7. Pembentang

40 13 0
                                    

Matahari sudah agak menurun, tapi panasnya masih sangat terasa. Cuaca yang panas tidak membuat para pasukan paskibra berhenti berlatih. Di tengah lapangan, mereka tengah melakukan jalan di tempat, sudah sekitar lima menit yang lalu. Teriakan para PPI memenuhi lapangan ketika ada anggota yang salah gerakan. Bagi siapapun yang mendengarnya, mungkin akan merasa takut dengan suara mereka.

Begitu pun dengan Luna, gadis mungil itu tengah memerhatikan kegiatan mereka sejak lima menit lalu. Ya, saat mereka pertama kali melakukan jalan di tempat. Selama itu pula Luna beberapa kali meringis. Saat ada anggota yang mengangkat kaki terlalu tinggi atau rendah, seruan nyaring terdengar.

Luna kembali meringis, saat mengingat kalau sekarang sudah masuk menit kesepuluh mereka melakukan jalan di tempat. Luna tidak bisa membayangkan betapa pegalnya kaki mereka.

Dua puluh menit kemudian, komando bubar jalan terdengar. Para anggota paskibra mulai bubar barisan. Semuanya menuju pinggir lapangan. Meneduh sambil minum untuk mengisi ion.

Ada satu anggota yang melipir menghampiri gadis mungil tadi. Dia langsung duduk selonjor di samping Luna. Tangan Luna langsung bergerak menyodorkan satu kotak susu pisang ke hadapannya yang dengan senang hati dia terima.

"Lo udah nunggu dari tadi?" tanya Fikri saat sudah berhasil menghabiskan satu kotak susu pisang tadi. Tangannya kembali terulur, meminta satu kotak lagi.

Ya, anggota paskibra yang menghampiri Luna itu Fikri.

"Untung aku beli dua." Luna kembali menyodorkan minuman kesukaan lelaki itu. "Lumayan, dari pas awal kalian ngelakuin jalan di tempat."

"Fik," panggil Luna yang membuat Fikri menoleh ke arahnya. "Coba jauhan dikit duduknya."

Fikri memincingkan matanya. Sedotan yang tengah berada di mulutnya ia lepaskan. "Dih, lo nggak mau deketan sama gue? Pasti karena gue keringetan, ya?" tuduh Fikri.

Luna menggeleng. "Berburuk sangka itu nggak baik, Fik. Udah sana jauhan dulu duduknya."

Meski sedikit tersinggung, tapi Fikri tetap mengikuti perkataan Luna. Dia menggeser duduknya sedikit menjauh dari Luna.

"Jauhan lagi, Fik."

Fikri melotot, apa-apaan? Luna memang ingin berjauhan dengannya?

Kali ini dia benar-benar tersinggung. Makanya dia memberi jarak yang sangat jauh. "Nih, udah jauh, banget malah."

Luna terkekeh. "Dibilang jangan berburuk sangka, malah ngeyel."

Merasa jaraknya terlalu jauh, Luna menggeser duduknya agar lebih mudah untuk melakukan tujuannya.

Setelah dirasa pas, Luna meraih kaki Fikri, menaruhnya di atas paha gadis itu. Kemudian tangannya bergerak memijat kaki Fikri.

Melihat kegiatan Luna, Fikri membulatkan matanya. "Lun," cicitnya. Sungguh, dia merasa malu karena telah berpikir buruk tentang Luna. Fikri hendak menarik kakinya. Namun Luna menahannya.

"Udah nggak papa. Aku yakin kamu pasti pegel. Aku aja yang jalan di tempat lima menit udah nggak kuat, apalagi kamu yang sampai puluhan menit."

Akhirnya Fikri pasrah. Dia membiarkan Luna memijat kakinya. Kalau boleh jujur, pijatan Luna sangat enak. Dia rasa semua urat di kakinya kembali rileks.

"Gimana, kakinya udah agak enakan belum?"

Fikri mengangguk. "Enak banget, Lun. Makasih, ya."

Luna hanya membalasnya dengan anggukan.

"Oh iya, Lun. Lo tau nggak posisi gue sekarang jadi apa?" tanya Fikri dengan mata menatap lurus ke arah Luna yang masih memijat kakinya.

Luna menggeleng tanpa menoleh ke arah Fikri. "Gue jadi pasukan inti, Lun!" seru Fikri dengan begitu semangat.

AZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang