Rain.. Nendra

23 5 12
                                    

-Rain pov-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Rain pov-

Setelah seharian aku melihat beberapa lokasi untuk bangunan yang aku ingin beli, aku memutuskan untuk pergi ke salah satu pantai yang ada di ujung kota Jogja. 

Beralaskan pasir pantai, kududukan diri menghadap kearah laut yang begitu terbentang luas di hadapanku. Entah memang aku ingin melihat sunset, atau hanya ingin mengalihakan pikiranku dari bayang - bayang Dimas.

Kondisiku begitu menyedihkan. Aku duduk sendirian di tepian pantai ketika banyak pasangan atau keluarga kecil yang menghabiskan waktu bersama seraya menunggu datangnya sang senja.

"Sial! Ini malam minggu ya ?" Gumamku.

Entahlah. Nyatanya aku pun tidak peduli dengan pandangan orang - orang terhadapku saat ini.

"Huufft.." Aku menghela nafas sebal.

Setelah apa yang terjadi padaku 2 tahun terakhir, aku benar - benar menganggap semua hari yang aku lewati adalah sama adanya.

Bekerja, berpikir, deadline, dan... Spending time for my self.

I love my job. I Do!

Itulah kenapa aku merasa asyik dengan kesendirianku.

Ketika wanita seusiaku sudah harus memikirkan kebutuhan bulanan untuk keluarga kecil mereka, atau masakan apa yang akan mereka sajikan untuk suami dan sang buah hati. Aku masih stuck disini, berdiri sendiri dengan hasil jeripayahku.

Menjadi wanita mandiri tanpa harus bergantung pada laki - laki. Tidak ada batasan dan tentu saja bebas melakukan apapun yang aku inginkan, adalah hal terbaik yang bisa aku dapatkan saat ini.

Tiba - tiba lamunanku seketika berhenti ketika seseorang berbicara tepat di sebelahku.

"Senja memang tetap indah mesti hati yang melihatnya sedang tidak baik - baik saja."

Entah dia sedang berbicara dengan siapa, aku tidak mau tahu dan tidak ingin menggubrisnya. Hingga akhirnya dia kembali berbicara.

"Kalimatku tidak membuat kamu tertarik ya ? Gadis baju polo."

Jelas itu untukku. Dalam radius beberapa meter dari tempatnya berdiri hanya aku satu - satu orang yang ada di sekitarnya.

"Saya sudah tua. Bukan gadis yang seperti kamu katakan barusan."

Aku coba membalas kalimatnya dengan tatapan lurus kearah deburan ombak. Berharap agar dia segera pergi. Karena jika dalam hitungan menit dia tetap stay di tempatnya berdiri saat ini, sudah pasti aku yang akan pergi dari sini tanpa perlu menunggu senja datang.

"Saya cuma lihat wajah kamu dari samping. Dan nyatanya kamu memang terlihat masih seusia belia. Maaf jika saya salah."

Tanpa sadar mataku justru tertarik untuk mendongak menatapnya.
Obsidian kami bertemu. Laki - laki di hadapanku saat ini menunjukan senyuman dengan eye smile dan juga lesung pipi yang begitu indah di pandang.

Tubuhnya menjulang tinggi, tidak berbeda jauh dari Dimas. Mata coklat, alis tebal, manik mata yang tidak begitu hitam, tidak lentik namun sangat nyaman untuk ditatap dengan lekat. Rahang itu begitu indah terpahat diwajahnya. Dengan kulit yang tidak terlalu putih, membuat kesan maskulin dan manis menjadi satu kesatuan.

Setidaknya itu adalah sekilas yang aku tangkap dari sosok laki - laki ini. Hingga akhirnya pandanganku bergetar ketika dia duduk di pasir beralaskan sandal jepit yang dia gunakan. Ya, dia duduk tepat di sebelahku.

"Ngapain ?" Tanyaku yang terkejut dengan apa yang dia lakukan.

"Emang ada larangan dilarang duduk disini ?" Tanyanya seraya menatapku aneh.

"Tapi kamu gak minta ijin ke saya. Kamu bahkan gak menanyakan saya sendirian atau tidak. Kalau saya sedang menunggu seseorang bagaimana ? Apa itu bisa dibilang sopan ?" Cecarku lagi.

"Baiklah, kalau begitu mari kita ulas. Kalau yang kamu tunggu perempuan, rasanya tidak mungkin kalian janjian hanya untuk melihat sunset ketika malam minggu. Dan kalau laki - laki, aku justru akan memakinya karena tega membiarkan wanita secantik kamu, menunggu dengan wajah sendu seperti itu selama lebih dari satu jam."

"Kamu nguntit saya ?" Cecarku.

"Jadi mau lanjutin pembicaraan kita atau gimana ? Karena saya gak mau jawab pertanyaan dari orang yang tidak saya kenal." Jawabnya dengan senyum menyebalkan.

Sebelah alisku terangkat mendengar apa yang dikatakannya barusan.

"Maksud kamu ?"

Wajah itu kembali melihat kearahku setelah sesaat lalu melihat kearah deburan ombak.

"Can I know your name first, miss...?"

Telapak tangannya terulur kearahku. Dan dari pertanyaannya barusan serta logat yang dia gunakan, aku tahu bahwa dia bukan orang sembarangan.

Kusambut uluran tangannya.
"Rain." Jawabku singkat.

Ekspresinya seketika berubah. Dia tidak menyebutkan namanya, tapi dia hanya menaikan satu alis dan seperti menahan tawanya.

"Kenapa ekspresi wajah kamu begitu ? Gak ada yang lucu." Tanyaku seraya menarik uluran tanganku, yang justru di tahan olehnya.

"Emm khusus untuk kamu, panggil aja saya Nendra." Jawabnya.

Aku kembali mengernyitka dahiku dengan tatapan aneh.

"Nanti aja kalau mau tanya lagi. Senjanya sudah siap meninggalkan hari ini."

Dia kembali tersenyum setelah melepaskan jabatan tangan kami. Matanya mengarah jauh ke senja yang perlahan menghilang. Aku pun hanya mengikuti arah pandangnya, kearah sang senja.

Setelah  senja menghilang, laki - laki ini akhirnya membuka kembali pembicaraan dengan suara baritonnya.

"Namaku, Rain. Rainendra Abhiyoda Permana."

Dan mata kami kembali bertemu.
Namun kali ini berbeda.. 

Hello, Rain...















Hai hai guys..

Akhirnya bisa ngelanjutin lagi cerita ini setelah sekian purnama..
Maaf ya, soalnya tortor lagi banyak kerjaan dan intrik dalam real life.. Hahaha

Kalian sehat terus yaahh.. Keep healthy ya guys..
Doain supaya aku bisa terus lanjutin nulis di sela - sela kerjaan yang gak ada off nya..

Jangan lupa LIKE, KOMEN DAN SHARE nya yahh..

Love yaaaa <3

Rain for Rain (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang