Chapter 7: Fitnah?

18 8 8
                                    

"Arkan bang." ucap seorang cowok dengan wajah babak belur setelah dihajar habis habisan oleh tiga orang cowok dihadapannya.

"Bangsat!"

"Tapi hp lo aman kan?!" Bentak Dimas.

Cowok itu menggeleng, dan satu tendangan melayang menghantam pipi kirinya. Cowok itu tersungkur tanpa bisa mengelak. Sudut bibirnya mengerluarkan darah, matanya bekunang-kunang, kepalanya luar biasa sakit. Namun, dengan energi yang tersisa, cowok itu dengan susah payah bangkit dan kembali berlutut.

"Tolol!" maki Dimas.

"Lo bocorin apa aja ke dia?" Roy bertanya tenang.

"Gue gak bilang apa-apa ke dia bang! Demi apapun bang gue gak bilang apa-apa."

"Ya bagus deh. Lo tau kan apa yang bakal lo dapet kalo sampe satu hal aja bocor dan bawa-bawa nama kita?"

Cowok itu mengangguk, mengerti akan konsekuensi yang bakal ia dapatkan jika hal yang mereka percayai padanya bocor oleh mulutnya sendiri.

Dua hari yang lalu dia membuat kebodohan. Mengintip cewek sekaligus merekamnya ketika berganti pakaian merupakan rutinitasnya yang mestinya bukanlah perkara sulit. Tapi sepertinya hari itu adalah hari sialnya, sehingga dia terciduknya saat sedang merekam Vanilla di kamar mandi. Yang lebih sialannya lagi, orang yang memergokinya adalah Arkan.

Luka bakar yang berjejer di tangan kanannya adalah kenangan mengerikan yang dibuat Arkan. Sundutan rokok itu bahkan masih ia ingat rasanya. Julukan berandalan berhati iblis memang bukan hanya omong kosong belaka. Arkan lebih mengerikan yang dia kira.

Dan dia harap pertemuan pertama mereka tempo hari menjadi pertemuan terakhir mereka. Dalam kondisi apapun, dia tidak ingin bertemu lagi dengan Arkan bahkan hingga berurusan dengannya.

Dimas berdecak keras. Tangannya mengepal kuat, emosi yang ia tumpahkan kepada cowok itu belum cukup membuatnya puas. Arkan, lagi-lagi si berandalan itu mengusiknya.

"Lo mau kemana?" Tahan Roy, saat melihat Dimas yang masih dilingkupi emosi berjalan cepat hendak pergi entah kemana.

"Minggir!"

"Sans, bro. Lo gak bisa main hajar aja." Roy mencoba menenangkan temannya itu. Pasalnya dia begitu mengenal Dimas, cowok itu selalu mudah termakan oleh emosinya sendiri. Dan tentu saja untuk keadaan seperti ini, itu bukanlah hal yang bagus.

"Terus kita bakal diem aja gitu?! Tolol lo! Tu anjing kalo didiemin bakal ngelunjak!"

"Terus lo mau apa?! lo mau idung lo dipatahin lagi? atau mau bonyok kayak si Aji? atau lo mau kayak si Davin, masuk RS terus mati? Lo mau apa?!" Teriak Ikbal yang ikut tersulut emosi.

"Gue gak mau diem aja, gue mau bikin dia mampus."

"lawak lo! lo punya apa buat ngelawan dia? nyali? yang ada lo yang mati."

"Banci lo bedua!"

Roy menggaruk alisnya melihat dua temannya saling adu urat. Masih dengan sikap tenangnya, Roy menepuk pundak Dimas. "Lo kalo mau ngelawan dia kudu pake otak Dim. Lo gak punya apa-apa-

Dimas menyentak tangan Roy dengan kasar. "Babi! Maksud lo apa hah?!"

"Arkan bukan cuma berandalan yang hobi tawuran di jalan doang, Dim. Arkan gak secemen yang lo kira, dia jauh lebih nyeremin. Lo tau, tarung sama dia pake tangan kosong aja bahkan bisa bikin rusuk lo patah Dim. Ngerti maksud gue?"

"Bener, kalo mau bales dendam, lo kudu pake otak. Adu otot sama dia lo yang bakal babaak belur." Sambung Ikbal.

"Bangsat!"

BerandalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang