Chapter 3 : Terusik

24 9 20
                                    

Vanilla melangkah cepat, tangannya kirinya memeluk paper bag yang berisi pakaian olahraganya dengan erat. Hatinya tak karuan sejak di toilet tadi. Entahlah, hanya saja seperti telah terjadi sesuatu yang buruk terjadi.

Ditambah lagi dengan suara bedebum dan suara langkah kaki yang terburu-buru di toilet tadi menambah beban pikirannya. Apalagi dia sendirian. Sebenarnya sebelumnya ada tiga teman sekelasnya juga yang berganti pakian bersama Vanilla.

Namun, karena Vanilla yang harus memelurkan waktu lebih banyak untuk berganti pakian, akhirnya dia ditinggal. Bukan apa-apa, kok. Itu sudah biasa.

Jika Nadira --teman sebangkunya tidak berhalang hadir karena sakit, dia pasti akan menunggui Vanilla seberapa lama apapun itu.

Omong-omong, ini sudah dua hari Nadira tidak sekolah. Sepertinya, demamnya belum turun. Ingin rasanya dia menjenguk sahabatnya itu. Tapi dia tidak tahu dimana alamat rumah gadis itu.

Vanilla, memegang dahinya. Apa jadinya ya kalau Nadira melihat plaster luka ini. Pasti dia akan sangat khawatir. Baiklah sepertinya lukanya juga sudah kering, Vanilla akan melepasnya nanti.

Vanilla meraba tembok di samping kanannya. Ini adalah kelas kedua yang Vanilla lewati. Setelah kelas ini akan ada tangga menuju lantai dua. Kemudian disambung lagi oleh kelas lain di sisi tangga lainnya. Dari sini dia hanya perlu berjalan lurus lalu berbelok. Dia masih harus melewati lima kelas lagi untuk mencapai kelasnya.

Meski matanya tidak lagi menangkap banyak cahaya, namun pendengarannya begitu peka dengan keadaan di sekitarnya. Seperti halnya saat ini, ada beberapa pasang kaki yang sedari tadi melangkah di belakangnya. Keadaan koridor sekolah yang sepi juga memudahkannya untuk menangkap gerak itu.

Dia menahan napas, dia tahu siapa mereka. Terlalu sering dijahili oleh mereka, membuatnya mengenal baik situasi ini. Langkahnya dibuat lebar-lebar, semoga perkiraannya salah.

"Mau kemana cantik, cepet-cepet banget." Vanilla langsung beringsut menjauh ketika salah satu dari mereka merangkul bahunya. Tetapi, seseorang di sisi yang lainnya menahan punggungnya.

"Tau nih, Vanilla sombong banget segala pura-pura gak liat kita lagi." Kalimat itu berhasil menyulut tawa menggelegar dari teman-temannya.

Satu, dua, tiga, ada tiga orang. Tiga orang yang Vanilla hafal betul siapa.

"Bolos yu, kita ke kantin biar nanti gue yang bayarin.. tapi gue pinjem dulu duitnya ke lo." Tawar seseorang di samping kirinya seraya terkekeh, dia Ikbal.

"Aku mau ke kelas." Cicit Vanilla seraya menggeleng.

"Ah elah so rajin banget lo, bisa liat juga kagak." Cemooh Dimas -cowok yang dia prediksi ada di sebelah kanannya itu mengundang tawa dari dua cowok lainnya, sementara Vanilla hanya bisa diam. Meski sudah sering dijahili seperti ini, namun kata-kata yang harusnya biasa dia dengar tetap menyakitkan begitu ditangkap oleh telinganya.

"Yaudah kalo gak mau ikut, duitnya aja sini!" Vanilla terhenyak ketika salah satu tangan dari ketiga cowok itu masuk ke saku yang rok abunya. "Aaku gak bawa uang." Katanya sambil mencoba menahan tangan itu agar tidak lebih kurang ajar.

"Ih Vanilla suka boong nih sekarang.." rajuk Ikbal yang terdengar seolah dibuat-buat.

"Ta,tapi a-aku beneran gak bawa uang, uangnya ada di tas." katanya mengiba.

Vanilla mencoba melepaskan lengan Dimas yang merangkul bahunya. Tapi bukannya lepas, tangan itu malah memiting lehernya hingga membuat Vanilla terkejut, "Le-lapasin." Katanya terbata sambil memukul-mukul lengan itu.

"Lo ngapain si pake kacamata? Kan lo buta, effeknya pake kacamata apaan dah?" Tanya Roy heran sambil membolak balik kacamata ditangannya, setelah melepas benda itu tanpa ijin Vanilla.

BerandalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang