IiL - 14

1.8K 181 13
                                    

Regan menghela napasnya kasar saat dilihatnya Kana yang malah tertidur pulas bahkan sampai terdengar suara dengkuran. Lelaki itu melepas sabuk pengamannya dan menengok kembali ke arah Kana, berniat ingin membangunkan gadis itu.

Tangan Regan terangkat untuk menepuk tangan Kana agar dia terbangun.

"Hei. Bangun!"

Tidak ada sautan dan balasan apapun dari Kana. Tampaknya gadis itu sangat tertidur nyenyak sampai sulit dibangunkan. Atau bisa jadi memang dasarnya Kana saja yang kebo.

Regan yang mendapat penolakan bangun dari Kana berdecak sebal. Laki-laki itu membuka pintu mobilnya dan berjalan menuju pintu mobil di sebelahnya.

Dokter tampan itu mencoba membangunkan Kana dengan mencubit pipi gadis itu, memukul pelan pipi Kana, bahkan Regan mencoba menyubit hidung Kana. Dan gadis itu ... tetap tidak bangun juga.

"Ini mah emang dianya aja yang kebo. Tidur udah kayak orang mati aja!" Sebal Regan dan menggaruk belakang kepalanya dengan pandangan mata menatap ke arah pintu rumah sakit NH, berniat mencari bantuan.

Karna tidak ada jalan lain dan seseorang tidak ada yang muncul atau lewat di depan matanya, mungkin karna jam yang memang sudah hampir tengah malam. Akhirnya Regan memutuskan menggendong Kana.

"Nyusahin aja nih cewek," dumelnya sambil menggendong Kana, membawa gadis itu ke ruangan istirahat tempat yang sering mereka pakai tidur.

Saat dia masuk ke dalam ruangan istirahat, Regan langsung terdiam saat melihat Reyna dan Daffin yang sedang saling tatap. Reyna dengan mata melototnya dan Daffin dengan tatapan biasanya.

Reyna yang melihat Kana digendong oleh Regan dengan otomatis langsung mendekat dan menatap Dokter jangkung itu dengan sedikit mendangak.

"Kana kenapa?" tanya Reyna yang tentu saja panik.

"Molor," jawab Regan singkat dan terdengar sebal. Laki-laki itu berjalan mendekati ranjang bawah dan membanting tubuh Kana di atasnya, tapi kerennya Kana tidak terbangun ataupun berteriak marah-marah seperti biasanya. Bahkan Reyna dan Daffin yang melihat Kana dibanting saja sampai meringis.

Regan menghela napasnya lega dan merenggangkan badannya, laki-laki itu lantas langsung berjalan menuju tempat ganti untuk mengganti pakaian dan membersihkan badannya.

Meskipun Kana terlhat sangat kurus tapi siapa sangka jika gadis itu memiliki berat badan yang bisa membuat tubuh bugar Regan merasa pegal-pegal. Lagi-lagi Regan menghela napasnya kasar.

"Dasar babon!" decihnya saat mengingat bagaimana beratnya Kana.

Setelah berganti pakaian dan membersihkan badannya Regan keluar dari ruangan ganti, laki-laki berjalan menuju keluar ruangan dan menuju ke UGD. malam ini rasanya Regan memang sedang tidak mengantuk dan dirinya akan menemani Daffin untuk jaga malam bersama dengan beberapa perawat dan dokter lainnya.

Dilihatnya Daffin sedang memndangi laptop milik rumah sakit dengan sebelah tangan yang menompang di meja dan sebelahnya lagi menggaruk kepalanya.

"Kenapa lo?" tanya Regan dan berdiri di samping Daffin dengan tangan yang berpura-pura mengambil kertas yang ada di atas meja perawat.

Daffin menghela napasnya yang membuat Regan tentu saja langsung menoleh. "Gue bingung," ujar Daffin tiba-tiba.

"Bingung soal?" tanya Regan lagi.

Daffin langsung menatap Regan. "Lo pernah dapet pasien dengan sakit jantung koroner?" tanyanya dan Regan langsung menganggukkan kepalanya.

"Gue pernah. Sering sih waktu masih di rumah sakit yang lama," jawab Regan masih santai.

Mendengar itu Daffin langsung mengubah posisi badannya menjadi menghadap Regan sepenuhnya yang membuat sepupu jangkungnya itu mengerutkan keningnya bingung dengan sikap Daffin.

"Jangan-jangan gue punya penyakit jantung koroner, Gan."

Regan yang mendengar pernyataan aneh dari sang sepupu hanya diam menatap Daffin denga ekspresii datarnya.

"Masa kan gue cek di google gejala penyakit jantung yang keluar malah penyakit arteri korner. Mana gejalanya sama lagi ... ahhh ini ngebuat gue makin takut dan dag-dig-dug," jelas Daffin heboh sendiri.

"Emang gejalanya apa?" tanya Regan masih dengan sikap yang tenang dan biasa saja.

Sebelum menjelaskan Daffin menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan. "Pertama, Rasa lemas. Kedua, Mual. Ketiga, berkeringat dingin. Keempat, nyeri pada lengan atau pudak. Kelima, napas pendek. Itu kata google," jelasnya dengan kedua tangan yang memegang dadanya yang terasa bergetar cepat.

"Lo kalau merasakan gejala itu pas kapan aja?" tanya Regan lagi yang menjadi lebih serius. Meskipun Daffin adalah sepupunya yang paling nyebelin, tapi Regan juga tidak akan tinggal diam jika sepupunya itu mati mendadak gegera serangan jantung.

"Hemmm ... kapan ya." Daffin berpikir kemudian kemali menatap Regan. "Anehnya gejala itu terjadi kalau gue pas lagi deket sama Reyna. Aneh kan."

Regan yang mendengar itu langsung berdecak sebal, sepupunya ini mengapa sikap lebaynya masih saja dipelihara?

"Mau tau lo sebenarnya sakit apa?" tanya Regan yang sebal dengan Daffin.

Daffin tentu saja langsung mngangguk dengan semangat. "Mau-mau ... emang gue sakit apa? itu jantung koroner kan?" tanyanya dengan tatapan tidak bersalahnya.

"Sakit jiwa! Udahlah seharusnya gue gak nanya ke elo tadi," ujar Regan sebal dan ingin berlalu pergi. Tapi Daffin langsung menahan tangan sepupunya itu yang membuat Regan menghela napasnya malas. "Apa lagi?!" tanyanya dengan nada ngegas.

"Kok lo bisa mendiagnosa gue sakit jiwa? Kan gejala orang sakit jiwa tuh suka ketawa sendiri dan suka ngomog sendiri, terus suka halu berlebihan dan gak jelas." Daffin menatap Regan, meminta penelasan kenapa Dokter bedah sepupunya itu bisa mendiagnosa dirinya sakit jiwa? Padahal menurut Daffin sendiri diriya normal-normal saja.

"Mau tau kenapa?" tanya Regan dan Daffin mengangguk dengan wajah sok garanggnya, dia tidak terima jika dirinya menginap gangguan kejiwaan. "Yang pertama, rasa lema ... lo pasti kalau deket atau ngeliat Reyna lemas kan?" tanya Regan dan Daffin mengangguk. "Kedua, mual ... lo itu type orang yang kalau telat makan pasti mual. Ketiga, berkeringat dingin ... jangankan deket Reyna, dideketin Ayah gue aja lo udah tegang."

Daffin yang mendengar itu mengangguk dengan tatapan seakan sedang menerawang. "Bener juga sih. Lagian Ayah lo nyeremin," ujarnya yang membuat Regan meringis kasar.

"Keempat, nyeri lengan atau pundak ... lo itu jarang olahraga makannya badan lo sering cepet pegelnya. Dan yang terakhir, napas pendek ... lo kalau udah bucin gampang lebay. Sampai sini jelas?" tanya Regan penuh penekanan.

"Terus letak gangguan keiwaan gue dimana?" tanya Daffin sok polos yang membuat Regan gemas sebal sendiri.

"Seperti yang lo bilang, orang dengan gangguan kejiwaan itu suka berbicara sendiri, suka ketawa sendiri, dan suka halu berlebihan." Regan menatap tajam Daffin. "Lo!" Jari telunjuk Regan mengarah ke arah sepupunya. "Kalau abis ketemu Reyna suka ketawa dan senyam-senyum sendiri. Terus kalau lagi bengong lo suka ngomong sendiri dan berlaga seperti sedang gendong bayi."

"Emang iya apa? Gue gak gitu ya!" Daffin menolak tuduhan yang diberikan oleh Regan padanya.

"Giyi gik giti yi," ejeng Regan berminyi-minyi. "Nih yang parah dari dampak kebucinan lo ... lo sering menghalu kalau lo udah nikah dan punya anak. Seperti kata gue tadi, lo kadang berlagak sedang gendong anak," cibir Regan geli sendiri mengingat kegilaan dari sikap bucin sepupunya itu.

Daffin yang mendengar semua itu meringis, dirinya baru sadar jika dia emiliki sikap yang seperti itu.

"Jadi gue ...." Daffin menunjuk dirinya dengan tangannya.

"Lo! Orang bucin yang mengidap penyakit sintingg gila miring!" ucap Regan penuh emosi dan langsung berjalan meninggalkan Daffin yang hanya diam sambil memegang dadanya sendiri.

"Why? Bucin itu indah kok," ujarnya dengan tersenyum semangatnya.




♦️➖➖➖♦️

Selamat malam minggu. Adakah yang menanti cerita ini update?

Yuk berikan apresiasi kalian untuk cerita IiL. Jangan kasih kendor.

Bubay.👋

Infirmary in Love [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang