IiL - 19

1.5K 157 8
                                    

Reyna mengernyit bingung melihat perubah sikap Kana yang tidak biasa. Sedari tadi sahabatnya itu hanya diam dan hanya mengaduk-ngaduk mangkok bakso yang dipesan mereka.

"Lo kenapa sih, Na? Ada masalah? Atau lagi gak enak badan?" Reyna mencoba mencairkan suasana.

Kana menggeleng dan menyeruput sedikit kuah bakso yang ada disendok yang dia pegang.

"Lo sejak turun dari kincir angin jadi diem mulu. Gak salah dong kalau gue khawatir," ujar Reyna lagi yang menatap Kana dengan sayang. "Cerita sama gue, Na. Ada masalah?" tanyanya lagi mencoba membujuk Kana untuk membagi permasalahan sahabatnya itu.

Kana menggeleng dan tersenyum tipis. Dia mencoba menghabiskan baksonya meskipun mood-nya sedang berantakan sekarang.

"Abis dari sini mau ke mana dulu?" tanya Reyna, melirik Kana yang kembali bengong. "Kana."

"Eh iya." Kana tersadar. "Kenapa, Rey?" tanyanya linglung, karna dia memang tidak mendengar apa yang Reyna katakan tadi.

"Tadi gue tanya. Abis dari sini mau ke mana dulu?" Reyna mengulang kembali pertanyaan.

"Langsung pulang aja deh. Gue pengen langsung tidur," jawab Kana yang dijawab dengan anggukan kepala dari Reyna.

Reyna melirik Kana yang kembali melamun. Sebenarnya Reyna sangat gatel ingin bertanya ada apa dengan sahabatnya itu. Tapi dia akan memberikan waktu terlebih dulu untuk Kana. Sepertinya sahabatnya itu butuh waktu sendiri.

Selepas makan bakso mereka segera berjalan menuju parkiran. Belum juga sampai depan gapura, Reyna melihat Daffin dan Regan yang sedang berdiri dibar permainan.

Reyna tanpa meminta saran dia main menarik tangan Kana, mengajaknya mendekati kedua Dokter jangkung itu.

Mata Reyna membesar takjub saat melihat Regan dan Daffin yang sedang beradu tembakan.

"Woah!" Reyna takjub melihat bagaimana Regan menembak dengan sasaran yang tepat. Sedangkan Daffin selalu meleset.

"Rey." Kana menarik Reyna, mencoba menyadarkan sahabatnya. Bukankah mereka akan pulang? Tapi kenapa Reyna malah mengajaknya berbelok ke sini. Mendekati Regan pula.

"Bentar, Na." Reyna tak terpengaruh. "Wihh keren banget Dokter Regan," ujarnya saat Regan dan Daffin selesai batle tembakan.

Regan tersenyum bangga, sedangkan Daffin hanya bisa mendengus sebal saat gadis yang dia sukai malah memuji sepupunya.

Mata Regan langsung teralihkan menuju Kana yang membuang muka sejak tadi dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada gadis itu.

"Mas ini hadiahnya," ucap sang pemilik permainan dengan menyodorkan sebuah boneka dolphin berwarna biru berukuran sedang. Tidak besar dan tidak kecil. Sangat pas.

Regan tersenyum dan menerimanya. "Terima kasih," ujarnya yang dibalas dengan senyuman ramah sang pemilik bar permainan.

Dokter jangkung pemilik gingsul itu berjalan mendekati Kana dan menyodorkan boneka yang ada di genggamannya. "Buat kamu."

Kana melirik boneka dolphin biru itu dengan sinis. Gadis itu tidak mengambilnya dan tidak pula meresponsnya.

Reyna mengernyit dan melirik Daffin, bertanya dengan kode dagunya dan Daffin menjawab dengan gelengan kepala. Tanda ia juga tidak tahu menahu.

"Makasih Dokter Regan." Reyna mengambil boneka dolphin yang masih Regan sodorkan untuk Kana ambil. "Kana emang suka malu-malu kalau dikasih."

"Rey!" Kana melotot. "Balikin!" perintahnya dan Reyna malah menggeleng. "Reyna!"

Infirmary in Love [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang