahu tidak ada lagi motor atau mobil, tiada lagi gedung-gedung pencakar langit, atau pengering rambut." Ia menatapku sejenak, mungkin turut menyadari dengan sungguh bahwa ia baru saja menimbulkan tanya baru bagiku. Menambah daftar panjang pertanyaan yang belum tentu 'kan menuai jawab.

"Aku tidak pergi menjala ikan tadi. Lagipula, di musim penghujan seperti ini, kau takkan menemukan apa-apa. Tetapi aku pergi menuju perpustakaan kota. Mencari jawab atas segala tanya yang sering kauberi padaku."

Aku tidak tahu harus merespon segala perkataannya dengan apa. Maksudku, haruskah aku berbahagia, cemas, ketakutan, atau kah lebih baik diam?

"Tidak, itu salah! Lantas bagaimana aku bisa ada di sini?! Apa kau bisa menjelaskan itu? Bila memang aku berasal dari ribuan tahun yang lalu, maka seharusnya yang kautemukan adalah kerangka mayat, bukan aku!"

     Semuanya nampak tidak masuk akal. Dan sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dikatakan lelaki itu seakan berbanding terbalik dengan apa yang selama ini kualami sejak berada di sana. Katakanlah, mungkin ada banyak fakta baru yang kutemui di sana. Seperti semuanya seakan kembali pada zaman di mana semuanya nampak sederhana, dan terlampau berbeda dari apa yang kukira pernah kualami sebelumnya. Namun memercayai segala perkataannya perihal aku dan kisah ribuan tahun yang lalu, kurasa akan membuatku kehilangan akal sehatku.

*****

Dan kembali.... Samar kudengar suara desus yang akhirnya membuka mataku secara perlahan. Bukan karena mereka membangunkan, namun bisikan itu seolah pertanda adanya keajaiban yang cukup lama dinantikan. Apakah itu aku, atau siapa gadis yang menulis tentang ini?

"Tuhan mendengar doa kita. Syukurlah kau siuman!"

     Perkataan itu terdengar begitu bahagia. Nampak seorang wanita paruh baya, menatapku penuh haru. Bukan, bukan. Ia bukanlah wanita bermahkota putih abu-abu dengan terusan berwarna putih tulang tanpa ada motif apapun selain polos yang menyertai. Ia bukan wanita di mana dinding rumahnya tidak berhiaskan apapun selain keteguhan hati dalam menjalani hidup. Pun, ia bukan ibu dari lelaki yang kukira adalah satu-satunya lelaki yang pernah singgah dalam hidupku.

"Akan kupanggilkan perawat untuknya," ujar seorang pria paruh baya bertubuh cukup gempal, yang kuyakini adalah suaminya.

Wanita tersebut kemudian membelai rambutku dengan pelan. Matanya berkaca menatapku.

"Aku tidak menerima pertanyaan darimu, Sayang. Kau terbaring cukup lama di sini. Sekadar pengingat, kuharap kau masih mengingatku sebagai Ibumu," ucapnya. Dan bersamaan dengan itu, kulihat lelaki paruh bayah yang tadi masuk menemui kami sembari memegang seikat bunga. Lelaki paruh baya yang kukira ia pasti adalah ayahku.

"Seseorang menitipkan ini padamu. Katanya, bunga ini untukmu." Ia kemudian menaruh bunga tersebut di atas nakas, tak lupa memberikan secarik kertas putih padaku.

Aku akhirnya mengambil kertas itu lalu membukanya:

"Tidak semua tanya harus menuai jawab. Terkadang mereka hanya sebagai peyakinan atas apa yang sejatinya telah kauketahui. Terkadang mereka hanya muncul begitu saja, dan aku tak punya penjelasan lebih untuk ini. Takkan ada yang memercayaimu tentang ini. Namun aku ada untukmu, sebagai pengingat, ini bukanlah mimpi semata."

*****

Ketika hari itu menyimpulkan jari. Senyuman manis yang tak kuketahui berasal dari mana. Dekapan angin yang terus bergulir membuatku tahu. Bahwa siapapun dia, aku tak 'kan pernah mengetahui asal-usulnya. Sampai suatu saat....

     Ya, aku kembali ke pusat kota di ujung pulau besar itu. Berjarak ratusan mil dari pulau kecil ini. membuatku berkelana sendiri di atas derasnya ombak yang berlalu-lalang. Aku terkesiap melihat deretan gedung pencakar langit yang masih kokoh berdiri, di kota nan amat sepi. Meski masih ada ribuan penghuni yang kerapkali tumpah ruah di jalanan besar.

     Aku kemudian bergidik. Mengapa tiang-tiang penyangga itu dibiarkan tak berpenghuni? Lantas kutanya pada seseorang yang menjual benda-benda kuno di suatu pasar sudut kota. Beliau pun mengutarakan jika mereka tak ingin hidup layaknya nenek moyang dahulu. Mereka masih trauma akan "kejatuhan" yang mematikan. Manusia-manusia bumi hampir mendekati kepunahan, kala itu.

     Sesampainya aku di perpustakaan kota. Tampak puluhan kaca berdiri kokoh layaknya patung seorang cendikiawan yang terpatri di tengah ruangan. Aku sama sekali tak mengetahui fungsi dari kaca-kaca itu. Konon, ketika ayahku pernah mengunjungi kota. Kaca-kaca itu masih berfungsi demikian rupa. Lalu, aku pun penasaran. Apa gadis yang kita temui pernah memakai piranti yang sama?

Memang sangat misterius, hingga kami memanggilnya "Nona". Aku belum pernah menjumpai paras lugu dan semerbak feromon tubuhnya. Belum pernah aku merasa, atau aku yang sedang gundah gulana mencintai dia? Nona yang misterius dan aku pun masih sungkan 'tuk berbicara lebih dalam.

      Kurasa, dia menganggapku sebagai angin lalu. Tetapi perasaanku lebih daripada itu. Aku benar-benar tulus ingin membantu, namun aku tak siap 'tuk berbuat. Aku tak sekadar membuka wajah datar ketika kami menyibukkan hari-hari seperti biasa.

     Ah, aku tak menyadari bahwa pustakawan sedang tertidur pulas. Pustakawan humanoid menggerakkan telinga. Pertanda ada seseorang yang ingin menjumpai dirinya. Aku memelankan suara.

"Permisi, Tuan Hartono. Apa anda mengenali saya? Sekitar dua tahun lalu saya datang di sini bersama dengan ayah saya. Saya datang ke mari untuk mencari tahu tentang kehidupan masyarakat sebelum semua terjadi seperti sekarang," ujarku penuh kejelasan.

Kemudian matanya membuka lebar-lebar. Ia hanya menatapku lama lalu berjalan menuju lorong utama ke tempat rak-rak buku yang telah usang ribuan tahun.

"Apa ini buku yang anda cari Sugeng?" tanya Tuan Hartono selidik.

"Hmm, iya. Benar sekali, Tuan," pekikku gembira, "terima kasih banyak."

     Lantas kususuri ruangan lain yang tak bukan merupakan sudut baca yang tiap hari selalu dikunjungi ratusan penduduk kota. Meski terbilang sepi di kala senja, namun akan kembali ramai di malam hari. Mengingat waktu sekolah di sini dimulai pada saat matahari terbenam.
     Buku yang termakan usia ini sangat diperhatikan kondisinya oleh Tuan Hartono. Lembar demi lembar, gambar demi gambar yang terpampang, bukanlah tak lebih dari sekadar informasi berjangka ribuan tahun silam. Aku berdesir mengulang-ulang bacaan. Ah, seandainya aku mengetahui awal tempo. Kala gadis itu terkapar lemas di tepi pantai.

     Sekarang, yang kurasakan sangat berbeda. Aku merasa benar-benar tak membantu dia. Aku merasa campur aduk, aku merasa tak layak seperti pahlawan-pahlawan "kejatuhan". Aku merasa sudah tak punya harapan untuk membantu atau berusaha membawa dia ke tempat asal. Sungguh, teramat mustahil.

     Aku menutup buku itu rapat-rapat. Informasi demi informasi tentang kehidupan maju ribuan tahun silam begitu menggangguku. Aku tak bisa berpikir jernih, hanya rasa sungkan dan iri yang tertanam di lobusku. Aku memang senang dengan ilmu. Tapi tak sedikit menyenangkan, bila sesuatu yang telah membuaimu. Kemudian membuka kebenaran yang pahit.

"Harus kuberitahu ke Nona. Kalau dia memang bukan berasal dari masa ini. Aku harus segera menghampiri dia. Aku tahu, selama ini yang kuperbuat salah. Aku hanya sibuk mencari ikan, berburu, bercocok tanam. Tanpa menyelidiki perkembangan dunia luar. Ya, seperti di kota ini. Yang aku ketahui hanyalah kesuraman peradaban lampau. Memalukan!"

     Seusai aku melakukan penelusuran di kota. Aku lantas menuju perahuku di dermaga kota. Aku memiliki firasat buruk bahwa keadaan yang luar biasa akan segera menghujani kepulauan ini. aku tak tahu, tetapi aku meyakinkan indraku.

"Sugeng, jangan menuju ke kota ini untuk sementara waktu. Ada pasukan koloni dari bawah tanah yang hendak menjarah kota beberapa jam lagi. Ayo, cepat pergilah!" teriak salah seorang tengkulak yang sering mendistribusikan hasil bumiku.

*****
Aku pun berjumpa dengan dia. Nona yang menungguku selama hampir dua hari. Di batas massa lautan yang membiru. Aku hanya berteriak, berteriak, lalu menggerutu. Aku tak dapat mengontrol perasaanku. Aku....

Terlambat sudah. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Debu radioaktif mulai dikobarkan oleh pasukan durjana itu!

Pandora: Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang