─┈─
Pekikan kesakitan, tawa lebar serta tangisan menjadi pengiring suara dalam ruangan berhiaskan darah kering bersama dentingan besi yang beradu. Si pelaku yang memegang pisau tumpul yang terlapisi oleh darah perlahan melangkah menjauh dari tubuh korban.
Netra hitamnya menatap dengan dingin. Senyum lebar terukir; puas akan hasil karyanya. Luka-luka menganga lebar, serta lebam yang tidak bisa ditutupi lagi.
Ia berbalik, menatap pemuda mungil yang ia rantai; dengan tubuh bergetar kuat dan wajah berurai air mata. Duduk pada ujung ranjang seakan menghindar darinya-- terasa sia-sia.
Ia terlihat menggairahkan. Apalagi hanya dengan memakai piyama biru muda bergaris putih yang celananya sebatas paha.
Semua yang ada para prianya selalu berhasil membuatnya gila.
Berjalan dengan pelan-- tanpa menimbulkan suara sedikitpun sudah membuatnya seperti malaikat pencabut nyawa. Apalagi dengan cairan merah pekat yang sudah melumuri sebagian tubuhnya yang tanpa memakai atasan-- bahkan mengenai sedikit permukaan wajah.
Memasukkan dengan santai pisau pada saku celananya, menumpu tangan kirinya disana; sedangkan tangan kanan mengapit dagu si pemuda yang semakin ketakutan.
"Bukankah ini yang kau inginkan?"
Ia semakin mendekatkan wajahnya; membatasi jarak mereka hingga tinggal beberapa centimeter lagi. Gelengan kecil ia terima. Bibir ranum itu terbuka kecil; terlihat bergetar namun ia paksakan.
"T-tidak." Jawabnya lirih, namun didengar jelas oleh pria didepannya. Hanya, melihat raut ketakutan dari pemuda manis ini-- terasa candu.
Telapak tangan kasar itu naik menuju belakang lehernya, menarik lebih hingga kening mereka saling bersentuhan.
"Apa? Aku tidak dengar sama sekali, ." Suara rendah itu semakin mengintimidasinya.
Pria manis dengan panggilan Ten itu mengepalkan tangan-- berusaha mengembalikan keberaniannya. "K-kumohon--hiks- hentikan. Jangan siksa m-mereka lagi, Johnny."
Raut sumringah Johnny seketika pudar. "Wrong answer, baby. Apakah kau memang ingin aku menghabisi sisa satu orang lagi. Itukah jawabanmu, Tenie?" Pertanyaan Johnny langsung dijawab gelengan kuat oleh Ten; namun tentu saja diabaikannya.
Pria Suh itu bangkit lalu berjalan menuju salah satu meja kayu yang terletak di sudut ruangan. Kumpulan alat-alat tajam dengan berbagai ukuran yang sudah tumpul tersusun rapi. Serta kapak, tang, gunting, paku, dan palu.
"Dengan pisau, sudah. Jadi, bukankah sekarang kita ke tahap kedua karena ini semakin menyenangkan?" Tangan Jaehyun bergerak diatas benda-benda seakan menebak.
Tidak ada jawaban. Tentu saja.
Empat orang terikat pada kursi besi yang tersambung pada pilar beton dan satu tawanan manis diranjang yang masih menatapnya ketakutan. Ketiganya mendapat luka tusukan dan beberapa bagian tubuh yang dikuliti. Tak lupa bekas lebam akibat pukulan kuat yang masih terlihat dan luka menganga yang juga hampir memperlihatkan tulang.
Dua orang disisi kiri terlihat sudah tidak bergerak lagi.
Sedangkan dua lainnya disisi kanan bisa saja juga dikatakan mati, jika tidak diperhatikan lebih seksama bahwa tubuh mereka bergerak lambat; masih bernafas. Namun dalam keadaan lemas.
Dan seorang Johnny Suh, paling menyukai pemandangan seperti ini.
"Palu? Kurasa tidak buruk." Gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Obsession | Bl
Fanfic[ First story ] Mereka tersembunyi. Berada di sekelilingmu, Bahkan di dekatmu. Berbaur dengan baik. Siasat yang cerdik. Rencana nan apik. Dan senyum yang tersembunyi di balik topengnya yang cantik. Berhati-hatilah. Mereka ada hanya untuk satu alasan...