-Rain POV-
Entah sudah sampai mana otak dan tubuh ini larut dalam pekerjaan, hingga aku dibuat terkejut dengan kehadiran sosok ibu yang sudah berdiri dengan raut wajah khawatirnya di ambang pintu ruang kerjaku.
"Rain ?"
Aku segera bangkit dari tempat dudukku, dan berjalan dengan sedikit tergesa kearah ibu.
"Loh.. Ibu kok belum tidur ?" Tanyaku khawatir.
"Tadi ibu cuma mau ambil air putih, karena yang dikamar habis. Eh pas mau turun tangga lihat pintu ruang kerja kamu terbuka sedikit dan sorot lampunya masih terlihat sampai depan pintu." Kata ibuku dengan tangan halusnya yang mengelus lembut pipi kiriku.
Kutuntun ibu melewati pintu yang memang menyambungkan antara ruang kerja dan kamarku.
"Ini udah dini hari bu. Harusnya ibu istirahat. Kok malah nyamperin Rain ?"
Ibu hanya tersenyum simpul tanpa menjawab pertanyaanku.
Kami duduk di kasur king size milikku dengan posisiku yang memeluk ibu seraya bersandar di sandaran tempat tidur.
"Ibu mau disini sampai anak kesayangan ibu ini tidur. Boleh kan ?" Tanya beliau.
"Bukannya anak kesayangan ibu si Ochan ?" Tanyaku jail.
"Dia anak mami, bukan anak ibu."
Jawaban ibu membuat kami sedikit tertawa bersama.
Lalu dengan sedikit tarikan napas, aku berkata.
"Rain kangen bu. Kangen tidur di pangkuan ibu."
Aku menyandarkan kepalaku di pangkuan beliau. Pangkuan seseorang yang sangat aku cintai. Satu - satunya wanita terhebat yang aku miliki seumur hidupku. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya, sampai kapanpun.
Ibu mengelus kepalaku hingga mata ini mulai berat dan akan menutup. Tetapi seketika, mata ini kembali terbuka lebar setelah mendengar pertanyaan dari ibu yang hampir tidak pernah ku pikirkan sebelumnya.
Setelah sekian lama, aku tidak menyangka bahwa pertanyaan itu akhirnya terlontar dari ibuku malam ini.
"Apa kamu gak ada keinginan untuk membuka hati kamu lagi nak ?" Tanya ibu dengan tangannya yang masih membelai lembut rambutku.
Entah aku yang memang tidak mau menjawab, atau aku yang memang ingin lari dari pertanyaan itu.
Aku tetap mencoba untuk memejamkan mataku, dan berpura - pura tidak mendengar apa yang ibu tanyakan. Dan berharap ibu mengerti dengan apa yang aku lakukan."Ibu dan ayah tidak ingin melihat anak perempuan kami menjadi pencandu kerja, hingga lupa dengan kodratnya sebagai seorang wanita utuh."
Aku masih setia memanjamkan mataku. Dan aku mendengar ibu menghela napas yang cukup panjang.
"Ibu dan ayah tidak pernah menuntut apapun. Kami sangat mengerti bagaimana perasaan anak perempuan kami saat ini. Tapi kamu harus tahu nak, bahwa yang bisa menyembuhkan hati kamu itu, ya cuma kamu sendiri." Aku bisa mendengar suara ibu mulai sedikit bergetar.
"Sudah ya nak. Sudah cukup berlarinya. Ibu tahu hati kamu lelah dan butuh istirahat. Tapi cara ini justru terlihat seperti kamu sedang menghakimi diri kamu sendiri."
Mataku mulai memanas mendengar perkataan demi perkataan yang terlontar dari bibir ibu yang tulus terdengar dari dalam hatinya yang lembut.
Mataku terbuka dan tubuhku bangun dari posisi nyaman sebelumnya.Aku menatap lekat wajah ibuku. Dan menghela napas panjang.
"Ibu mau aku cepat menikah ?" Tanyaku dengan gamblang dan mata yang memerah.
Ibu tersenyum dan seraya berkata.
"Bohong, jika ibu tidak menginginkan kamu untuk cepat menikah. Bohong juga, jika ibu tidak ingin segera menginginkan seorang cucu dari anak pertama ibu, yang begitu ibu cintai dan banggakan. Tapi ibu sadar, ayah juga mengerti bahwa yang memiliki kehidupan itu kamu nak. Kamu berhak memutuskan apapun dalam hidup kamu. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendukungmu. Seraya meminta kepada Tuhan agar semua hal baik untuk kehidupanmu, Rain."
Ibu memang tidak menangis, tapi aku tahu bahwa jiwanya begitu sesak melihat anak perempuannya yang terpuruk. Seperti mayat yang hidup dan hanya mengerti bagaimana dunia memojokkannya saat ini.
Ya Tuhan.. Anak macam apa aku ini sehingga membiarkan orang yang begitu mencintai dan menyayangiku ikut merasakan kekalutan yang aku rasakan. Sungguh aku tidak tega melihat kesedihan di wajahnya yang mulai mengeriput ini.
"I will try bu.." Kata itu akhirnya terlontar dari mulutku yang sedari tadi kaku.
"Rain.. Jangan melakukan hal secara terpaksa, karena alasan tidak ingin melihat ayah dan ibu sedih. Lakukan ini untuk diri kamu sendiri. You need healing yourself my dear."
Senyum itu akhirnya mengembang di wajah ibu.
Aku tak kuasa menahan tangisku yang akhirnya pecah di pelukan ibuku malam ini.Beberapa hari kedepan aku akan melakukan perjalanan kerja untuk cek lokasi kantor baru yang akan aku bangun. Ya bangunan untuk mendirikan perusahaan penerbitku sendiri.
Dan aku sudah menjatuhkan pilihanku, Yogyakarta. Kota indah itu sudah membuatku jatuh hati sejak pertama kali aku menginjakan kaki disana.
Aku memang sudah mengajukan resign. Tetapi bulan depan sebelum resmi keluar dari perusahaan yang berhasil membuatku seperti saat ini, aku harus mengerjakan deadline dari beberapa naskah yang akan di terbitkan oleh penerbit kami.
Tanggung jawab yang sudah kupikul selama bekerja di perushaan penerbit ini tidak pernah luntur sedikitpun dari pikiranku. 10 tahun sudah aku mengabdikan diriku untuk tulisan - tulisan indah karya para pengarang yang cukup berperan penting dalam membentuk diriku yang sekarang.
Yogyakarta..
Bisakah aku membenahi hatiku disana ??Okayy...
Sudah sampe bab ketiga gengs🤭
Udah mulai tahu lebih dalam tentang kehidupan Rain kah ?
Di bab keempat nanti bakalan masuk lebih dalam kehidupan Rain. Dan menceritakan kejadian naas yang terjadi 2 tahun silam.So, don't forget click the stars and comment bellow..
Thankyou☺️With love,
_Kurnia Dee_
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain for Rain (On Hold)
ChickLitRainita Sarasputri Purnawan. Wanita yang memiliki karir gemilang. Tetapi kehidupan cintanya justru berbanding terbalik. Gagal menikah, membuat Rain memutuskan untuk tidak ingin lagi mengerti soal cinta. Namun, Rain akhirnya di pertemukan dengan soso...