Masuk BK saja si bukan apa-apa buat Arkan, keluar masuk kantor polisi saja sudah jadi rutinitasnya. Maka, Arkan tidak takut jika harus mematahkan leher dalam cengkraman tangannya ini.
Lagi pula Arkan tidak yakin, cowok ini punya nyali untuk menuntutnya.
"Ar, kasian atuh ih anak orang." Sela Dominic yang meringis melihat sosok malang di tangan Arkan.
Juna disampingnya ikutan meringis ngeri melihat Arkan yang menguarkan aura menyeramkan. Perkara helmnya yang tidak sengaja tersenggol oleh si adek kelas itu, dia dan murid-murid di lapangan parkir ini malah menonton kemarahan Arkan.
"Ma-maaf kak, nanti ak-aku ganti."
Arkan mendengus, "lo pikir gue gak punya duit?" Ucapnya datar.
Cowok dalam cengkramannya itu menggeleng penuh ketakutan.
Arkan melirik kaca helmnya yang terbelah. Kemudian tangan kanannya mengencangkan cekikannya di leher cowok itu. "Lo kalo gak bisa gunain tu mata, gue congkel aja sekalian." Nada datar itu benar-benar menyeramkan di telinga siapapun yang mendengarnya. Apalagi di telinga cowok itu. Rasanya mereka seperti tengah mendangar suara malaikat pencabut nyawa.
Dominik dan Juna hanya bisa mematung serba salah dibelakang Arkan. Mau melerai tapi mereka juga masih sayang nyawa. Jadi, seperti yang lainnya, mereka berdua hanya bisa menonton kebringasan Arkan.
"Ma-maaf ka-"
"Maaf lo gak guna bangsat!"
Bugh!
Arkan sudah kepalang kesal hingga malayangkan helm ditangannya ke kepala cowok itu dengan keras. Orang-orang yang menyaksikan menjerit tertahan melihat cowok malang itu tersungkur dengan pelipis yang mengucurkan darah.
Arkan meludah kasar. Sialan, dia benar-benar kesal mendapati helm kesayangan cacat karena ulah bocah idiot ini. Bukan perkara ganti rugi, dia tidak semiskin itu untuk menuntut ganti rugi.
Hanya saja bocah itu perlu di didik lagi bagaimana caranya menggunakan mata dan otak dengan baik.
Arkan baru akan melayangkan lagi pukulan lainnya pada bocah itu ketika sebuah tangan mendorong dadanya. "Berenti woy! Lo apa-apaan si?! Ini sekolah." Teriaknya.
Arkan mendengus, satu lagi orang idiot di sekolah ini. "Yang bilang ini pasar siapa?" Balasnya sengit.
Cowok berpakian rapih itu menatapnya berang. Arkan membalas tatapan itu dengan tak kalah tajam. Setelah beberapa detik saling pandang, cowok itu berbalik dan membantu bocah yang menjadi korban kekasaran Arkan, untuk berdiri.
Berdecak kesal, Arkan lantas berbalik dan berjalan meninggalkan lapangan parkir. Dominik dan Juna mengikutinya di belakang masih dengan mulut terkunci.
"Lo, ikut gue." Arkan berhenti melangkah. Cowok yang berpakaian rapih dengan rambut klimis itu menghadang langkah Arkan.
"Siapa lo ngatur gue?"
"Lo gak bisa seenaknya pergi abis ngehajar anak orang sampe pingsan gitu!"
"Gue gak peduli." Desisnya sinis. Melanjutkan langkahnya, Arkan sengaja menyenggol bahu cowok itu dengan kasar.
Arkan tidak mengerti kenapa orang-orang terlalu mencampuri urusannya dan suka sakali mengatur hidupnya. Mereka juga kan punya kehidupan sendiri, kenapa tidak urus dan atur saja hidupnya dengan baik.
Arkan berdecak, moodnya benar-benar hancur pagi ini. Padahal tadi pagi dia sudah susah payah membangun samangatnya untuk bersekolah.
Keajaiban yang entah kapan datangnya, Arkan yang biasanya suka bolos kini begitu rajin ke sekolah. Meski ujungnya dia malah melipir ke kantin atau ke taman saat mata pelajaran sedang berlangsung. Ya, setidaknya dia setor muka ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berandalan
Teen FictionArkan memilih hidup di sisi gelapnya, melakukan apapun yang dia mau. Hidupnya cukup sempurna dengan tiga teman yang selalu di sisinya. Namun, saat salah satu temannya menghilang, Arkan kelimpungan. Di tengah pencariannya, Arkan bertemu Vanilla, gadi...