Chapter 6 : Kepunyaan Arkan

27 6 9
                                    

"Ini peringatan terakhir. Kalau kamu mengulanginya lagi, Bapak akan hubungi orang tua kamu."

Dengan tubuh kuyup oleh keringan, Arkan berdiri di hadapan guru BK itu, mengganggukan kepalanya sambil mengatur napasnya yang terasa sangat berat.

Setelah mengatakan itu, Pak Arif, si guru BK itu melenggang pergi meninggalkan Arkan yang masih kepayahan untuk bernapas akibat hukuman yang dia berikan.

50 putaran lapangan basket sukses menyiksa fisiknya. Cairan dalam tubunya keluar secara berlebihan. Sebenarnya hukuman macam ini tidak berat bagi Arkan, jika saja posisi matahari masih di pukul 6 atau 7 pagi dan bukan di atas kepalanya.

Arkan menarik napasnya dalam-dalam, lantas memungut tasnya yang tergelatak di ubin lapangan dengan kasar. Sialan, dia akan buat perhitungan untuk si ketos belagu itu.

"Kak, ini buat ka-"

Tanpa menunggu kalimat itu selasai, Arkan merebut sebotol air mineral yang disodorkan seorang cewek. Arkan tenggak hingga setengah botol itu tandas, sisa airnya ia guyurkan ke kepalanya yang hampir tiga puluh menit dipanggang matahari.

Arkan mengerang keras, ingatkan Arkan untuk menghajar ketos tukang ngadu itu. Arkan benar-benar akan membuat ketos itu menyeseli perbuatannya. Baginya Reno adalah botol ini, sampah yang harusnya dihancurkan dan pantas dibuang.

Arkan mengacak-ngacak rambutnya. Langkahnya ia buat panjang-panjang. Tatapan tajam dengan aura menyeramkan itu suskes membuat orang-orang yang berada di koridor itu menyingkir membiarkan Arkan lewat.

Sebelum Arkan menjadi siswa sekolah ini mereka sudah mendengar betapa mengerikannya seorang Arkan. Dan setelah melihatnya langsung kebengisan Arkan, mereka jelas ogah untuk berurusan dengannya.

Bahkan untuk bertatapan saja mereka enggan. Iya, sebegitu mengerikannya seorang Arkan di mata mereka.

Arkan memelankan langkahnya. Cewek yang akhir-akhir ini mengusik pikirannya kini ada dua meter di depannya. Bersama temannya yang berjalan bersisian.

Rambutnya yang dikuncir rapih dan rok panjang serta kemeja kebesaran itu sungguh terlihat membosankan dimata siapapun.

Cewek itu memang tidak tampak menarik sama sekali dan malah terkesan merepotkan dengan tongkat yang dituntunnya sepanjang jalan.

Namun, sepertinya Arkan harus mempertanyakan kewarasannya, karena detik berikutnya otaknya tidak berfungsi dan membiarkan tubuhnya bertindak sendiri dengan menarik cewek itu kasar untuk ikut bersamanya.

Sontak, jeritan tertahan dari cewek itu menarik perhatian murid-murid yang lain.

"Lho, lho Van? Kamu mau bawa Vanilla kemana?!" Dan membuat temannya protes serta menghadangnya. "Kamu mau ngapain Vanilla?!"

"Ni cewek punya gua, mau gua apain itu terserah gua." Balas Arkan dingin.

"Minggir!"

Arkan berdecak kesal, dia mendorong cewek itu menyingkir. "Aw!" Dorongan yang kasar untuk ukuran seorang cewek. Dan Arkan tidak peduli.

Juga tidak mempedulikan jika genggeman di tangan Vanilla itu terlalu keras hingga membuat gadis itu meringis.

Dengan kepayahan, Vanilla pasrah mengikuti langkah yang terkesan buru-buru itu. Vanilla tidak tahu kemana dia akan dibawa, dan tidak tahu pula sosok yang menyeretnya ini.

"Ki-kita mau kemana?" Tanya penuh takut.

Tidak ada sahutan dari orang itu. Dan Vanilla semakin ketakutan saat telinganya tidak lagi mendenger orang-orang disekitarnya. Pijakan kakinya juga bukan lagi keramik, tapi rerumputan yang sama sekali Vanilla tidak tahu area rerumputan mana yang ia injak.

BerandalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang