Chapter 2 : Kepergok

24 10 14
                                    

"Gimana sekolah baru kamu?"

"Biasa aja."

"Ayah harap kamu gak buat onar disana."

"Hmm."

Adam menghela napas, "Kamu udah kelas 12, fokus sama sekolah kamu, Arkan." Entah sudah berapa ratus kali dia berucap hal yang sama pada anak nakalnya ini. Namun ratusan kali juga ucapannya hanya dianggap angin lalu oleh Arkan.

"Hmm."

Adam milirik Arkan dibalik kacamatanya, anak sematawayangnya itu terlihat sibuk dengan ponselnya dan lagi-lagi mengabaikan dirinya. Dia tidak mengerti lagi bagaimana harus bersikap. Arkan tumbuh menjadi anak pembangkang. Didikannya yang keras justru menjadi boomerang untuknya sendiri.

Menaruh garpu dan pisau roti di kedua sisi piring dengan sedikit kasar, Adam harap anaknya itu cukup peka akan kekesalan Adam. "Abisin sarapan kamu, ayah berangkat duluan." Titah pria itu.

"Yah, kunci motor."

"Tiga hari. Kalo kamu bisa bersikap baik dalam tiga hari di sekolah baru kamu, Ayah bakal balikin kunci motornya." Ucapnya tegas sambil menatap tajam Arkan. Percayalah, hanya itu yang Adam bisa lakukan agar Arkan tetap mau mendengarkannya.

"Yahh." Arkan mengerang tertahan. Delikan matanya mengikuti sang Ayah yang berjalan menjauhinya.

Sialan, memangnya dia bocah SD apa yang masih harus diatur ini itu dan diancam dengan mainannya?

Arkan berdecak, lantas menyambar tasnya dan beranjak dari ruang makan megah itu. Selain muak pada ayahnya, dia juga muak pada rumah ini. Rumah mewah yang hanya dihuni oleh keheningan itu benar-benar membuat Arkan tidak ingin berlama-lama tinggal.

Arkan menuruni anak tangga terasnya. Di depan gerbang rumah terparkir mobil sedan yang siap membawanya ke sekolah.

"Pagi Den, mari saya antar."

Arkan mendengus, dia benar-benar seperti anak SD sekarang.

***

Sepertinya bukan rahasia umum lagi, jika pesona badboy dikalangan cewek remaja lebih menggoda dibanding cowok baik dan kalem. Buktinya ketika desas-desus si berandalan itu pindah ke sekolah ini para cewek yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi itu silih berganti menampakan diri didepan Arkan.

Entah hanya untuk berkenalan atau dengan tidak warasnya mengajaknya untuk berpacaran. Meski memiliki paras yang memang diatas rata-rata dan mampu menggaet hati wanita manapun. Tapi dia tidak sembarang memilih perempuan. Setidaknya cewek itu masuk dalam satu atau dua list kriteria wanitanya.

"Pinjem tampang lo bentar napa Ar, pengen banget gue disamperin cewek kek gitu." Arkan menaikan sebelah alisnya saat Dominik berucap melas.

Dominic dan Juna, dua orang idiot yang sejak pagi tadi mengekorinya begitu saja.

Sebenarnya Arkan malas untuk berinteraksi dengan orang baru, tapi setidaknya dengan adanya mereka dia dapat menghibur diri dari suasana hatinya yang buruk.

"Lo demen cewek emang?" Sahut Juna.

"Si tolol!"

"Apa? kok sewot? Gue kan cuma nanya."

"Eh tapi yaa, gue heran kenapa si Nadia belum nyamperin lo ya, Ar?" Dominik kembali menoleh padanya, menampilkan mimik muka bingung. Jangankan Dominik dia saja kebingungan dengan pertanyaan itu. Lagi pula diakan baru dua hari sekolah disini. Mana tahu dia cewek yang bernama Nadia itu.

"Nadia temennya si Vanilla maksud lo?" Tanya Juna lagi.

Arkan mengangkat pandangannya dari kuah baso. Telinganya tertarik dengan nama gadis yang diucapkan oleh Juna. Nama gadis yang sama dengan gadis yang dia temui di taman belakang kemarin. Dengan memasang kupingnya tajam, Arkan melanjutkan menyuap bakso ke mulutnya.

BerandalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang