2. Gisel dan keingintahuannya

527 113 14
                                    

"Mau dibantu?"

Gisel tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya ketika tahu siapa yang menanyainya. Keadaan Gisel, yang sedari tadi memang kelihatan bingung, semakin terlihat 'lost' seiring ia cuma menggumam seperti lebah, "engg... em... ngg..." 

Si penanya mengernyitkan dahi, "yang mana motornya?" tanyanya mengacuhkan Gisel yang kagok. Pun mendengar pertanyaan itu, bukannya sadar, Gisel malah menunjuk motor yang di spion-nya tertempel stiker NCIT. Motor Karin.

"Permisi dulu, gue keluarin" si penanya lantas menggesturkan 'minggir' pada Gisel pula Gisel menurut-menurut saja. Dia bergeser tiga langkah memberi orang itu cukup ruang. 

Di pikiran Gisel, dia masih memproses kehadiran lelaki itu―iya, yang menggesturkan minggir pada Gisel itu seorang laki-laki―yang bisa-bisanya juga berada di filsafat. Maksud Gisel, kenapa bisa?! Setahunya, dari Iel yang sering TMI, laki-laki itu anak fakultas geografi yang seharusnya dia di geografi dong? Atau, kalaupun mereka coincidentally bertemu, itu seharusnya di fakultas Gisel, di selasar A10 seperti biasanya ia sering janjian dengan Yara. Yap, laki-laki yang dimaksud Gisel―yang membuatnya off guard―adalah laki-laki yang sama yang meminta konsiderasi Iel terakhir kali. 'Buntutnya Yara' kalau kata Iel. Maka, menemui kehadiran laki-laki itu diluar 'kebiasaan', it's the true weird untuk Gisel.

"Gue kayak pernah liat lo, ya? Temennya Iel gak sih?" kata laki-laki itu sambil mengangkat body motor agar bisa mundur. Parkiran filsafat memang berantakan.

"Hmph," laki-laki itu tiba-tiba mengulum tawa membuat Gisel mengerutkan dahi. "Muka lo kenapa gitu dah? Clueless banget kayak abis dihipnotis" kata si lelaki sambil menstandarkan motor Karin di depan Gisel.

"Tuh, udah. Lo kelas agama juga?" tambah si lelaki sambil membenarkan tali tote bag-nya yang melorot.

"H-hm?" respon Gisel terbata membuat si lelaki lagi-lagi mengulum tawa.

"Jangan clueless-clueless, ntar kesambet gak ada yang nolongin" katanya sambil nyengir. Gisel seketika merasa malu. Sepertiya dia memang sudah kesambet seiring dari tadi mati gaya. Literally cuma ha-he-ho ha-he-ho. Entahlah tapi sepertinya 'consideration nya dong' tempo hari masih berefek pada Gisel.

"Iya, saya ikut kelas agama disini" jawab Gisel canggung hingga tidak sadar cara bicaranya berubah formal. Lelaki di depannya menaikkan alis.

"Sama. Saya juga kelas agama tapi udah kelar, eh―" laki-laki itu abruptly membekap mulutnya sendiri. "Sudah selesai maksud saya" katanya lagi sambil cengengesan. Gisel mengerut sesaat. Tidak sadar kalau laki-laki itu literally membercandai cara bicaranya yang formal.

"WOY CAN!!! BALIK GAK LO?" tiba-tiba seruan terdengar dari sisi kanan mereka, dari arah luar parkiran. Buntut Yara itu seketika menengok hanya untuk membalas dengan tidak kalah keras, "IYA WOY, BENTAR! GUA NEBENG" 

"Eh duluan ya. Inget, jangan bengong" katanya terburu bahkan tidak memberi kesempatan Gisel mengklarifikasi dirinya sendiri. Pula belum tiga langkah, laki-laki itu berbalik lagi.

"Oh iya, kalo butuh bantuan tuh bilang. Jangan diem aja. Orang nggak ngerti kalo lo diem aja" tambahnya sebelum kembali berlari ke temannya yang di luar parkiran. Lantas, entahlah, sama seperti 'consideration nya dong'  kemarin, Gisel tertegun seiring memandangi punggung lelaki itu yang menjauh.

Gisel mengira perihal minta tolong yang dimaksud lelaki itu adalah soal motor. Dia tadi memang tampak bingung berdiri diantara motor-motor yang sama barisnya bebek saja, lebih rapihan barisnya bebek. Literally di parkiran filsafat itu buntut motor ketemu buntut motor; serong kanan, serong kiri. Maka maklum bila lelaki tadi mengira Gisel bingung dan butuh bantuan mengeluarkan kendaraan. Sebenarnya sksd dan sok heroik, mana segala memberi nasihat, tapi bukannya merasa ofensif, Gisel justru merasa... tersentuh(?)

Entahlah, yang jelas ada sesuatu dari lelaki itu yang kinda captivate Gisel, yang membuat Gisel kembali ingin tahu namanya.

"Can? Namanya Cancan apa Sasa, sih?" monolog Gisel seraya menelengkan kepala. Kemarin, seingat Gisel, Iel memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Sa' tapi hari ini dia diteriaki dengan sebutan 'Can', jadi siapa sebenarnya namanya?

"Sel!" tepukan di bahu membuat Gisel terksiap. Di belakangnya sudah berdiri Karin dengan raut mengerut.

"Hih, kamu tuh aku tungguin lama banget! Pak Mur udah dateng tau, ini aku ijin ke toilet nyariin kamu" repet Karin yang seketika membuat Gisel membola.

"Hah iya?! Ih, ayo deh ke kelas" Gisel sudah akan mengambil langkah tapi Karin keburu menarik lengan bajunya.

"Heh, bentar. Poster kita"

"oH IYA!!!" Gisel seketika ingat kalau tujuannya ke parkiran tadi 'kan untuk mengambil poster yang tertinggal di dashboard motor Karin. Aduh, kenapa bisa lupa???

"Lah ini kenapa motor aku jadi ngadang jalan begini??? Sel?"

"Aduuuhhh" Gisel merutuki diri sambil menepuk dahi.

Gara-gara si Cancan!!













makasih yang baca T^T

[already revised]

catching feelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang