IiL - 1

5.5K 390 18
                                    

Ting ....

Suara denting lift terdengar menandakan jika pintu lift sudah terbuka.

Kana dan temannya Gadis berjalan keluar dari lift dengan masing-masing membawa sebuah papan ujian yang diatasnya terdapat beberapa kertas terjepit rapih.

"Gimana? Lo beneran bakal ikut Pance bulan ini kan?" tanya Gadis menatap Kana.

Kana menghela napasnya kemudian mengadikkan kedua bahunya. "Entahlah," jawabnya tampak tidak yakin.

"Kenapa sih lo gak mau banget ikut Pance? Bukannya lo pengen banget kan jadi PA? Lagian lo kan udah punya gelar master, malah lebih duluan lo lagi daripada kita-kita. Kali aja lo bisa pindah kerja ke cabang Amrik," celoteh Gadis panjang lebar yang hanya dijawab dengan anggukan malas dari sahabatnya.

Pindah ke cabang WH di Amerika? Kana sama sekali tidak niat. Dirinya tidak akan meninggalkan Mama dan Papanya, meskipun telah tiada bukan berarti Kana tidak akan pernah mengunjungi makam kedua orang tuanya. Dan jika dia pindah ke Amerika, akan dipastikan dirinya tidak bisa sesering sekarang mengunjungi makam kedua orang tuanya.

"Gue duluan, Dis. Bubay!" Kana berjalan cepat lebih dulu sambil melambaikan tangannya.

Gadis yang melihat sahabatnya itu berlalu pergi hanya bisa mendengus sebal. Pasti saja, setiap dirinya ingin memberikan motivasi untuk sang sahabat yang dikenal keras kepala.

"Heran gue, kenapa gue bisa berteman sama makhluk kayak dia," gumam Gadis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak menyangka.

Sedangkan Kana sendiri menghela napasnya lega ketika dirinya sudah berjalan sendirian menuju ke ruangan tempat para dokter beristirahat.

"Kalau gak demi dapat ilmu buat diri sendiri, gue ogah dah harus ke ruangan ini," ujarnya sebal ketika sudah berada di depan pintu yang bertuliskan. 'Rest Room Doctors.'

Menarik napasnya perlahan kemudian menghelakannya secara perlahan pula. Kana mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Demi ilmu dan seluruh rupiah buat gue," celotehnya asal.

Tangan Kana terangkat untuk menarik knop pintu dan membukanya. Keningnya mengkerut saat indra matanya tak melihat sebatang hidung seseorang di dalam sana.

"Ini nih yang bikin gue gak mood. Dokter kalau dikasih tempat istirahat enak milihnya malah tidur di luar. Parahnya ada yang tidur di kamar mayat," omelnya kepada angin dan menunjuk-nunjuk pintu seakan-akan dia sedang mengomeli pintu yang tidak bersalah.

"Balik dah gue."

Saat Kana baru saja bergerak untuk kembali menutup pintu, tiba-tiba saja terdengar suara decapan dari dalam membuat mental kayunya menjadi penasaran.

Kaki Kana semakin melangkah masuk dan menutup pintu dengan perlahan, namun tidak begitu tertutup rapat.

Tangan Kana mulai gemetaran dan keringatnya mengalir. Mungkin jika dalam buku komik-komik wajahnya akan dihiasi gambar tetesan air dan garis-garis halus untuk menambah hawa kegugupan.

Kaki Kana gemetaran tak bisa diam saat pandangan matanya menatap sesuatu yang tak seharusnya dia lihat.

Di sana, di depan sana, di atas bangsal tidur ... dia melihat dua orang dokter sedang saling berciuman panas.

Kana yang baru pertama menyaksikan hal erotis tersebut secara live, langsung panik dan segera berniat untuk keluar dari ruangan.

Tapi naasnya papan ujian yang ada digenggamnya terjatuh dan menimbulkan suara.

"Siapa itu?" Terdengar suara bass seorang laki-laki yang pasti pasangan dari dokter tadi.

"Mati gue, mati!" Batin Kana menjerit dan merutuki kesalahannya barusan.

Infirmary in Love [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang