Chapter 11 : babak belur 2

11 0 0
                                    

"Ar, Arkan?"

Suara seseorang yang memanggil namanya begitu jelas. Anehnya, dia tidak menemukan apa-apa selain gelap. Tubuhnya terasa sangat kaku untuk digerakan, belum lagi kepalanya yang tersara berputar-putar.

Otaknya kesulitan untuk memutar kembali ingatan yang membuat dirinya kepayahan seperti ini. Tidak ada sisa-sisa memori yang dapat merangsang otaknya untuk berkerja.

Bahkan rasanya tadi dia baru saja mengalami mimpi yang aneh. Tapi di detik berikutnya mimpi itu hilang dan tidak dapat Arkan ingat sama sekali.

"Ar?"

Lagi seseorang itu memanggilnya. Arkan memaksakan matanya untuk membuka. Bersusah payah, namun yang dia lihat hanya putih. Oh bukan itu langit-langit yang berwarna putih dan lampu yang menggantung terang.

"Ar! Lo sadar? Ok bentar gue panggil dokter dulu."

Saat dirinya tengah memulihkan semua sel yang ada ditubuhnya, seseorang dengan heboh berlari keluar kamar dan memanggil-manggil dokter.

Arkan mendengus. Dia di rumah sakit bersama temannya itu. Dia kemudian bangun, memegangi kepalanya yang seperti baru dihantam puluhan ton batu. Mencabut paksa selang infus yang menancap tangan kirinya, Arkan turun dari ranjang yang entah sudah berapa lama ia tiduri.

Berjalan ke kamar mandi, dan membiarkan tetesan darah dari bekas infus itu mengotori lantai.

Arkan benci rumah sakit, seharusnya Yuda tahu itu.

Pantunlan dirinya di cermin, sepertinya sudah cukup untuk Arkan memahami apa yang terjadi padanya. Wajahnya dipenuhi luka lebam, di sudut bibirnya, di pipi kanannya dan yang paling parah adalah di sekitar matanya. Tampaknya luka lebam di matanya akan butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk hilang.

Arkan melepas satu persatu kancing baju rumah sakitnya, memastikan di mana lagi luka lebam itu berada. Tubuh bagian depannya hanya ada bekas luka memanjang dari dada kiri hingga pinggang kirinya, itu bekas luka yang  dia dapat satu tahun yang lalu. Selain itu semuanya normal, tidak ada luka maupun memar. 

Memutar tubuhnya, Arkan akhirnya mendengus mendapati penyebab punggungnya yang terasa nyeri dan  kaku sejak bangun tadi. Hanya luka memar dari benda tumpul, sepertinya seseorang memukulnya dengan sangat keras hingga menarik napas saja terasa sangat berat.

"Gue hampir manggil satpam buat nyari lo."

Pintu kamar mandi terbuka, Yuda disana dengan raut kesalnya. Mendapati Arkan yang tengah membasuh wajah dan rambutnya membuat Yuda lega. Ia mengenal Arkan, dan tentu saja tahu Arkan tidak menyukai rumah sakit. Jadi kemungkinan cowok itu kabur juga sangat besar.

Arkan menyudahi urusannya di kamar mandi, berjalan keluar lantas ia mendengus untuk kesekian kalinya.

Seorang dokter pria paruh baya dan seorang perawat wanita telah menunggunya. Ia membenci segala sesuatu yang berhungan dengan rumah sakit, dan tentu saja dokter dengan senyum ramah didepannya itu pun termasuk ke dalamnya. Menyugar rambutnya yang basah, Arkan melempar baju rumah sakit ke atas kasur. 

"Sepertinya kamu pulih lebih cepat dari prediksi saya." Ucapnya pria paruh baya itu setelah semua pemeriksaan yang membosankan itu usai. Arkan tak menanggapinya, dan dokter itupun sepertinya mengerti, dia dan perawat itu pamit tanpa basa basi lainnya.

"Lo di rumah sakit goblok." Hardik Yuda ketika Arkan dengan santainya mematik rokok setelah beberapa menit yang lalu cowok itu mendapatkan pemeriksaan. Handle pintupun rasanya masih hangat saat dokter dan perawat tadi pamit pergi.

Rokok dan Arkan, dua hal itu memang sangat sulit untuk dipisahkan. Dia juga perokok, namun tak separah Arkan. Temannya sudah secandu itu pada nikotin. 

BerandalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang