IiL - 26

1.2K 121 3
                                    

Kana menghentikan langkahnya saat Reyna menahan tangan sahabatnya itu. Mereka saling menatap dan tidak lama Reyna mengeluarkan ponselnya dari saku kantong celananya.

"Sebentar," ujarnya kepada Kana agar menunggu.

Kana membuang muka, menatap loby rumah sakit untuk menghilangkan jenuh saat menunggu Reyna yang sibuk dengan ponselnya sendiri.

Tidak lama Reyna mematikan layar ponselnya dan memasukkan kembali ponselnya membuat Kana mengernyit bingung saat melihat ekspresi Reyna yang sudah berubah.

"Kenapa?" tanyanya. "Ada masalah?" tanya Kana lagi dan Reyna hanya menjawab dengan gelengan kepalanya.

"Gak ada kok," jawab Reyna yang belum sepenuhnya dapat dipercaya oleh Kana.

"Gue kenal lo udah lama, Rey. Gue tau ekspresi lo saat ini selalu lo gunain waktu lo lagi ada masalah," ujar Kana. "Ada apa?" tanyanya lagi dan berharap jika Reyna bisa jujur kepadanya.

Reyna hanya diam dan memperhatikan Kana membuat sahabatnya itu mendengus.

Kana mengangguk. "Oke kalau gak mau kasih tau," ujarnya merasa kecewa karna Reyna tidak biasa seperti sekarang.

Reyna yang Kana kenal itu tidak akan menyembunyikan apapun darinya. Mereka saling terbuka dan saling membantu jika ada masalah yang sangat berat dan menganggu pikiran.

Saat Kana ingin berjalan duluan meninggalkan Reyna, tangannya langsung ditahan oleh Reyna membuatnya kembali menoleh.

"Kita bicara di kantin. Gue laper," ucap Reyna dan segera menarik tangan Kana untuk menuju kantin.

🩺🩺🩺

Kana hanya diam menatap Reyna yang sedang makan siomay dengan lahap. Bakso yang dia pesan belum dia sentuh sama sekali sejak diantar ke meja mereka.

Kana lebih tertarik dengan cerita yang akan Reyna ceritakan padanya. Bukannya dia kepo, tapi dia hanya tidak bisa melihat ekspresi Reyna yang sangat menahan sesuatu saat seseorang tidak ada yang peduli dengannya.

Dan sebalnya ... dulu Reyna sering sekali begitu. Apalagi saat mereka masih duduk dibangku SMA. Saat Reyna masih berurusan dengan Daffin yang terkenal playboy cap naga seantero sekolah.

"Udah bisa cerita?" tanya Kana saat Reyna sudah minum dan menatapnya. Sahabatnya itu mengangguk.

"Bakso lo kenapa gak dimakan?" tanya Reyna meliri bakso Kana yang masih sangat utuh di hadapan mereka.

Kana menggeleng. "Gak laper," jawabnya dan Reyna hanya mengangguk.

Reyna menghela napasnya. "Gue lagi ada masalah sama Naufan," ujarnya dengan kepala yang menunduk.

"Kenapa? Tumben banget."

Reyna menggeleng. "Gue gak tau. Entah ini hanya dugaan gue atau emang benar terjadi. Sifat Naufan udah gak kayak dulu lagi." Reyna mendongak menatap sahabatnya. "Susah gue jelasin sifatnya. Tapi yang jelas ... Naufan udah gak kayak dulu. Waktu awal-awal kita menjalin hubungan."

Kana mengernyit. "Tapi ... bukannya lo sama dia udah tunangan? Kan bentar lagi mau nikah."

"Apa ini yang kata orang permasalahan sebelum menikah?" tanya Reyna yang langsung Kana jawab dengan gelengan kepalanya.

"Gue gak tau. Tapi bisa jadi," jawab Kana. "Kalau menurut gue ... jalani aja dulu, mungkin Naufan lagi merasa capek. Soalnya lo kan tau tiap hari ada aja pasien yang datang ke NH dan yang nganter Naufan."

Reyna mengangguk. "Iya. Gue mencoba memahi sifat Naufan dan berusaha menahannya." Dia menatap Kana lagi. "Semoga gue bisa."

Tangan Kana terangkat untuk memegang tangan Reyna yang ada di atas meja. Dia tersenyum dan mengangguk mencoba untuk memberikan semangat untuk sahabatnya.

Infirmary in Love [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang