Yang paling Gisel suka dari kampus barunya adalah keberadaan stasiun sepeda yang memungkinkan mahasiswanya untuk berpindah dari satu spot ke spot lain tanpa harus berjalan kaki. Ya oke, mungkin tidak sekeren kampus lain yang mobilitasnya sudah didukung kendaraan listrik atau yag lebih convenient tapi keberadaan sepeda benar-benar Gisel apresiasi. Coba tidak ada sepeda, mungkin Gisel sudah di salah satu dari dua keadaan ini: buang-buang uang karena setiap hari harus naik ojek dari FKH ke FEB atau kakinya akan sebesar gebukan maling saking seringnya jalan kaki.
Gisel tinggal dengan kakak sepupunya―Krystal―selepas pindah. Sengaja sebab Krystal juga sedang menempuh S-2 di kampus yang sama dengan Gisel. Mereka berbeda fakultas maka, sebagai pihak yang nebeng, Gisel setiap hari menemui Krystal di FEB― fakultas Krystal. Sebenarnya Gisel tidak harus ke FEB sebab Krystal lebih suka kalau dia yang menjemput Gisel di fakultasnya. Agak muter tapi nggak apa-apa, toh fakultas Gisel di pinggir jalan jadi Krystal tidak perlu parkir. Tapi Gisel enggan. Menurut Gisel, mending dia yang menunggu di fakultas Krystal daripada ia menunggu di fakultas sendiri.
Gisel itu tipe orang yang supel dan ramah pun ia suka berteman tapi already told you, Gisel cukup pemalu apalagi di lingkungan baru. Tahu sendiri kalau Gisel mahasiswa transfer maka ia sedikit banyak struggle membangun pertemanan. Boro-boro teman, sekedar kenal saja baru beberapa orang dengan manusia macam Gabriel diantaranya. Sebab itulah Gisel lebih suka menjadi pihak yang 'menjemput' daripada dijemput Krystal. Setidaknya menunggu di fakultas Krystal lebih terasa valid asingnya untuk Gisel daripada menunggu dan bengong di fakultas sendiri.
"Pak, mau minjem"
Gisel sedang mengunci sepeda ketika pembicaraan itu lewat dirungunya. Awalnya Gisel acuh sampai, ketika ia berbalik, wajah seseorang yang akhir-akhir ini cukup familiar, lagi dan lagi ia temui keberadaannya. Pun pertemuan Gisel dengan orang yang dimaksud hampir selalu tidak terduga membuat Gisel off guard. Semacam sekarang, begitu melihat profil orang tersebut, entah kenapa Gisel malah berjongkok. Sengaja mengklamufasi diri dengan pura-pura mengikat sepatu. Sementara orang yang dimaksud, boro-boro menyadari keberadaan Gisel, ia jalan ngeloyor begitu saja.
"Maaf, permisi"
"E-eh, iya" Gisel buru-buru beringsut ketika orang itu menegurnya. Posisi Gisel memang menghalangi jalan maka wajar kalau ditegur. Masalahnya, Gisel merasa cukup malu untuk mengangkat wajah sekarang karena, lagi dan lagi, ia merasa melakukan tindakan bodoh di depan orang itu.
Whatcha doin exactly, Gi???
Gisel merutuk dalam hati tapi badannya tidak sinkron sebab, alih-alih berdiri, Gisel justru menggeser diri sambil tetap berjongkok. Percis orang dihukum tapi sayang Gisel tidak segera sadar kalau tingkahnya sillier dari jongkok sembarangan hingga membuat orang itu menaikkan alis melihatnya.
"Makasih. Mbak" ujar orang itu sangsi setelah Gisel memberinya cukup jalan. Gisel mengangguk-angguk kagok. Whatta fool.
Setelahnya semuanya berjalan biasa saja. Orang itu mengeluarkan sepeda, melewati Gisel―yang masih jongkok, mengangguk ala kadarnya pada petugas penjaga stasiun sepeda tapi, belum setengah menit, tiba-tiba si bapak penjaga berteriak nyaring sambil mengacungkan jari.
"Wey! Ra dinggo ngono kui!" (Wey! Jangan dipake kayak gitu)
"Ya Pak, sIAAAP!!" jawab orang tadi dari kejauhan tapi kelihatan gesture-nya cengengesan. Nyatanya orang itu naik sepeda sembarangan. Bukannya berhati-hati di lingkungan kampus, ia justru mengayuh sepeda zig zag. Geal geol kanan kiri sambil berdiri pula. Wajar si bapak langsung bereaksi.
"Wooo cah gemblung" rutuk si bapak. Rautnya jengkel kontras dengan Gisel yang diam-diam mengulum tawa. Entahlah tapi Gisel tergelitik dengan tingkah orang itu. Apa ya, free-will banget. Aneh.
"Mbak, kamu ngapain jongkok sambil ketawa-tawa?" satu teguran Gisel dapatkan lagi membuatnya seketika melipat bibir. Gisel buru-buru berdiri.
"Eh iya, Pak, maaf" kata Gisel sambil meyelipkan rambut ke belakang telinga. Gisel lalu mengangsurkan kunci berkode KH-23. "Dari kedokteran hewan, Pak"
Si bapak menerima dengan rupa yang masih masam. "Ya tulis sini nomer kunci sama dicentang yang mengembalikan. Tulis dari mananya" kata si bapak sambil menunjuk kolom-kolom di buku peminjaman. Gisel cuma mengangguk-angguk sambil menulis data pengembalian seperti yang diinstruksikan namun, baru mau menulis nama, Gisel tiba-tiba tidak dapat menyembunyikan senyumnya.
mahesa chandra d | GE/08xxx | perpus-mipa
Tulisan cakar ayam diatas baris namanya membuat Gisel tersenyum.
Oh jadi namanya either Sasa nor Cancan, it's Mahesa
batin Gisel seiring senyumnya makin mengembang. Kontras dengan bapak penjaga yang justru geleng-geleng kepala.
Bocah kok dho gemblung (bocah kok pada gila) batin beliau.
☆゚.*・。゚
to: Gisel,
n.b. aku mau belajar bikin rutinitas jadi aku mau update cerita ini tiap rabu-kamis hehe. rabu buat gisel, kamis buat esa. semoga konsisten ya, terus yg udah baca makasiiiihhh. sehat selalu and c u tomorrow, i guess 😉
[already revised]
KAMU SEDANG MEMBACA
catching feelings
Nouvelles[completed] esa dan gisel dan perjalanan hati masing-masing