Arkan menyeringai tipis, menatap dingin pada seseorang yang telah babak belur di bawahnya.
"Bangsat." Raut wajahnya mungkin tidak terlihat jelas, tapi kekuatan yang tersisa membantunya bangkit dengan menopangkan kedua tangannya di atas aspal. Di antara bisingnya pertempuran yang terjadi, ringisan itu begitu menyakitkan di telinganya sendiri. Davin hanya bisa bersyukur dalam hati karena Arkan belum mengangkat katananya dan menebas lehernya begitu saja.
Tapi tiba-tiba cowok itu berjongkok, lalu menjenggut rambutnya ke belakang. "Dimana Mario?" Tanyanya dingin.
"Gu-gue gak tau dimana Rio." Jawabnya dengan susah payah. Davin bernapas lega ketika Arkan melepaskannya dan berjalan membelakanginya, tetapi di detik-detik dia mengira semua akan segera berakhir, Arkan berbalik dan satu tendangan keras itu melayang tanpa aba-aba.
Arkan mendengus, bukan itu jawaban yang ingin dia dengar. "Di bayar berapa lo sama si Mario?"
Davin terbatuk keras, tendangan itu mengenai ulu hatinya. Sesaat dia lupa bagaimana caranya bernapas, sesak luar biasa. Hidungnya yang nyaris hancur itu bahkan kesulitan untuk mengambil oksigen. Davin tertunduk, rasanya dia akan mati saat ini juga. Arkan terlalu mengerikan untuk dijadikan lawan bertarung.
"Dari awal harusnya lo gak usah ikut campur." Arkan melihat denyut ketakutan di leher Davin, dan tepat di sana katananya menyentuh titik nadi Davin. Hanya satu ayunan, harusnya bisa menebas leher tipis itu. Tapi teriakan yang disusul sirine mobil polisi megagalkan semuanya.
Teman-temannya tunggang langgang menyelamatkan diri. Keadaan kacau seketika, bisingnya tembakan peringatan pun bahkan sudah diluncurkan.
"Bangsat!" Para polisi itu memang selalu menghancurkan pestanya dan mengganggu kesenanganya.
Untuk yang kesekian kalinya langit malam menjadi saksi atas pelariannya. Arkan lari secepat yang ia bisa. Sesekali menoleh kebelakang, mengukur jarak yang dibuatnya dengan polisi-polisi itu. Entah sudah seberapa cepat dia berlari, para polisi itu masih belum tertinggal jauh.
Dirinya berbelok ke gang kumuh yang terletak diantara dua bangunan ruko, gelap dan pengap. Mereka tentunya cukup pintar untuk menyisir gang-gang sempit seperti ini. Bersembunyi di balik kegelapan bukan opsi yang menguntungkan untuk dirinya. Arkan harus cepat jika tidak ingin tertangkap.
Dirinya terlalu sering berurusan dengan tikus-tikus berseragam itu, maka untuk kali ini jangan. Merepotkan jika sampai Ayahnya nemukan dirinya di kantor kepolisan pagi nanti.
Napas Arkan memberat, dirinya sudah lelah berkelahi semalaman. Kemudian masih harus berlari dari kejaran polisi. Dan sekarang apa, gang ini buntu? Sialan, pagar besi ini menghalanginya kabur. Tidak ada cara lain, dia harus memanjat dan kabur sebelum polisi datang.
Tapi sengatan rasa nyeri di lengan kirinya membuatnya terjatuh. Ada sayatan di lengan jaketnya, menampakkan darah yang terus-terusan merembes.
"Njing, Siapa yang bikin kayak gini?!" Batinnya berang.
Arkan menendang pagar itu dengan kesal. Napas Arkan terengah, tenaganya sudah terkuras habis, ditambah lagi lengannya yang tidak mampu mengangkat tubuhnya untuk memanjat.
Arkan menoleh ke belakang. Polisi-polisi itu belum terlihat, seharusnya dirinya bisa kabur dari gang ini. Arkan mengedarkan pandangannya, mencari celah yang dapat membantunya kabur, tapi yang dia dapat malah siluet seseorang cewek yang tengah berjongkong sembari terisak kecil di balik remang.
Tanya yang sempat muncul dikepala Arkan akan keberadaan sosok itu ia tepis jauh-jauh. Bukan waktunya dia memikirkan orang lain, yang harus dipikirnya sekarang adalah bagaimana caranya dia kabur, sialan! Arkan kembali melihat sekelilingnya. Tidak ada celah untuknya melarikan diri selain pagar yang tingginya tiga meter itu.
Belum ingin menyerah, Arkan berjalan ke sisi kiri. Lantas menyeringai puas saat melihat baut yang memaku engsel itu sabagian sudah tanggal, tentunya ini akan mudah untuk Arkan mendobraknya. Arkan kembali menoleh kebelakang, suara para polisi yang berlarian begitu jelas, tidak ada waktu. Kakinya mengambil ancang-ancang, harusnya satu tendangan sudah cukup.
BRAK!
"kamu cari ke sebalah sana! Kamu ke sana!"
Sial. Arkan buru-buru menarik gadis itu bersamanya ke sisi tergelap di gang kumuh itu. Oh tentu saja Arkan tidak bodoh, dirinya akan tertangkap bila melarikan diri sekarang.
Arkan sudah kehabisan waktu, polisi itu sudah masuk ke gang. Maka dengan pagar yang jebol itu akan mengalihkan polisi untuk menyisir gang lebih dalam. Dan dia bisa kabur dengan jalan lain. "Lo bakal nyesel kalau berani teriak." Ancamnya pada gadis itu yang direspon dengan gelengan penuh ketakutan.
Mereka bersembunyi di samping bak sampah, setidaknya kantong-kantong besar berbau busuk ini menghalangi pandangan polisi itu. Walau dirinya sendiri tidak yakin dapat melindunginya, persembunyiannya sangat beresiko.
Arkan menahan napas, ketika dua polisi berlarian melewatinya, menerobos pagar dan hilang ditelat jarak. Pedengarannya ia pertajam untuk memastikan bahwa dua polisi itu sudah ditelan jarak. Dirasa sudah aman, Arkan bersandar pada dinding lembab di belakangnya sembari meringis. Malam ini dia kembali lolos dari satu masalah. Bukan keberuntungan, hanya saja para polisi itu memang bodoh, terlalu mudah untuk dikelabui.
Gadis di depannya itu beringsut menjauhkan diri dari Arkan. Tubuhnya bergetar hebat dengan sisa-sisa isakan lirihnya. "A,aku mau pulang."
***
Baru prolog nihh.. lanjut engga??
KAMU SEDANG MEMBACA
Berandalan
Teen FictionArkan memilih hidup di sisi gelapnya, melakukan apapun yang dia mau. Hidupnya cukup sempurna dengan tiga teman yang selalu di sisinya. Namun, saat salah satu temannya menghilang, Arkan kelimpungan. Di tengah pencariannya, Arkan bertemu Vanilla, gadi...